Rabu 26 Jun 2013 11:46 WIB

Holometabola *

Tikus (ilustrasi)
Tikus (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Cerita Pendek Budi Sabarudin

 

Sepanjang hari Raja Tikus mengurung diri dalam kamar. Mengasingkan diri. Menahan sakit, nyeri, dan pedih. Kabar itu kemudian terdengar seluruh rakyat tikus. Mereka cemas, mereka berduka, mereka baru menyadari mengapa selama ini selalu ada kabut hitam memayungi Kerajaan Tikus.

Apakah ini pertanda akan ada kesedihan yang sangat mendalam?

Tikus betina mengeluh, “Oh, jika Paduka benar-benar sakit, bagaimana nasib kerajaan ini?”

“Kerajaan kita ini gemah ripah loh jinawi,” timpal tikus yang lain.

“Di kerajaan ini tak ada warga kita makan beras miskin, pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis, tak ada pungli apalagi budaya korupsi, aparat hukum juga sangat serius menegakan hukum kepada siapa saja yang bersalah,” kata yang lainnya juga.

Perbincangan semacam itu mewarnai kehidupan bangsa tikus pada pagi, siang, dan malam hari. Di warteg-warteg misalnya, warung kopi, atau sekolah dan kampus-kampus serta di kantor-kantor. Namun tentu saja perasaan mereka was-was yang luar biasa, karena mereka betul-betul mencintai Kerajaan Tikus dan takut kehilangan Paduka yang adil dan bijaksana.

Akhirnya perwakilan tikus dari berbagai suku dan agama berkumpul di hotel berbintang. Mereka menggelar semacam pertemuan luar biasa untuk menyikapi keberadaan Paduka, sekaligus ingin menyelamatkan kerajaan.

Pertemuan lintas suku dan agama itu, memutuskan perwakilan tikus dari berbagai wilayah diwajibkan menengok Paduka di kerajaan.

Tanpa birokrasi dan protokoler yang ketat seperti di negara-negara atau pemerintahan yang dikelola manusia, siang itu Paduka menghampiri para perwakilan yang berkumpul dan berada di halaman kerajaan yang luas, sejuk, dan bersih.

Di kerajaan itu ditumbuhi berbagai pohon-besar dan daun-daunnya yang rimbun. Mereka menyadari betapa pentingnya pohon bagi kehidupan mereka.

Dengan sikap ramah, Paduka mempersilakan mereka memasuki ruang pendopo yang bersih dan agung.

Tikus perwakilan dari berbagai suku dan agama itu duduk di kursi yang sudah disediakan. Kursi kayu itu memiliki keindahan yang luar biasa karena ukir-ukirannya memiliki nilai seni yang tinggi. Mereka duduk dengan santun sambil menghadapi meja segi empat yang besar. Mereka seperti akan menghadapi rapat besar, dan membahas masalah-masalah besar juga.

“Ada apa datang ke sini beramai-ramai. Saya pikir tadi ada demo,” kata Paduka sambil melepas senyum.

“Mohon ampun Paduka,” ungkap kordinator perwakilan tikus, sambil  membungkukkan badan. Dia tak berani menatap wajah Paduka karena kewibawaannya yang luar biasa. Kharismatik.

“Ya, tidak perlu repot-repot minta ampun. Di sini kerajaan demokratis . Demokratisnya juga bukan bohong-bohongan. Warga bebas bicara bahkan bebas mengkritik saya. Saya jamin, yang mengkritik saya, dan bahkan menjelek-jelekan saya, tidak akan ditangkap, apalagi sampai di penjara. Silahkan…”

Para perwakilan tikus saling tatap.

“Kami mendengar Paduka murung dan selalu menyepi di kamar seorang diri.  Kami juga mendengar Paduka jatuh sakit. Jika diminta bantuan untuk kesembuhan Paduka, kami siap membantu. Dokter-dokter terbaik dari berbagai wilayah akan kami kumpulkan dan siap mengobati dan meyembuhkan Paduka.”

Paduka beranjak dari kursi kerajaan. Berdiri sejenak. Menahan nafas. Menatap langit-langit kerajaan. Suasana menjadi terasa hening. Dada para perwakilan tikus berdebar-debar.

“Sebetulnya saya tidak sakit,” kilah Paduka.

Para perwakilan tikus itu terkejut. “Lalu?” Mereka bertanya serentak.

“Saya ini sakit hati oleh manusia. Sebab puluhan tahun nama baik bangsa kita dirusak mereka. Kalau dalam bahasa kerennya karakter kita dibunuh. Saya sedang memikirkan bentuk perlawanannnya terhadap mereka, kira-kira seperti apa. Ini untuk memberikan pelajaran pada mereka juga.”

Perwakilan tikus kembali saling tatap. Jawaban Paduka ternyata di luar dugaan mereka. Mengejutkan.

“Mohon diceritakan seperti apa pembunuhan karakter itu Paduka?”

Paduka memanggil Patih, lalu memerintahkan agar segera membawa setumpuk koran dari perpustakaan. Koran-koran itu sengaja disimpan untuk dijadikan dokumen atau bukti-bukti kerajaan yang sangat penting.

Patih meletakan tumpukan koran itu di atas meja. Para perwakilan tikus menatap koran dengan wajah heran.

“Lihatlah koran ini. Bacalah,” kata Paduka sambil menunjuk gambar karikatur setengah halaman.

“Di sini ada gambar kantor Bank Century. Di sini juga ada judul berita  ‘Korupsi di Bank Century sebesar Rp 6,7 Trilyun’. Juga ada berita “Pimpinan Parpol Tersandung Kasus Sapi”. Tapi di dinding kantor bank yang menjulang tinggi ini ada gambar bangsa tikus, banyak sekali. Ini keterlaluan, betul-betul menyingung perasaan saya dan bangsa tikus,” kata Paduka.

Kepada para perwakilan itu, Paduka juga mengatakan, tidak pernah mengerti dengan jalan pikiran bangsa manusia; mengapa bangsa tikus selalu saja disamakan dengan koruptor. Sedangkan di dunia ini masih banyak binatang lain seperti anjing, buaya, atau monyet. Ada juga ular, dan lain-lain.

Lihat saja ketika ada korupsi proyek Hambalang, Simulator SIM, pengadaan Al Qur’an, dan penangkapan hakim Tipikor, ada gambar-gambar kita yang sedang menggigit uang kertas dengan ekspresi penuh nafsu dipasang di koran-koran. Akhirnya manusia, dari generasi ke generasi, tidak pernah nyaman jika melihat tikus, selalu saja ingin memburu dan bang tikus.

Air mata Paduka menitik. Perlahan. Paduka tak kuat menanggung kesedihan. Para perwakilan tikus juga bersedih. Mereka merunduk. Melihat paduka menangis, ada dendam yang amat sangat di hati mereka masing-masing.

Sementara di bumi sana, bangsa manusia merayakan hari Korupsi Sedunia. Mereka beramai-ramai turun ke jalan, menyuarakan anti korupsi. Mereka membawa-bawa spanduk yang isi kalimatnya “Berantas korupsi”, “Hukum Koruptor Seberat-beratnya” dan “Miskinkan Koruptor.”

Namun bangsa tikus lagi-lagi kecewa dan bahkan jengkel. Sebab dalam peringatan itu ada gambar tikus yang dipasang pada spanduk-spanduk berukuran besar, termasuk juga pada poster-poster. Dalam orasi mereka juga dikatakan bahwa koruptor itu identik dengan tikus yang patut dihabisi.

“Ini penghinaan yang sangat keji bagi bangsa tikus,” kata Paduka sambil berdiri dan menyeka buliran air matanya. Tangan kanannya memegang kepala keris diselipkan di pinggang sebelah kiri. Sedangkan tangan kirinya memegang sarungnya.

Paduka melanjutkan kalimatnya, “Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, Miranda Gultom, Siti Hartati Murdaya, para menteri, walikota, bupati, gubernur, korupsi. Tapi itu urusan pribadi mereka masing-masing dan bangsa manusia, bukan urusan bangsa tikus. Namun ketika mereka ditangkap petugas dan dibeloskan ke penjara, mengapa wajah dan tubuh tikus yang dipajang di koran-koran, ditayangkan di televisi-televisi, beritanya disiarkan di radio-radio dan online juga. Ah, betul-betul menyakitkan.”

Paduka secepat kilat mencabut keris dari balik pinggangnya dengan tangan gemetar dan wajah yang tiba-tiba tegang dan mengeras sambil menahan nafas berat. Keris itu diacungkan ke atas langit. Cahaya keris menebar ke seisi ruangan. Menyilaukan mata.

Para perwakilan tikus kaget, namun tiba-tiba mendapat tenaga baru. Lalu mereka berkata dengan lantang, “Betul Paduka. Ini tidak adil. Belum lama ini diungkap kasus suap hakim Tipikor di Semarang. Namun lagi-lagi ada gambar bangsa tikus yang dipasang di koran-koran. Kami juga tersinggung!”

“Ya, harga diri bangsa tikus dicabik-cabik,” kata Paduka, marah.

Perwakilan tikus betina mengacungkan tangan. “Mohon izin, mohon ampun, saya ingin bercerita kaitannya dengan kasus yang dibicarakan kali ini, Paduka….”

Paduka menganggukan kepala.

“Saya masih ingat beberapa hari lalu pernah nonton berita di televisi. Saya melihat hakim dan pejabat Pemkot Bandung dibekuk KPK. Mereka tertangkap tangan suap-menyuap dana Bantuan Sosial di Bandung. Peristiwa itu dilaporkan  reporter cantik. Begini katanya; Pemirsa, setelah KPK melakukan penyadapan, akhirnya berhasil membekuk oknum hakim dan pejabat Pemkot Bandung. Dua tikus itu tidak berkutik. Mereka mirip tikus kecemplung got saat dimasukan ke dalam mobil tahanan KPK. Begitu, Paduka. Tapi pertanyaan saya, mengapa laporan reporter itu membawa-bawa bangsa tikus. Padahal dalam kasus itu bangsa kami  tidak bersalah dan tidak ada hubungannya…”

Mendengar cerita itu, Paduka geram. Jengkel.  Marah. Benci.

 

***

SIANG itu bangsa tikus menggelar mimbar bebas. Mereka berkumpul di halaman kerajaan yang luas. Dengan gagah Paduka Raja Tikus maju dan berdiri di atas podium, lalu menyampaikan orasi politik. Paduka mengenakan baju kebesaran warna biru, yang dipadu dengam hijau, kuning, dan merah.

"Saudara-suadara bangsa tikus yang saya cintai. Kita ini bukan bangsa brengsek. Kita  bangsa yang tahu sopan santun dan humoris. Ingat kita ini bangsa berbudaya. Bangsa yang berbudaya itu adalah bangsa yang berani melawan ketika dihina, apalagi ditindas, dijajah, dan dinistakan bangsa lain.”

Puluhan ribu tikus tepuk tangan. Sebagian lagi memukul berbagai alat musik. Suasana ramai  dan bergemuruh.

Paduka melanjutkan orasinya dengan penuh semangat. “Yakinlah, bangsa tikus memiliki kekuatan yang luar biasa besar. Sudah saatnya kita melawan, kita nyanyiakan revolusi sampai mati. Dengan cara inilah, manusia tidak akan memandang dan memperlakukan kita secara rendah.”

Suara Paduka terdengar lantang. Berkarakter. Membangkitkan semangat dan membakar api kepahlawanan bangsa tikus.

Bangsa tikus kembali bersorak. Mereka tak perduli dengan hujan yang tiba-tiba turun. Juga angin kencang diringi petir dan geluduk. Mereka tetap bertahan, setia mendengarkan pidato Paduka.

“Ingat, bangsa tikus juga ingin menjadi bangsa yang mandiri dalam politik, kebudayaan, dan ekonomi seperti konsepnya Soekarno… “

Tiba-tiba seekor anak yang berada di barisan paling depan, berdiri dan kemudian bertanya. “Mengapa korupsi dilakukan oleh manusia, Paduka?”

Paduka Raja diam sejenak.

“Manusia itu kemaruk, tidak punya rasa malu, agama hanya dijadikan topeng, dan hukum tidak ditegakan. Sedangkan para pemimpinnya mirip penari latar di panggung-panggung dangdut. Kalau sudah seperti itu korupsi pasti tumbuh subur.”

“Paduka, di negeri manusia sekarang yang lagi rame penyanyi dangdut goyang itik,” celetuk seekor tikus yang juga berdiri di barisan depan.  Suaranya lantang.

Paduka tersenyum. “Mari kita lanjutkan,” kata Paduka. “Korupsi di negeri manusia sudah jadi endemik yang begitu hebat. Tidak hanya kaum laki-laki, tapi kaum perempuannya pun ternyata pandai korupsi. Tapi kalau manusia mau korupsi dan tidak takut dibakar api neraka,  itu bukan urusan bangsa tikus. Tetapi yang jangan membawa-bawa bangsa tikus. Jangan juga menyamakan tikus dengan koruptor. Kami bisa maraaaaaaah!”

Bangsa tikus serentak berdiri. Alat-alat musik ditabuh kembali. Lebih keras. Terompet perang ditiup. Suasana ramai. Bergemuruh. Paduka Raja berteriak. Lalu mengutip salah satu puisi Wiji Tukul, ”Hanya ada satu kata, lawan!”

 

***

TIKUS-tikus berloncatan dengan riang. Berlarian. Liar. Jutaan tikus yang hidup di kantor-kantor, di got-got, di sawah-sawah, di atap-atap rumah, dan di hutan-hutan, bergabung. Mereka turun ke jalan melakukan aksi besar-besaran. Sungguh ini peristiwa yang belum pernah terjadi dalam kehidupan bangsa tikus.

Akhirnya bumi dipadati ratusan juta tikus tikus. Mengerikan. Bau tak sedap menyengat. Mereka berlarian hingga membentuk gelombang jutaan tikus yang menyerbu ke rumah-rumah penduduk,  kantor-kantor pemerintah dan swasta, LSM, kantor redaksi wartawan, seniman, partai politik, kantor organisasi kepemudaan, kampus-kampus, dan sekolah-sekolah, rumah-rumah dinas para pemimpin, para pemuka agama, kantor-kantor organisasi perempuan, kantor-kantor para kepala daerah dan wakil rakyat, kantor para penegak hukum, bahkan tempat-tempat ibadah.

Sungguh ini peristiwa yang sangat aneh, sangat tidak lazim. Dendam muntah. Para tikus menyerang dan memburu manusia. Keji. Gigi mereka yang sangat tajam menggigit kepala manusia, tangan, kaki, mata, telinga, hidung, jari-jari tangan, kaki, pantat, buah dada dan kemaluan. Para tikus juga menggigit bibir dan lidah manusia yang sudah mati dengan matanya yang melotot. “Ayo kawan masuk ke dalam  kerongkongan manusia. Makan jantungnya! Makan hatinya!” teriak salah seekor tikus got.

Darah mengalir deras dari tubuh manusia. Bumi tempat menusia hidup  akhirnya menjadi lautan darah. Mayat manusia dalam keadaan rusak bergelimpangan dimana-mana seperti baru saja dihempas tsunami yang maha dahsyat, atau pembantaian yang sangat sadis. Para tikus menari-nari di atas mayat manusia itu dengan riang, sambil membuang air kencing dan kotoran.

Dalam kepanikan yang teramat panik dan dalam kesakitan yang teramat sakit, manusia yang masih hidup dengan sekujur tubuhnya yang penuh luka, lari sekencang-kencangnya dengan mata yang kabur dan berdarah serta pikiran yang linglung. Bingung. Mereka terus berlari mencari-cari tempat untuk menyelamatkan diri, untuk menyelamatkan hidupnya.

Tapi sudah tidak ada lagi ruang-ruang untuk itu. Bumi yang dijadikan manusia sebagai tempat hidup, bersenang-senang, dan melakukan korupsi itu sudah dipadati dan dikuasai jutaan tikus.  Tiba-tiba manusia ingat Tuhan. Lalu disebutlah nama Tuhan ribuan kali dengan bibir yang bergetar. Doa-doa keselamatan juga tidak henti-hentinya diucapkan dalam hati.

Sebagain kecil manusia, perempuan dan laki-laki, yang tengah berlari pontang-panting dengan badan penuh luka gigitan itu seperti mendapat petunjuk. Tanpa pikir panjang, mereka lari dan masuk ke ruang-ruang yang ditinggalkan para tikus : ke gorong-gorong tempat pembuangan limbah pabrik. Mereka sembunyi dengan tubuh gemetar, bola mata mereka penuh dengan ketakutan dan kekosongan. Mulut terbuka. Geragapan.

Hari terus begulir dan semakin tua. Mereka yang sembunyi itu ternyata mampu beradaptasi. Mereka juga bisa bercinta. Lalu memiliki keturunan. Anak-anak mereka lahir dan tumbuh. Namun mereka tak bisa berdiri tegak. Mereka mampu berlari cepat dengan cara merayap. Lincah. Riang. Mereka tampan-tampan dan cantik-cantik. Tubuh mereka berbulu. Mulut mereka monyong. Di pantat mereka juga tumbuh ekor kecil-kecil yang panjang. (***)

 

*Mutasi yang Sempurna

 

Tangerang, 2007-2012

Budi Sabarudin, lahir di Desa Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat. Senang menulis puisi dan cerpen. Karya-karyanya pernah dimuat di sejumlah koran lokal, nasional, dan online. Sehari-hari bekerja sebagai jurnalis. Kini tinggal di Taman Royal 3, Jalan Akasia 3 AX1 No 8, Cipondoh, Kota Tangerang, Provinsi Banten. Email: [email protected]

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement