Rabu 31 Oct 2012 12:13 WIB

Kabar Si Anak Langit | #cerpen

Si Anak Langit (ilustrasi)
Foto: gosh.org
Si Anak Langit (ilustrasi)

Si Anak Langit itu memang hanya bisa tertatap olehku dari bawah sini, karena aku memang hanya anak tanah, Anak Bumi yang sepanjang hidup selalu menjejak di tanah cadas berdebu ini. Anak Langit itu terbiasa kulihat terbang melayang, bersilewaran atau hanya sekadar bersantai di awan, di atas sana. Sekali lagi, hanya bisa kuperhatikan dari bawah sini.

Aku begitu tertarik memperhatikannya. Ia begitu bebas, penuh energi semangat yang menjelma, seperti bayangan jingga yang menjuntai dari bawah telapak kakinya. Tatapannya lurus jauh ke depan, seperti tengah membaca takdir yang tertoreh baginya pada dinding langit.

Ia tak pernah diam, terus bergerak seperti tengah mengejar sesuatu yang berharga. Mungkinkah itu impian, cita atau mimpinya? Anak Langit yang bebas, menyukai terbang kemana angin membawanya, melihat dunia sesukanya, ataupun mengintip cakrawala dari balik awan yang berarak.

Lalu aku? Seperti yang tadi kusebutkan, aku hanya Anak Bumi, yang selalu menengadah ke langit. Aku sangat menyukai memandangi langit dengan macam sapuan warnanya, kadang biru, kelabu, jingga, atau pun kelam yang kadang berhias kerlap-kerlip keemasan. Satu lagi, aku suka keluasannya yang bak tanpa batas.

Begitulah cara kami hidup di dunia tempat kami tinggal ini. Terbagi dengan yang kami sebut kaum langit yang tinggal di atas sana, dan aku serta sebagian besar lainnya yang kami sebut Anak Bumi, tinggal menjejak di tanah padat Bumi.

"Kaum" kami menjalani hidup dan budaya mereka masing-masing tanpa menyentuh kehidupan dan urusan satu sama lain. Selama yang kutahu, dari zaman dahulu memang sudah seperti itu dan terus berjalan hingga sekarang. Satu sama lain hidup dengan cukup tahu tentang keberadaan masing-masing, namun saling mengacuhkan, seperti menganggap angin atau burung yang bersileweran. Kenapa mereka bisa terbang sedangkan kami tidak? Menurut orang-orang tua dahulu, itulah keistimewaan genetika satu sama lain dari kami.

Aku tak mengatakan aku benci tanah, tempat kutinggal, meski hanya sebuah kolong bagi langit. Karena aku pun tak hanya diam di Bumi. Aku punya kehidupan di sini, meski kukira tak seluarbiasa jikalau hidup di atas sana.

Aku seperti kelinci, sibuk melompat ke sana ke mari. Berusaha menjelajah dan menggenggam dunia, dengan lompatan kecilku, dan juga dengan tangan kecilku. Beradu cepat dan kuat dengan sesama kaumku untuk memastikan hidup tetap berjalan.

Bahkan, seringkali usaha kami di luar nalar yang pelik untuk dipikirkan logika. Jungkir balik, berlomba hingga mulai saling tipu, sikut, tinju, tendang hingga membunuh satu sama lain tak jarang kami (Anak Bumi -red.) terpaksa lakukan dalam perjuangan hidup. 

Namun entah mengapa, ketika tatapanku bertemu bersitatap dengan Anak Langit itu, aku merasakan sebuah euphoria yang menggelitik minatku, sesuatu yang misterius yang tak kujumpai di tanah ini. Kemudian aku menambah sebuah asa dalam hatiku, aku ingin “menggapai langit”. Paling tidak, aku ingin tahu kelebihan dan kabar apa yang dimiliki oleh langit, yang membuat si Anak Langit begitu berbeda dan menaruh kesan misterius namun jernih pada diriku.

Betapa aku ingin, biarpun hanya sedikit, mencuri energi yang penuh semangat misterius itu dari si Anak Langit. Kadang kuteriakkan padanya, “Tidak bisakah kau datang, singgah ke bawah sini sebentar untuk menjemputku?”

Namun, ia seperti tak mendengarku, atau suaraku yang tersapu oleh angin sehingga tidak sampai terdengar olehnya? Tak jarang juga aku melambai padanya, dan ia balas melambai, demikian juga sebaliknya. Tapi tetap saja, tak ada yang lebih dari itu.

Aku dengan usahaku sendiri berusaha menggapai langit. Dengan mulai menumpuk benda–benda yang bisa kukumpulkan dari bawah sini, berharap bisa cukup tinggi untuk menjadi pijakan bagiku. Meski semua orang mengatakan bahwa langit itu takkan tergapai olehku.

Namun beriring waktu yang terus melaju, aku dan si Anak Langit terus menjalani hidup kami masing-masing. Ia tetap dengan aktivitasnya, menjelajah langit, bercakap dengan burung-burung, bergelut dan membersamai angin, kadang juga terlihat bercengkrama dengan awan yang mengandung hujan, dan juga tak jarang menantang petir, kilat dan badai.

Aku pun sibuk dengan hamparan tanah di Bumi ini. Kadang panas dari mentari begitu garangnya, menyebabkan tanahku kering tandus, lalu angin menerbangkannya, memenuhi penglihatanku dengan debu. Lalu jika hujan, aku suka sekali dengan harum tanah yang khas, bercampur dengan bau rerumputan basah, serta bunyi langkah di jalanan berlumpur. Bahkan kadang hujan menjelma sebagai air bah, yang menyulitkan.

Aku masih sibuk dengan lompatan-lompatan kecilku, yang tak pernah berhenti hilir mudik. Kadang aku juga seperti kijang, yang berlari kencang, demi visi yang harus mengalami percepatan, tapi kadang aku melambat seperti seekor siput yang merayap. Yah... demi segenggam asa yang kupunya untuk hidupku yang relatif singkat.

Namun, aku telah berhenti menambah tumpukan benda-benda yang kurencanakan akan menjadi semacam tangga atau pijakan untukku menggapai langit. Bukan karena aku bosan, atau merasa bahwa perkataan orang tentang mustahilnya aku menggapai langit adalah benar. Tapi sekali lagi, karena waktuku tersita untuk meneruskan hidup.

Tak kupungkiri pula, kadang ragu dan layu di hatiku datang menelusup. Karena kesibukan dan juga memori yang lambat laun seiring waktu kian memudar. Aku pun hampir melupakan asaku tentang langit. Meski kadang aku masih suka, di sela waktuku, menengadah pada langit, namun tak sempat memberikan ruang untukku lebih lama mengamati atau memaknai lagi setiap keajaiban yang terbentang pada dada langit di atasku. Si Anak Langit pun tak lagi kulambai atau hanya tuk sekadar melempar tatapan.

Hingga pada sebuah ketika, saat aku tengah mengurusi bekalku di sebuah musim sulit yang diprediksi akan datang dalam hidup kami "Anak Bumi" ke depan. Tiba-tiba sebuah sapaan terdengar dari atas sana, aku menengadah, dan mendapati si Anak Langit sedang melayang rendah, bahkan hampir bertelekan pada sebuah dahan pohon di dekatku.

Ia menyapa, dan itu saat pertama kudengar suaranya, suara asing, seperti dari negeri yang jauh entah di mana, tapi aku suka, enak terdengar di telingaku. Ia bertanya, “Bagaimana kabarmu, hai Anak Bumi?”

Aku hanya bisa terdiam terpaku, masih menatap takjub tak percaya. Ia melanjutkan tanyanya, “Mengapa kau tak pernah lagi menengadah ke langit dan melempar teriakan ke atas sana? Bahkan melambai padaku lagi pun tidak.”

Aku masih terpaku. Ia kemudian mengusikku, dan aku tergagap sadar dan berusaha menjawab.

“Aku lupa,” hanya itu yang keluar dari mulutku.

Dan kulihat, matanya meredup dan kemudian ia menunduk. “Kukira kau seorang yang gigih dan berbeda,” lanjutnya pelan.

“Maksudmu?” ujarku.

“Ya, aku selalu memperhatikanmu dari atas sana. Aku tertarik melihatmu, yang begitu lincah melompat, bergerak seperti tanpa lelah. Senyum lebar sumringah yang selalu ada di wajahmu, meski wajahmu penuh debu dan menghitam terpanggang matahari,” ia mendesah.

“Kuperhatikan, kau sangat suka sekali memperhatikan langit dengan mata berbinar, kadang kau juga mengacungkan tanganmu atau mengerucutkan telapakmu di sekitar mulutmu, dan meneriakkan sesuatu ke langit. Bahkan kadang kukira kau meneriakiku. Namun, telah lama tak kulihat lagi kau menengadah ke langit dan meneriakkan sesuatu lagi.”

Aku terpana. Aku terlihat olehnya. Aku diingatnya! Hanya dengan begitu saja, dapat melayangkan angan serta melambungkan hatiku hingga jauh ke atas langit sana.

Ia datang dan kembali menyirami kuncup-kuncup yang mulai layu itu. Bolehkah aku  tetap sedikit berharap, menaruh kuncup itu meski kecil dan lemah, di bawah naungan langitnya?

“Bisakah kau bawa aku bersamamu?” aku memberanikan diri bertanya padanya.

“Aku amati, kaum langit berbeda dari kami di Bumi. Sepertinya, hidup kalian begitu ringan dan bebas. Kalian selalu punya mata-mata berbinar dan senyum yang lebar, namun teduh hingga wajah yang cerah berusia belia,” lanjutku.

Si Anak Langit terdiam sebentar, seolah termangu mencerna kata-kataku. “Begitukah anggapanmu?” Tanyanya kemudian.

“Jadi kau tertarik untuk tahu tentang kehidupan di atas sana? Dan ingin aku membawamu?” Lanjutnya.

“Ya... Ayolah, bawalah aku atau paling tidak bawa aku berkeliling melihat-lihat di atas sana, sambil kau ceritakan bagaimana kau dan kaummu hidup,” aku kembali berujar dengan nada membujuk agar ia berkenan mengabulkan pintaku.

“Tapi itu terlarang!” Ucapnya lirih namun tegas.

“Itu sudah aturan dari Yang Maha Kuasa mulai sejak kita diciptakan, dan akan terus begitu. Karena dengan menaati batasan tentang aturan hidup kita ini, kita masih bisa dapat hidup berdampingan dengan aman.”

Aku terdiam dan tertunduk. “Kenapa?” Tanyaku.

“Tidakkah bisa jika hanya sebentar, bagaimana jika sembunyi-sembunyi, tidak akan ada yang tahu atau aku akan memberikanmu imbalan apa yang kau pinta, akan kuusahakan walau bagaimanapun caranya. Pasti semuanya bisa diatur jika kau mau berkompromi, itu sudah biasa dilakukan. Aku sudah bosan dan lelah di bawah sini. Semuanya kacau dan saling menghimpit. Ayolah...” Aku bersikeras.

Dia hanya tersenyum dingin dan sinis padaku, “Aku akhirnya tahu... apa jawaban atas tanyaku dari buah ketertarikanku mengamati kalian dari atas sana. Hidup kalian yang keras dan amburadul juga terlihat olehku dari atas sana. Aku pun bertanya, mengapa kehidupan kalian berbeda dengan kami di atas, bahkan dari perawakan kalian pun berbeda dari kami.”

Aku diam mendengarkan.

“Ternyata budaya dan perilaku hidup kalian penyebabnya. Dari yang kusimpulkan, kalian mulai lupa dengan tujuan apa kalian hidup, lupa bagaimana seharusnya hidup. Mulai meninggalkan aturan-aturan mutlak yang harus ditaati dalam kehidupan apalagi terhadap sesama kaum kalian. Merasa kalian hidup hanya untuk “hidup” ini. Carut-marut kehidupan telah melenakan kalian tentang Pengawas yang paling mutlak. Sayang sekali... dan itu yang tidak akan kalian temukan pada kami para kaum langit. Kami berusaha dengan keras menggengam kesadaran itu, hingga kami tidak pernah diberati apapun tentang hidup yang singkat ini.”

Ia menghela nafas, “Sudah terlalu lama aku berada dalam ketinggian yang rendah ini, aku harus kembali. Semoga beruntung dengan kehidupanmu, mungkin suatu saat kita bisa berjumpa kembali. Mudah-mudahan hidup kalian, Anak Bumi akan membaik.” Ia mulai melayang meninggi.

Aku masih hanya bisa diam, bingung mencerna kata-katanya. Ia melambaikan tangannya sambil terus terbang tinggi bersama hembusan angin yang juga menerbangkan helai-helai rambutku. Lalu kuteriakkan kata-kataku ke langit berharap ia mendengar, “Jangan tinggalkan kami... Tidak bisakah kalian ajari kami...??” Namun kata-kata itu hanya terhembus angin panas kemarau dan hilang. Ia tak tampak lagi dalam batas pandangan mataku dan entah kapan akan dapat kulihat lagi.

Dodi Iswanto

Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation (ETF)

Mahasiswa Pascasarjana  Penelitian & Pengukuran Pendidikan (UPI Bandung)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement