Selasa 25 Dec 2012 09:45 WIB

Meraih Kemenangan yang Sesungguhnya (cerpen)

Jilbab. Ilustrasi
Foto: .
Jilbab. Ilustrasi

Lebaran kali ini, ada tiga kebahagiaan yang akan kurasakan. Pertama, Kak Nikmah akan pulang dari Arab Saudi. Kedua, Kak Ainun akan dilamar setelah Idul Fitri. Ketiga dan yang paling utama, bahwa Allah Yang Maha Pemurah akan menyampaikanku pada hari kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh.

Setelah 27 tahun melewati bulan Ramadhan, 15 kali mendapat kewajiban berpuasa, baru tahun ini aku menyadari benar-benar bahwa Ramadhan sangatlah indah. Terlebih karena setelah 15 tahun menginjak usia baligh, baru setahun terakhir aku melakukan kewajiban menutup aurat.

Aku adalah anak ayah dan bunda yang ke-4, alias terakhir, yang menutup aurat. Kak Nikmah telah memakai kerudung sejak diterima bekerja di sebuah oil company ternama di Jakarta. Mungkin sebagai ungkapan rasa syukurnya. Kak Ainun memakai kerudung setelah melewati usia 30, namun belum juga bertemu jodoh. Kak Fitri bahkan sudah berkerudung sejak SMP karena dia sekolah di Pondok Pesantren. Semua menutup aurat, meski belum dengan pakaian muslimah yang syar’i, dengan alasan masing-masing, dan bukan karena Allah SWT telah mewajibkannya.

Aku sendiri tersadar untuk menutup aurat dan insyaAllah untuk menjalani Islam secara kaffah setelah melihat long march aksi unjuk rasa di Bundaran HI. Saat itu, aku dan teman-teman guru lainnya usai makan di restoran Hotel Hyatt. Aku tertegun menahan nafas mendengar teriakan takbir dari mulut-mulut peserta aksi itu. Mereka tampak tidak gentar menyeru pemerintah yang tidak becus mengurus rakyat.

Bagaimana dengan aku??? Jangankan untuk menyeru penguasa, menyeru kepala sekolah agar memberi waktu yang cukup pada pegawai muslim untuk sholat saja aku tidak sanggup. Menyeru diriku sendiri untuk menjadi muslimah yang sebenar-benarnya saja aku masih menunda-nunda. Aku masih terlalu nyaman dengan kehidupanku, dengan pekerjaanku. Aku merasa terlalu sayang melepas gaji yang besar dari sekolah Korea tempatku mengajar sebab di sana dilarang memakai pakaian muslimah.

Teman-temanku telah pulang, long march telah lewat jauh bergerak ke arah Monas. Tapi aku masih berdiri di trotoar. Teriakan takbir tadi berdentum kencang di dadaku. Sekeras itukah Mushab bin Umair memekikkan takbir saat perang Uhud?

Aku berlari ke tengah jalan untuk memungut selembar kertas selebaran yang tercecer. 

“Buletin dakwah.” Aku membaca judulnya.  

Kusimpan rapi lembaran itu dalam tas Burberry-ku. Sesampainya di kamar kos, kutelpon nomor kontak di bagian bawah buletin. Aku meminta izin bergabung dalam kelompok para penyeru kebenaran itu.

***

Hampir satu jam aku duduk di kursi panjang dekat pintu kedatangan internasional di Bandara Sukarno Hatta. Aku sengaja datang lebih awal. Ah, aku sungguh tidak sabar lagi ingin melihat Kak Nikmah. Sudah dua tahun Kak Nikmah tinggal di Saudi, di desa kecil bernama Abcaiq. Tepatnya saat Bang Monang, suaminya, diterima bekerja sebagai Professional Geologist di perusahaan minyak terbesar di Saudi.

“Bekerja di perusahaan ini adalah mimpi semua geologist, Fil!” Kata Bang Monang ketika itu. 

“Salary-nya berlipat-lipat kali salary geologist di Indonesia.”

Tidak heran kalau akhirnya Kak Nikmah sampai rela melepas pekerjaannya yang "wow" di Jakarta demi ikut suaminya ke Saudi. Tak bisa kubayangkan banyaknya income mereka meski jika Kak Nikmah tidak bekerja.

Ketika Kak Nikmah masih di Jakarta, aku tinggal bersamanya. Bang Monang bekerja di Pekan Baru. Mungkin karena tinggal berjauhan ini, mereka belum dikaruniai anak meski telah 5 tahun menikah. Jadi praktis hanya aku dan Kak Nikmah yang tinggal di rumahnya.

Usiaku dan Kak Nikmah terpaut 6 tahun namun kami sangat dekat. Dia adalah tempat curhatku dan begitu juga sebaliknya. Kami menyukai banyak hal yang sama. Kami sama-sama fanatik dengan lagu-lagu Celine Dion. Albumnya yang Let’s Talk About Love adalah favorit kami. Setiap Jumat sore, aku akan menyamperi Kak Nikmah ke kantornya dan kami pergi berburu DVD film-film Hollywood terbaru. Kami tidak pernah kapok mencoba memasak menu-menu yang oke dari buku resep meski hasilnya tidak pernah oke. Satu hal lagi, Kak Nikmah tidak pernah absen mengajakku ke acara-acara di kantornya hanya agar aku bisa tebar pesona pada teman-temannya.

“Siapa tahu ada engineer yang kecantol,” katanya.

Hhh... hal-hal seperti itu tidak ada lagi sejak Kak Nikmah ke Saudi. Bukan! Bukan! Bukannya aku merindukan kenangan-kenangan itu. Aku telah membuang kerinduan dan kesukaan pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Toh kesenangan-kesenangan duniawi tidak akan diganjar pahala di akhirat nanti. Aku merindukan kembalinya Kak Nikmah semata-mata karena dia saudariku.

“Fil! Fildzah!” Kak Nikmah bersorak sambil melambai-lambai padaku. 

Diserahkannya travel bag yang tadi ditariknya ke Bang Monang. Dia berlari dan memelukku erat. Aku sampai menitikkan air mata.

“Kamu pakai gamis sekarang?” Tanyanya seraya melebarkan bajuku.

“Ini namanya jilbab,” Aku mengoreksi.

“Dan jilbab ini gede banget, udah kayak mukenah aja!” Dia menarik pelan kerudungku.

“Ini kerudung,” kataku. 

“Kakak sendiri masih pakai celana aja?” Aku meledek.

Kak Nikmah meleletkan lidahnya. Mungkin dikiranya aku bercanda.

“Iya, kalau di kota memang harus pakai abaya. Tapi kalau di bandara udah bisa pakaian bebas. Di sini sih belum seberapa panasnya, Fil. Di Saudi bisa 60 derajat pada bulan-bulan segini. Bisa matang kalau pakai abaya terus.”

“Nyaman atau tidak, kalau diwajibkan ya harus dipakai,” celetukku.

“Duh! Duh! Duh!” Katanya seraya mencubit kedua pipiku. 

“Udah kayak Bu Ustadzah aja nih.”

“Ma, naik taksi yang ini!” Bang Monang yang kepayahan menarik dua travel bag besar dan ransel akhirnya menemukan taksi untuk kami.

***

Sesampainya di rumah, pintu dibukakan Mak Indra. Rumah ini memang kosong sejak Kak Nikmah ke Saudi. Saya sendiri memilih kos dekat tempat kerja saja. Mak Indra datang dua hari sekali untuk membersihkan rumah dan menyirami tanaman.

Kami langsung bersalam-salaman. Kudengar Kak Nikmah meminta Mak Indra membeli Nasi Padang. Aku segera ke kamar untuk menunaikan Sholat Dzuhur. Belum selesai sholat, suara Celine Dion dari CD membahana di ruang TV. Kucoba tetap konsentrasi pada bacaanku. Usai sholat aku keluar kamar di mana Kak Nikmah sibuk membongkar-bongkar oleh-oleh.

Kukecilkan volume CD hingga hampir tidak terdengar. Kak Nikmah melihatku sekilas.

“Nih, pesananmu. Jilbab hitam dengan bordir bunga.”

“Kerudung!” Lagi-lagi aku mengoreksi. 

“Kalau yang ditaruh di kepala namanya kerudung, Ka.”

“Ah, whatever!” Kak Nikmah melebarkan kerudung tadi dan mengepasnya di kepalaku. Dia agak menyipit memperhatikan pipi kiri dan kananku. 

“Kulitmu hitaman, Fil,” komentarnya.

“Ya, dua hari lalu ada aksi di depan Kedubes Amerika, tengah hari.”

“Idih! Nggak usah ikut-ikutan yang begituanlah!” 

“No problemo, Kak. Kulit hitam mah bisa diputihkan pakai krim pemutih.” Sanggahku.

“Bukan soal itu. Kalau kamu diciduk aparat karena dianggap pemberontak, bagaimana? Sekarang kan lagi marak tuh. Di Saudi aja, orang-orang yang demo-demo untuk menegakkan syariat Islam pada ditangkapi dan dipenjara.”

“Jika itu adalah risiko menyuarakan yang haq, aku tidak takut.”

“Ih!” Dia melempar pelan kerudung hitam yang dipegangnya ke pangkuanku. Tampak kekhawatiran di wajahnya. 

“Apa yang kalian suarakan! Emangnya pemerintah mau dengar? Pemerintah negara ini telinganya udah dijahit. Percumalah demo-demoan!”

“Kalaupun ternyata pemerintah tidak bergeming, yang pasti kita sudah ikut dalam barisan orang yang memperjuangkan keadilan. Pahala orang yang ikut berjihad bersama Rasul berbeda dengan pahala para pendakwah setelah Islam tersebar. Kadar perjuangannya berbeda.” 

“Ah! Sejak jadi guru Matematika, kamu jadi suka mikir yang ribet-ribet!” Kak Nikmah menggerutu. Ekspresinya terlihat lucu.

“Assalamu'alaikum!” Suara Mak Indra terdengar dari pintu. 

Aku dan Kak Nikmah menjawab bersamaan. Mak Indra datang membawa bungkusan Nasi Padang. Ditaruhnya di meja lalu dia mendekat pada Kak Nikmah. Setelah berbicara pelan dia pamit pulang.

“Mak Indra nggak sampai sore di sini, kak?” Tanyaku.

“Seharusnya iya. Tapi dia harus jaga ponakannya, anak bayi usia 4 bulan kena Hernia. Mamanya meninggal pas melahirkan. Mak Indra belum punya uang untuk biaya operasi. Jadi, mau dibawa ke dukun.”

“Innalillahi wa inna ilaihi raajiun.” Aku mendekap mulutku. Kutarik nafas berat.

“Kak... ini adalah sebagian dari yang kami perjuangkan.” Kataku dengan suara penuh penekanan.

“Pengobatan gratis bagi setiap rakyat, pendidikan gratis dan berkualitas, pangan dan rumah bagi yang miskin...”

“Lha, emangnya rakyat Indonesia cuma sepuluh orang, ada ratusan juta, Fil!” Kak Nikmah memotong perkataanku. 

“Dari mana negara dapat uang untuk ngasih-ngasih gratis untuk seluruh rakyat?”

“Dari Zakat, dari pajak, dari baitul mal, dari kekayaan alam di laut dan di darat, Islam telah mengatur semuanya tanpa cacat. Kakak sendiri pernah bekerja perusahaan minyak. Sekali pengeboran berapa juta barel yang dapat? Berapa harganya? Berapa juta rakyat bisa terpenuhi kebutuhannya dengan itu? Ini yang harus dipikirkan pemerintah; Rakyat! Bukan hanya sibuk membawa-bawa nama rakyat untuk mempertahankan kursi kekuasaan saja!” Aku jadi berapi-api.

Kak Nikmah diam, tampak berpikir keras. Mungkin dia juga baru sadar bahwa kini kami tidak sepemikiran lagi. 

“Apa memang begitu?” Tanyanya ragu.

“Ya! Allah tidak akan menciptakan manusia tanpa memberi peraturan yang dapat mengatur seluruh hidup mereka. Dan penguasa sebagai ulil amri wajib menerapkan peraturan ini demi tercapainya rakyat yang teratur dan sejahtera. Ada berapa banyak orang seperti ponakan Mak Indra di negara ini, Ka? Yang terabaikan, tidak mendapat pengobatan karena miskin. Seolah orang miskin tidak boleh sakit.” Kami terdiam lama.

Pintu kamar Kak Nikmah terbuka, kepala Bang Monang nongol, “Ma, Sholat Dzuhur dulu.”

***

Kak Ainun akan datang dari Bandung dan sekarang malah sudah di terminal bus terdekat ke rumah. Sekitar setengah jam lagi sampai. Lusa kami semua akan mudik ke Sumatera, untuk berkumpul dengan keluarga di hari kemenangan. Membayangkannya saja, setengah kebahagiaan sudah terasa.

Rumah segera menjadi ramai saat Kak Ainun tiba. Kakakku yang satu ini sangat periang. Di usianya yang sudah menginjak 42, dia tampak masih seperti berumur 30-an. Berbeda dengan aku dan Kak Nikmah yang jarang dandan, Kak Ainun memang sangat memperhatikan penampilan. Kosmetiknya lengkap dari masker sampai maskara, dari krim siang hingga krim malam.

Berbeda dengan aku dan Kak Nikmah juga, Kak Ainun adalah jagoan masak. Di Bandung dia membuka restoran dan catering. Dia membawa banyak kue kering buatannya yang enak-enak. Brownies buatannya sangat top! Kami mencicipi ini itu sambil terus bercerita.

Kak Ainun bercerita tentang lelaki yang akan melamarnya yang ternyata temannya sewaktu SD. Namanya Parlindungan Sitompul, sekarang dia bekerja di Kepolisian dan sudah berpangkat Mayor. Istrinya meninggal enam bulan lalu. Kak Ainun tampak berbinar menceritakan tentang calon suaminya itu.

Aku bahagia untuknya. Siapa sangka, Kak Ainun yang semasa sekolah merupakan siswa yang populer, gaul dan memiliki banyak teman, ternyata baru bertemu jodoh di usia 42. Rahasia Allah tentang jodoh dan hidup memang tidak bisa ditebak.

“Eh, lihat nih!” Kak Ainun memperlihatkan dompet kulit warna tosca dari tasnya.

“Hm... bagus banget.” Kataku sambil mencium aroma kulit yang khas dari dompet. Kak Nikmah melakukan hal yang sama.

“Nggak ketahuan kan buatan Bandung?” Kak Ainun mengedip lucu.

Kami bertiga tertawa setuju.

“Ini untuk Tiara, anak perempuan Bang Parlin. Besok dia ulang tahun.” Kak Ainun melanjutkan.

“Sah sah aja ngasih hadiah. Tapi jangan dalam rangka ulang tahun dong, ka. Karena hukumnya jadi haram.” Aku berkomentar ringan. Kedua kakakku kontan melotot. 

“Karena tradisi ulang tahun berasal dari raja-raja Eropa?” Tanya Kak Nikmah meledek. Dia pasti sudah membaca Note di FB-ku. 

“Karena pada saat itu Eropa sedang berada dalam masa kegelapan dan mereka percaya pada mitos-mitos menyesatkan,” Aku mengoreksi. 

“Tidak sepantasnya seorang muslim meniru tradisi paganisme. Cukuplah Rasulullah sebagai teladan kita dalam hal apapun.”

“Duh, Fil. Capek deh! Masa’ ultah aja nggak bisa?” Kak Ainun tampak kesal, “Kamu ke kamar aja deh, dzikiran dulu!”

Astaghfirullah... Aku memohon ampunan Allah karena dulu lebih senang mendengar lantunan lagu-lagu Celine Dion atau Michael Jackson ketimbang mendengar murrotal. Setiap jalan dengan Kak Ainun, dia menyaksikan aku asyik mengikuti lagu-lagu barat yang kudengar dari headphone-ku sementara tangannya sibuk menekan alat penghitung bacaan dzikirnya.

Aku bersyukur Kak Ainun menemukan kenikmatan dzikir lebih awal dariku. Tapi bukan berarti semua komentarku jadi tidak dianggap hanya karena aku “sadar” belakangan kan?

Dan itu belum seberapa. Hal yang lebih mengerikan lagi terjadi esoknya. Bang Parlindungan datang menjemput Kak Ainun ke rumah. Mereka berencana memberi surprise pada Tiara. Dan dia datang sendirian. Itu berarti mereka akan berdua saja dalam mobil mulai dari rumah hingga rumahnya.

“Apa tidak sebaiknya kakak naik angkot?” Tanyaku serius.

“Please-lah, Fil! Kayak kami ini mau ngapain aja! Bang Parlin nggak akan macem-macemlah!” Kak Ainun menjepit ujung kerudungnya dengan bros ke arah bahu kiri. Dia segera melangkah keluar dan terus masuk ke sedan hitam Bang Parlin.

Aku terduduk di sisi tempat tidur dan mendengus dengan kesal. Kudengar suara mobil menjauh. Sesaat kemudian Kak Nikmah menemuiku. Dipeluknya pundakku.

“Fil, jangan bereaksi seperti itu. Bisa-bisa Kak Ainun merasa kamu tidak senang dia dapat calon suami,” katanya dengan suara lembut.

“Aku tidak senang karena mereka ber-khalwat di dalam mobil. Anak kecil aja tahu kalau ber-khalwat, yang ketiga hadir di antara mereka adalah setan. Kakak tega menyaksikan saudara sendiri bermaksiat?” Kak Nikmah mendelik. 

Mungkin dalam pikirannya yang dimaksud dengan bermaksiat adalah berzina. Padahal segala pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah ya maksiat namanya!

***

Alhamdulillah kami sampai di Bandara Polonia, Medan dengan selamat. Dari sini ke kampungku, Dolok Sanggul, masih 7 jam lagi. Suasana ceria sepanjang jalan. Itulah hal yang paling indah dari keluarga kami. Kami selalu segera melupakan perdebatan sesengit apapun. 

Kak Ainun dan Kak Nikmah hanya sesekali meledekku dengan selalu bertanya apakah ini dan itu diperbolehkan dalam Islam. Tak mengapa. Memang, tidak semua orang dapat menerima kebenaran secara instan. Tetapi jika mereka mendengarnya terus menerus, sedikit banyak mereka akan memikirkannya.

Keluarga di Dolok Sanggul menyambut kami dengan penuh suka cita. Kami saling berpelukan melepas rindu. Kak Fitri malah telah memasak semua menu lebaran, ketupat, rendang, kembang goyang, dan kue-kue.

Setahun tidak bertemu Ayah dan Bunda, mereka tampak jauh lebih tua. Kuciumi pipi keduanya dan segera kuajak bercerita tentang ini dan itu. Sementara Kak Ainun dan Kak Nikmah sibuk membongkar-bongkar oleh-oleh yang banyak sekali. Malam itu kami sekeluarga bergembira mengumandangkan takbir sambil ikut pawai keliling kampung.

Idul Fitri akhirnya tiba, hari yang dinanti-nantikan umat muslim seluruh dunia. Sejak Shubuh takbir sudah menggema dari Masjid Al Amin, satu-satunya masjid di kampungku. Kami berjalan bersama dengan puluhan umat muslim lainnya menuju masjid. Semua tampak cantik dalam busana warna warni.

Kugandeng tangan kanan bunda dan kubawakan mukenahnya. 

“Kalau pakai jilbab seperti yang kupakai ini, tidak perlu lagi repot-repot pakai mukenah, Bunda,” kataku sambil memeluk pundaknya.

“Nggak usah aneh-anehlah! Masa’ sholat tidak pakai mukenah,” protes Bunda.

“Iyakan saja, Bunda.” Kak Nikmah yang tadi berjalan di belakang bersama Kak Ainun dan Kak Fitri ikutan menggandeng tangan kiri Bunda. 

“Anak bontot Bunda ini sekarang banyak mengetahui hal-hal yang tidak kita ketahui.” Mereka semua tertawa berderai-derai.

Di Masjid Al Amin, suasana kemenangan sangat terasa. Setiap berpapasan dengan siapapun, kami bersalam. Rasa ukhuwah Islam sangat kental di tanah kelahiranku ini. Sholat Id berlangsung dengan khidmat. Jamaah tumpah ruah hingga ke jalan. Ternyata umat muslim di Dolok Sanggul berkembang sangat pesat. Subhanallah!

Usai Sholat Id, kami kembali bersalam-salaman dengan jamaah lain, penuh senyum dan suka cita. Di tengah jalan pulang, kakak-kakakku malah langsung berencana akan jalan-jalan ke Danau Toba.

“Ke ladang Ayah aja. Aku udah kangen pengen metik kopi,” kataku jujur sambil bergelayut di lengan Ayah.

Ayah dan Bunda hanya tertawa. “Suara terbanyak aja, Inang. Pulang dari Danau Toba baru metik kopi,” kata Ayah bijak.

Tinggal beberapa meter menuju rumah, mataku menangkap pemandangan yang tidak biasa. Dua orang lelaki berseragam berdiri di depan rumah. Awalnya aku pikir mereka anak buah Bang Parlin yang datang bersamanya untuk melamar. Ternyata di dalam rumah juga ada beberapa orang lagi yang berseragam sama. Rumah memang dibiarkan terbuka meski semua pergi Sholat Id. Lagipula ada Elvis, tukang kebun Ayah, yang jaga rumah. Dia tidak ikut ke masjid karena beragama Nasrani.

“Ada apa ini?” Ayah yang pertama buka suara, agak panik.

“Kami mencari anak Bapak yang bernama Fildzah az Zahra.” Kata salah seorang yang berseragam.

Semua spontan menoleh dan memandang penuh tanya padaku. Aku sendiri kaget.

“Saya Fildzah az Zahra,” akhirnya aku mengaku, berusaha tetap tenang.

"Ada apa ya?"

Bukannya menjawab, lelaki itu langsung memberi aba-aba pada temannya untuk menangkapku.

“Astaghfirullah! Lepaskan! Hei, kenapa ini? Jangan sembarangan menyentuh orang yang bukan muhrim Anda!” Aku membentak.

“Apa-apaan ini?” Ayah tampak sangat berang anaknya diperlakukan begitu. 

Tangannya kontan menampar pipi kiri lelaki yang berbicara tadi. Kedua abang iparku juga mencoba membebaskanku dengan mendorong dua petugas yang memegangiku.

“Anak Bapak terlibat dalam jaringan teroris.” Kata lelaki yang pipinya ditampar ayah. Mungkin dia juru bicara atau komandannya. Aku juga tidak mengerti lambang-lambang pada lencana mereka.

Semua ternganga kaget, termasuk aku.

“Dari penampilannya saja sudah mencurigakan,” petugas tadi melanjutkan.

"Di tasnya kami menemukan ini, buku jihad.” Dia memperlihatkan bukuku yang bersampul putih.

“MasyaAllah! Itu hanya buku biasa yang berbahasa Arab. Yah, Bunda, kakak-kakak, please jangan percaya! Apa aku berbicara tentang ide-ide terorisme? Ini fitnah!”

“Maaf, Anda bisa melakukan pembelaan di kantor,” kata petugas tadi. Dia mengisyaratkan agar aku segera dibawa keluar.

“Tidak! Saya menolak dibawa!” Aku mendorong petugas yang mencengkeram dengan ketat kedua tanganku. Mereka kembali memegangiku lebih erat. Kedua lenganku terasa mau patah.

“Ini perintah, Bu. Jangan sampai seluruh keluarga Ibu kena getahnya!” Sekarang dia malah mengancam, membawa-bawa nama keluarga. Betapa tidak pantasnya!

Seluruh keluargaku langsung membisu. Suasana berubah jadi sangat menegangkan. Bunda pingsan seketika... 

***

Ya Allah, sebodoh inikah umat muslim saat ini? Menuduh tanpa bukti. Mengajak agar hidup seperti perintah Allah dan Rasul serta berpakaian syar’i disebut mencurigakan. Buku ngajiku itu tidak beda dengan buku-buku Islami lainnya. Isinya hanya tentang peraturan hidup dalam Islam. Namun hanya karena ditulis dalam bahasa Arab gundul, langsung diklaim sebagai buku jihad. 

Kalaupun betul buku jihad memangnya kenapa? Tidak bolehkah orang memiliki buku jihad??? Padahal perjuangan Rasulullah yang membawa agama meraka tidak pernah kering dari jihad. Lalu mengapa kini umat muslim seolah-olah ditakut-takuti dengan gerakan jihad? Menyamakan jihad dengan terorisme??? Ini benar-benar konyol!

Rezim ini boleh saja menangkapku dan menangkap segelintir temanku. Namun di luar sana, mungkin di belahan dunia yang lain, ribuan bahkan jutaan teman-temanku tumbuh subur dan tak henti berjuang menyuarakan ditegakkannya hukum-hukum Allah. Jika aksi menumbangkan pemerintah yang zalim disebut aksi terorisme, terserahlah! Hanya Allah yang tahu. Kami pun berharap seruan kecil ini diganjar pahala syahid oleh Allah SWT. Karena syahid terbesar adalah meninggal saat menyeru penguasa yang zalim.

“Akh!” tiba-tiba kurasakan kepalaku dipukul keras dengan benda tumpul lalu tubuhku diseret ke ruangan yang bau dan basah. Kurasakan sesuatu mengucur dari hidungku. Mungkin darah. Aku tidak bisa melihatnya karena ruangan yang teramat gelap. Pintu sel dibanting dengan keras. Tubuhku lunglai.

“Ya Allah, Ya Malik, Ya Aziz... Akhirnya Engkau sampaikan aku pada hari kemenangan ini. Maka menangkanlah juga orang-orang yang menolong agama-Mu,” ucapku lemah.

Kali ini aku mendapat pukulan di tengkuk. Gelap... aku tak mampu melihat apa-apa lagi.

Nuraisah Hasibuan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement