Senin 24 Dec 2012 10:29 WIB

Sajak Hidayat TF: Udeng

Ilustrasi
Foto: nanogenhairlossrestoration.ie
Ilustrasi

I

Oh sayangku, janganlah engkau suruh merapikan rambut kepalaku. Apalagi menceramahiku tentang kerapian memandang wajah. Apalagi berkaitan dengan dasar agama: mencintai kerapian, walaupun dengan cara tidak memaksaku. Maka, janganlah engkau suruh merapikan rambutku. Sungguhlah aku tergiur melakukan itu, dan sungguhlah aku akan terluka dengan tingkahku.

Engkaukah mengetahui, Sayang? Berbagai potongan: setiap kali potong tidak selalu sreg denganku, tidak selalu menyenangkan hatiku. Sehingga yang terjadi adalah  tumbanglah seluruh rambutku: gundullah kita kenal itu: sesungguhnya inilah beberapa kali alasan aku menggundulkan rambutku.

Dan tidakkah engkau mengetahui? Wajahku telah tersingkirkan dari mataku, seakan-akan aku tidak mempunyai wajah yang patut dirias. Sebabnya engkaulah tahu: kekerapanku di dalam ruangan telah membutakanku untuk merias rambutku. Rambutku ibarat jembut yang bersembunyi: tapi bagi matamu, oh wahai kekasih, bukannya tetap aku merawat rambutku jika itu benar merepotkanku dan kau saksikan itu!

Jika katamu rambut adalah mahkota untuk dilihati, Sayang: seperti kebenaran jalanmu, yang mengantarkanku kedamaian dan dirimu adalah udengku. Maka dari itu, biarkan udeng menghiasi ‘mahkota’ kedamaian hatiku, di kepalaku.

II

Bagaimana? Bagaimana aku bisa mengenakan udeng kalau tidak kupanjangkan rambutku? Tidakkah itu selalu mudah terjatuh dan itu tidak terasa? Atau, malah riya’ bahwa aku ingin berudeng.

Sekarang. Bagaimana aku mengenakan udengku yang ada padamu, kalau kepalaku tidak terpanjangkan: bukannya ini kesia-siakan kita menerbangkan helaian pakaian! Ataukah engkau merasa kurang, sebab engkau sungguh sangat ingin terpakai udengmu, dan engkau mengada-adakan diriku dengan apa saja yang mirip denganku!

Tidakkah engkau tersiksa? Begitu jugalah denganku, wahai kasihku!

III

Kudekati telingamu, wahai sayangku. Kulirih-katakan padamu: menambah pengetahuanmu atau sekedar mengingatkanmu tentang kisah yang akan kuaturkan ini:

Tidakkah engkau ingat orang-orang yang berudeng, seperti Khulafaur Rasyidin? Apakah engkau? Engkau mengamati jambangnya, rambut yang tersisa padanya?

Kulirihkan padamu, hanya padamu, wahai kasihku: aku ingin menjadi seperti mereka—inilah doaku, yang kuhantarkan pada-Nya: dan engkaulah saksi, wahai udengku.

Maka, lebatkanlah pikiranku supaya aku menjadi arif dan bijaksana, supaya tercipta bahagia dunia dan akhirat—dengan pemaparan yang lihai, melalui limpahan contoh yang nyata. Dan engkau, oh sayangku. Tetaplah: sediakan telingamu menjadi udeng bibiku. Tetaplah engkau menjadi udeng diriku. Aku membutuhkanmu, wahai cintaku: yang menghiburku dengan senyum dan kenikmatan dan segala kesetiaan.

Bukannya mengenakan udengmu aku harus mengerti tempat dan waktu? Begitu jugalah  dengan udeng kepalaku, wahai sayangku: aku harus mengerti tempat dan waktu. Maka biarkan kukenakan itu di kepalaku, wahai mata-mataku.

IV

Sebelum itu. Izinkanlah kuakarkan pengetahuanku, supaya benar bahwa udeng adalah pantas untuk kepalaku; dari-Nya, yang memberikanku: udeng pengetahuan.

Cahayagarden. November 2012 

Hidayat TF

Penulis

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement