Senin 03 Dec 2012 11:37 WIB

'Mutiara-Mutiara' Gaza

Bangunan yang hancur akibat serangan udara zionis Israel di Gaza
Foto: Reuters/Mohammed Salem
Bangunan yang hancur akibat serangan udara zionis Israel di Gaza

 

Siang hari itu, Kota Gaza seakan membara. Matahari seumpama lidah api yang menjilat-jilat bumi. Terik dan menyengat. Angin Gaza dan debu yang bergulung-gulung berhembus membawa bau anyir darah manusia dan mesiu yang amat menyengat ke setiap sudut Kota Gaza.

Setelah hampir semalaman tadi ribuan tentara Israel menjalankan operasi penghangusan permukiman warga Gaza, Kota Gaza siang ini seumpama kota mati dan terisolasi. Banyak puluhan warga yang tewas dan ratusan mengalami luka bakar karena serangan bom fosfor putih semalam.

Hanya ada puing-puing bangunan yang berbaris di sepanjang jalan. Bukan karena gempa bumi ataupun bencana alam, tetapi karena rudal-rudal yang diluncurkan oleh tentara Israel semalam. Dengan keadaan luluh lantak seperti itu, tidak ada warga Gaza yang berani keluar dari kamp pengungsian.

Hampir setiap hari, Israel selalu menyerang permukiman warga Gaza dengan rudal andalannya. Serangan itu tidak hanya satu atau dua kali. Hampir setiap lima sampai sepuluh menit sekali mereka meluncurkan rudal-rudal mereka secara membabi buta terhadap warga Gaza. Tanpa mengenal laki-laki atau perempuan. Tanpa mengenal anak-anak atau lansia.

Yusuf meraba-raba benda di sekelilingnya. Berharap ada tembok atau benda lain yang mampu menjadi tumpuannya untuk berdiri. Namun tak berhasil. Tubuhnya sungguh tak bertenaga. Ia mati rasa. Semuanya tampak pekat dan pengap. Tidak ada setitik cahaya pun di sana. Padahal saat ini semestinya masih siang hari. Hanya bau mesiu dan anyir darah yang sangat menyengat dan menyesakkan dada. Kosong, pengap, dan hampa.

Mungkinkah ini yang disebut kematian?

Mungkinkah ini yang disebut alam kubur?

Matahari Gaza seakan menjulurkan lidah apinya hingga ke bawah tanah, dan apa yang dialami Yusuf bagaikan siksa kubur. Panas hawa sahara bagaikan membuka pintu neraka.

Yusuf meraba ujung hidungnya. Masih ada nafas di sana.

Yusuf segera mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Meraba kembali benda di sekelilingnya. Walau hampir semua tubuhnya sudah terasa tak terbentuk dan mati rasa. Mencoba mengangkat reruntuhan bangunan yang hampir menindihnya.

Yusuf sungguh tak menyangka akan mengalami kejadian mengerikan seperti ini. Padahal beberapa jam yang lalu ia masih berada di dalam kamp pengungsian yang disediakan oleh PBB. Sekolah Al-Fakhoura, Jabaliya, Gaza.

Ia masih ingat betul betapa kejinya tentara Israel membombardir kamp pengungsian yang berisikan ratusan warga Gaza itu. Padahal, sekolah Al-Fakhoura merupakan sekolah yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB. Di antara ratusan pengungsi, di dalamnya banyak anak-anak dan lansia.

Pagi itu, sebelum tentara Zionis menjalankan aksinya, tiga tank Israel berjalan mengelilingi jalan Jabaliya, Gaza. Dekat Sekolah Al-Fakhoura. Setiap satu jam sekali tentara Israel memang selalu melakukan patroli ke permukiman warga Gaza. Apalagi setelah operasi penghangusan permukiman warga Gaza semalam, tentulah kegiatan patroli lebih gencar dilakukan. Seperti biasa, itu dilakukan oleh tentara Israel dengan alasan yang mengada-ada, yaitu mengincar pejuang Palestina.

Lucu memang! Warga Gaza diisolasi dan dibantai di negaranya sendiri. Dan seakan-akan, para penguasa dunia buta atau pura-pura buta akan kenyataan itu.

Setelah melakukan patroli, ketiga tank tersebut mengarahkan laras meriam ke arah sekolah Al-Fakhoura. Di saat ratusan pengungsi sedang melakukan shalat dhuha. Sekolah Al-Fakhoura yang menjadi barak pengungsian itupun langsung hancur lebur rata dengan tanah. Beruntung, Yusuf  berada pada posisi rongga tanah runtuhan bangunan, sehingga masih ada ruang untuknya bertahan.

Entah bagaimana nasib Ummi dan ketiga adiknya kini, Yusuf tidak tahu. Masih hidupkah, atau seperti Abinya yang tewas akibat rudal nyasar Israel pada Desember 2008 lalu. 

Di saat  kebanyakan remaja seusia mereka sedang sibuk mengeluk-elukan artis idolanya, tidak dengan kehidupan para remaja di Gaza. Mereka tidak memiliki waktu utnuk bersenda gurau seperti itu.

Masa kecil yang mengerikan, menjadi anak yang keras akibat  hidup di kamp pengungsian dan melihat kekerasan tentara Israel setiap hari. Dikejar dengan rasa takut akibat serangan Israel di setiap menitnya. Hidup sebagai yatim dan masa depan yang tak tahu bagaimana bentuknya.

Setidaknya ia masih beruntung, karena hingga detik ini ia masih memiliki nafas. Tidak seperti tetangganya, keluarga Mahmoed, rumah mereka dirudal kemudian dilindas oleh tank raksasa Israel tanpa ampun. Sembilan anggota keluarga Mahmoed tewas di tempat. Ironisnya, tim relawan menemukan roti gandum yang masih hangat di antara runtuhan bangunan dan jenazah para syuhada. 

Remaja berusia tujuh belas tahun itu menghibur diri dengan kegiatan muraja’ah  yang rutin ia lakukan. Sekuat tenaga dan semaksimal mungkin kemampuannya. Menunggu detik-detik kematian yang kapan saja bisa datang menjemput. Ia memulai dari Surat Al-Kahfi.

Blum!

Lagi, bunyi rudal yang memekakkan telinga itu kembali diluncurkan. Tubuh Yusuf terguncang. Getaran hebat akibat rudal Israel membuat tubuh Yusuf terpental dan kegiatan muraja’ahnya terhenti. Sebuah beton yang hampir menindihnya sejak tadi bergeser lebih dekat. Semakin pekat dan pengap. Aroma kematian begitu kental siang itu.

Panas mesiu dan sahara Gaza semakin membuat Yusuf terasa di pintu neraka. Panas, pengap, dan hampa.

***

Semuanya terasa gelap dan hening. Dalam keheningan seperti itu, Yusuf mendengar suara magis, “Utsbut tsabakallah (Tetaplah di tempat, maka Allah akan menguatkanmu)!”

Setelah itu, kembali terdengar suara magis yang menyuruhnya untuk muraja’ah. Yusuf memulainya dari awal. Surat Al-Baqoroh. Kemudian, suara magis itu menyuruhnya membaca hingga Surat Al-Kahfi. Yusuf membaca hingga Surat Al-Kahfi dengan penuh haru. "Teruskan Surat Al-Hajj!" Yusuf membaca Surat Al-Hajj sampai selesai.

Semuanya gelap kembali. Yusuf tidak bisa melihat apa-apa. Yang terdengar hanyalah suara seorang lelaki yang membaca Surat Al-Furqon dengan fasih dan syahdu. Hingga tibalah pada Ayat 65, lelaki itu menangis tersedu-sedu. Air mata Yusuf ikut meleleh mendengarnya.

Yusuf terus membaca hingga Surat Saba’ Ayat 40, samar ada yang memanggil namanya.

“Bangunlah kawan. Sudah hampir lewat dini hari. Pagi hari nanti kita pergi ke perbatasan!” Umar sudah ada di hadapannya.

Yusuf tergeragap. Ah, ternyata cuma mimpi.

“Apa yang kau mimpikan? Sejak tadi kau mengigau melantunkan ayat-ayat suci Alquran sambil menangis tersedu-sedu?” Ammar berkemas bersama pemuda Gaza lainnya. Memasukkan kapak, pisau, ketapel dan bom rakitan yang masih kasar ke dalam ransel.

Yusuf masih termenung. Mimpi yang aneh. Perlukah ia menceritakannya. Jika ia cerita, apakah orang-orang akan mempercayainya?

“Aku bermimpi Israel menghancurkan kamp pengungsian ini,” Yusuf tak tahan lagi untuk bercerita.

“Oh ya, lalu berapa orang yang tewas di dalamnya?” Umar yang sedang berkemas mempersiapkan perbekalan menuju perbatasan tertawa meledek.

Yang lain ikut tertawa.

Yusuf menghela nafas. Ia sudah mengira.

Yusuf paham mengapa kawan-kawannya bersikap seperti itu. Tidak lain hanya untuk menghibur diri dan melepas ketakutan mereka selama ini.

“Apakah kita akan benar-benar menuju wilayah Netzarim?” Candaan Umar kali ini tidak membuahkan candaan balasan.

Semua terdiam.

 “Wilayah Netzarim. Permukiman ilegal Yahudi yang dihuni oleh 6.000 penduduk Israel dan dijaga ketat oleh 10.000 tentara Israel, beserta anjing pelacak dan senjata perangnya,” Ammar menerawang.

Yusuf menengadah ke langit Gaza yang terlihat masih gelap kemerahan dari jendela sekolah Al-Fakhoura. Sesekali pesawat tempur Israel terbang rendah di langit Gaza. Yusuf membayangkan kematian yang kapan saja bisa datang menghampirinya.

***

Siing...!

Pesawat tempur Israel terbang rendah di langit Gaza. Angin sahara sudah menghembuskan kegersangannya. Kegersangan itu makin terasa oleh bau mesiu dimana-mana.

Dorr..! Dorr..! Dorr..!

Pagi hari ini, baku tembak sudah terjadi dari kejauhan. Semua pengungsi tiada hentinya berdzikir mengucap takbir dan tahlil. Banyak anak-anak menangis histeris ketakutan, bahkan banyak di antara mereka sampai mengompol di celana karena ketakutan.

Setelah shalat shubuh berjama’ah dan muraja’ah rutin, Yusuf  bersiap untuk pergi bersama pemuda Gaza lainnya menuju perbatasan  jalur Gaza dan wilayah permukiman ilegal Yahudi. Wilayah Netzarim. Hari ini sekolah libur, sebab bangunan sekolah Al-Fakhoura yang didirikan oleh PBB sudah beberapa hari ini dijadikan kamp pengungsian.

Yusuf pergi bersama dengan pemuda Gaza lainnya untuk menjalankan misinya menghalang kedatangan tank-tank Israel di perbatasan. Walau hanya berbekal ketapel, pisau dan bom rakitan yang masih kasar.

Yusuf berpamitan. Beruntung Ummi mengizinkan. Seperti halnya Asma’ binti Abu Bakar yang melepas kepergian Abdullah bin Zubair, dengan tegar Ummi melepas kepergian Yusuf. ”Pergilah anakku, jika Allah SWT berkehendak memanggilmu, sesungguhnya aku berharap dapat menghadapi kematianmu dengan baik. Jangan khawatir, sesungguhnya kambing yang sudah disembelih tidak merasa kesakitan jika dikuliti.”

Yusuf memegang tangan Ummi-nya penuh haru, lalu mencium kening dan memeluknya erat. Yusuf juga mencium kening dan memeluk erat ketiga adiknya.

”Hai, kau mengompol Ahmeed?” Yusuf tertawa dan mengusap adik terkecilnya itu.

Ingin rasanya Yusuf memandang lama-lama keluarganya. Entah, karena itu suatu firasat atau hanya pengaruh dari mimpi semalam.

Blum...!

Firasat orang-orang  beriman kadang benar adanya. Baru saja Yusuf membalikkan badan untuk pergi, tiba-tiba suara ledakan yang berasal dari bom Israel menggelegar dahsyat di luar sana. Parahnya, kali ini Israel kembali memakai bom fosfor putih yang mereka gunakan pada  serangan tahun 2008 yang lalu.

Semua pengungsi berlari tak karuan sambil meneriakkan takbir, ”Allahu Akbar... Allahu Akbar...!”

Anak-anak menangis histeris. Para lansia ikut berlari tergopoh. Dengan sigap Yusuf memberikan perlindungan kepada keluarganya dan beberapa pengungsi yang jaraknya bisa ia jangkau. Tak dapat dipungkiri, jantung Yusuf saat itu berdetak sangat cepat. Ini seperti di dalam mimpinya semalam.

”Bukan kita...!” Teriak Umar berlari dari luar kamp pengungsi.

”Bukan gedung ini. Roket Israel jatuh di sebuah rumah di seberang sana!”

Nafas Yusuf hampir putus. Ia hampir duduk lemas di atas lantai. Suasana sekolah Al-Fakhoura sungguh mencekam dan kacau.

Siing...!

Pesawat tempur Israel terbang rendah kembali di langit Gaza. Rudal-rudal Israel kembali siap diluncurkan secara membabi buta. Suasana kacau dan mencekam seperti ini bukanlah hal baru bagi warga Gaza. Bagaimanapun upaya para Zionis dan "boneka"-nya berusaha melenyapkan penduduk Gaza, membantai dan membunuh seluruh anak-anak Gaza, tapi itu tidak menyurutkan semangat dan kecintaan warga Gaza terhadap tanah air mereka.

Setiap satu anak yang syahid karena dibunuh oleh Israel, maka Gaza akan melahirkan lebih banyak lagi generasi. Allah SWT akan selalu melipat gandakan "mutiara-mutiara" Gaza itu lebih banyak lagi, lagi dan lagi.

”Allahu Akbar...!”

Semua "mutiara" Gaza meneriakkan takbir dan memberikan perlawanan dengan heroik.

Blum!!

Bom menggelegar dahsyat. Api dan asap rudal mengepul di sekolah Al-Fakhoura.

Mengenang perjuangan rakyat Gaza dalam memperoleh kemerdekaan,

Sari Anggar Kusuma Melati

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement