Senin 10 Sep 2012 14:31 WIB

Satu Keluarga Sejuta Warna (#cerpen)

Bunga Matahari
Foto: AP
Bunga Matahari

 

Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

[OST Keluarga Cemara]

“Kelak ketika menikah, aku ingin proses pernikahannya seperti Abi dan Ummi,” kata Alia, putri semata wayangku ketika kami merayakan hari jadi yang ke-18.

Aku mencari tatapan istriku yang teduh. Dia pun balas tersenyum kepadaku .

Kalau di restoran cepat saji kita kenal menu paket hemat yang berharga hemat pula, mungkin itulah uniknya pernikahanku. Sebut saja "nikah paket superhemat". Kenapa? Karena aku menikahi istriku siang hari, bertepatan dengan Bulan Ramadhan, dan tanpa resepsi pernikahan yang gegap gempita seperti perhelatan pada umumnya. Terbayang kan betapa super hematnya? Silakan kalau mau ditiru. 

Belakangan, baru kuketahui dari pengakuan bapak mertua bahwa cara pernikahanku ini membuatnya bangga. Alasannya, karena tak banyak merepotkan keluarga besar dari segi persiapan dan dana.

Meminang "Khadijah"-ku

Betapa bersyukurnya ketika aku memiliki istri seperti dia. 18 tahun lalu, jika tak jadi menikah dengannya, mungkin tak akan ada wanita yang mau menikah denganku dan hidupku tak akan seperti sekarang. 

Aku masih berusia 22 tahun dan istriku 2 tahun lebih tua dariku kala itu. Datang pada calon mertua dengan kondisi yang minus dalam segala hal. Termasuk soal penampilan, bisa dikatakan tak setampan dan sekeren sekarang dan belum lulus kuliah. Apalagi dengan latar belakang keluarga yang bisa dibilang tak mapan pula. Ayahku seorang tukang parkir dan ibuku pedagang sayur di pasar.

Tapi, tekadku sudah bulat karena sepenuhnya kuyakin dia adalah jodohku. Ya, baru kusadari ternyata dia adalah wanita yang dua tahun lalu pernah kulihat di salah satu kampus tempat aku mengisi pelatihan.

“Mungkinkah dia jodohku?” timbul pertanyaan dalam diriku saat itu, tapi entah mengapa hatiku mantap memilihnya.

“Allah, aku akan menjaga-Mu (menjalankan perintah dan menjauhi larangan), maka jagalah aku (dari segala syubhat dan maksiat).”

Nikah paket superhemat

Dan Allah benar-benar membuktikan kebesaran-Nya. Sepekan setelah menerima biodatanya dari guru ngajiku, kami bertemu untuk proses ta’aruf. Setelah itu, aku berjanji akan menemui orang tuanya 2 pekan kemudian.

Tiba saat yang disepakati, aku datang membawa kedua orang tuaku bersama beberapa kawan. Dengan 3 rombongan mobil, ulahku ini ternyata cukup mengherankan bagi keluarga calon istriku.

Saat kami semua dipersilakan masuk dan diberi kesempatan bicara, serta merta kuutarakan niatku, “Kedatangan saya dan orang tua ke sini adalah untuk melamar Mbak Ratri sekaligus menikah dengannya hari ini juga.”

Tuh kan, orang tua mana yang nggak akan kelepek-kelepek kalau punya calon mantu nekad macam aku ini. Mau ditolak juga bingung karena aku sudah kadung bawa rombongan, mau diterima juga sama sekali tak ada persiapan.

“Mewakili putra saya, kami semua ingin minta maaf,” kata bapakku kemudian karena membuat keluarga calon perempuan tampak shock. Ah, tapi kutahu calon istriku sangat suka dengan rencanaku.

Alhamdulillah, setelah dilakukan lobbying antar orang tua, mereka sepakat bahwa kami akan dinikahkan siang itu juga setelah sholat Jumat. Segera dibentuk panitia kecil yang memang sengaja telah kupersiapkan dari rumah. Pak penghulu dari KUA dan pemberi khotbahnya, tak lain adalah "Pak Lik"-ku yang seorang muballigh. Alhamdulillah acara berjalan sesuai dengan rencana.

Warna warni kisah cinta kami

Biduk rumah tanggaku bukanlah seperti air sungai yang tenang. Di tahun kedua pernikahan, kami mendapat cobaan.

Kebutuhan rumah tangga semakin melonjak karena putri pertamaku lahir. Job untuk memberikan bimbingan les privat pun berhenti.

Aku yang sudah lulus jadi sarjana pun tak juga mendapat panggilan kerja dari beberapa surat lamaran yang kukirimkan. Tapi, aku bukanlah orang yang mudah putus asa. Hidup telah mengajariku, bahwa di setiap jengkal tanah yang kutapaki pasti ada rezeki Allah di sana.

“Hmm.. Abi ini memang sepertinya nggak punya tampang jadi karyawan ya, Mi,” kelakarku pada istriku.

Melihatnya tetap tenang dengan kondisi seperti ini, aku pun tak ragu dengan keputusan yang kuambil. “Besok Abi mulai narik becak punya Pak Samsul. Kebetulan seminggu yang lalu dia baru beli becak lagi.”

“Wah, masyaallah, benar-benar kebetulan ya, Bi,” ujarnya sambil mengulas senyum.

Banyak cemoohan yang tak enak didengar. Tapi lihatlah, aku mulai sedikit mencerna rencana yang Allah tetapkan dengan mengirim wanita sholihah di hadapanku ini sebagai istriku.

“Di belakang lelaki hebat, pasti ada wanita yang hebat pula.” [Anonymous]

Memang, tak banyak penghasilanku sebagai penarik becak. Istriku pun rela hanya makan pindang goreng dan sepasang tahu-tempe, lalu menyisihkan sisanya untuk kebutuhan Alia. Tapi, dari hasil narik becak pula akhirnya aku bisa mengembangkan usaha distribusi kerupuk. Dan kuyakin, tak selamanya akan bekerja seperti ini.

“Tenang Abi, idealisme itu harus tetap ditanamkan. Ummi percaya ini hanya pilihan antara saja.”

Ah, kalimat menyejukkan inilah yang membuatku selalu rindu akan rumah. Ada seseorang yang selalu menguatkanku, mendoakan, dan menantikan kehadiranku dengan kehangatan senyumannya.

18 tahun kemudian

“Ummi, Abi berangkat dulu ya.”

“Alia juga ya, Ummi.”

“Hati-hati di jalan ya, cinta...,” serunya sambil melambaikan tangan.

Pagi itu aku hendak mengantarkan putri semata wayangku registrasi ulang. Dia diterima di fakultas kedokteran salah satu PTN di Malang.

Lima tahun setelah masa sulit itu, mulai muncullah kemudahan. Aku mendapat pekerjaan lagi sebagai guru matematika di salah satu SMA favorit di Surabaya. Karena banyak waktu luang, kugunakan sisanya untuk mengisi training lagi, keahlian yang lama terkubur semenjak aku bekerja menjadi tukang parkir (setelah berhenti narik becak). 

Sekali lagi, jika kuingat 18 tahun yang lalu, jika bukan karena Allah mempertemukanku dengan istriku, mungkin aku tak akan bisa seperti sekarang. Istriku, I love you.

Sebelas Januari Bertemu

Menjalani Kisah Cinta Ini

Naluri Berkata Engkaulah Milikku

Bahagia Selalu Dimiliki

Bertahun Menjalani Bersamamu

Kunyatakan bahwa Engkaulah jiwaku

Akulah Penjagamu

Akulah Pelindungmu

Akulah Pendampingmu

Di setiap langkah-langkahmu

Pernahku Menyakiti Hatimu

Pernah kau melupakan janji ini

Semua Karena kita ini manusia

Kau bawa diriku

Ke dalam hidupmu

Kau basuh diriku

Dengan rasa sayang

Senyummu juga sedihmu adalah Hidupku

Kau sentuh cintaku dengan lembut

Dengan sejuta warna

[dipopulerkan oleh Gigi]

Najwa Fahrini

Penulis yang saat ini berdomisili di Surabaya, adalah seorang Dokter Gigi dan Blogger. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement