Selasa 04 Sep 2012 14:49 WIB

Pembantu: Solilokui Bulan Suci

Pembantu rumah tangga/ilustrasi
Pembantu rumah tangga/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  Puisi Budi Sabarudin*

 

1

Ramadan melambai di ujung pintu

Mendadak butir-butir buah ceri merah jatuh

Dari ranting pohon waktu yang lemas dan gemetaran

 

Semua jenis burung merunduk, berhenti bernyanyi

Semut, nyamuk, kutu, rayap, kaki seribu, keong, dan cacing, terdiam

Gunung-gunung api tiba-tiba membeku serupa es di Atlantik

Angin pun tak mau berhembus, meski hanya sekedar kesiur

 

Di pekarangan rumah aku berdiri menatap bayang-bayang sendiri

Tersenyum dalam tangis, juga menangis dalam senyum

 

2

Aku ingat, menjelang Ramadan selalu saja harga-harga sembako

Bagai potongan kertas, daun-daun kering, dan bahkan kapas

Melayang-layang di udara, berterbangan ditiup angin

Beras, bumbu dapur, dan buah-buahan sudah menepi langit

Daging ayam, sapi, domba, dan kerbau pun sudah berada di atas awan

 

Begitu terus, berulang-ulang, di negeri ini

Setiap bertemu tahun, setiap bertemu Ramadan

Bagai kincir air yang terus berputar

Berputar

Berputar

 

Para pedagang berlari-lari memburu keuntungan

Mereka kucing panik dikejar-kejar puting beliung dan genderuwo

 

“O, tak masuk akal buat aku yang hanya pembantu,” kataku

Pada diri sendiri, tanpa bisa protes pada pedagang, apalagi pada

walikota, gubernur, menteri-menteri, dan presiden

 

“Ah, kalau pun protes, paling-paling protes sama kasur, sama terasi

Dan garam di dapur saja. Tapi kalau pun bener-bener protes

tidak akan dapat apa-apa juga kok, buah-buahan,

Benih-benih pohon padi, atau biji-bijian misalnya.”

 

Akhirnya demam selalu mendera seluruh tubuhku

Bagai digigit nyamuk Aedes Aegepty, aku pun terbaring di kasur tipis

Dan jika malam datang, tak berdaya, tersiksa dalam gigil

Hidup bagai di dalam kulkas dua pintu yang bagus milik majikanku

`

3

Seperti tahun-tahun sebelumnya juga

Aku tidak akan menyambut Ramadan dengan air mata

Bukankah Tamu Agung itu akan membersihkan jiwa,

hati, pikiran, dan tubuhku dari debu-debu dan luka-luka jalanan?

 

Aku adalah pembantu, aku dan juga engkau kaum muslim

adalah bagaikan pakaian kotor. Sudah saatnya direndam, dicuci,

Dijemur, dan disetrika di Ramadan ini

 

Dalam zikirku, di mana pun, ketika masak di dapur,

Mengasuh anak-anak dan menyediakan makan majikan,

Atau menyapu dan mengepel rumah, aku akan terus tersenyum

Seperti bintang-bintang iklan pembersih gigi di televisi-televisi

Lalu melakoni bulan ini dalam rindu menghatamakan Al Qur’an

Dan suatu ketika parasku akan seperti daun-daun bayam

Yang disiram petani di pagi hari, lalu memancarkan cahaya taqwa

Aku pun ingin pohon-pohon kelapa tumbuh dalam hatiku

Atau tak mengapa meski hanya menjadi dedauanan, kangkung, toge, rumput

Kerang, bakau di pantai-pantai, eceng gondok di rawa-rawa

Lumut-lumut yang hidup di batu-batu sungai

Menjadi makanan anak-anak ikan kecil atau beunteur

Asal bisa menatap wajah Engkau dalam setiap shalat

Dan mati khusnul khotimah

 

 

4

“Aku ini hanya pembantu,” kataku lagi pada diri sendiri.

 

Uhh, lihat menjelang Hari Raya Idul Fitri

Ongkos angkutan umum dinaikan pemerintah, tuslag katanya

Itu pun belum tentu aman. Bukankah banyak sopir ugal-ugalan?

Tak terbayangkan betapa menakutkan dan mahalnya silaturahim pulang kampung

Belum lagi harga baju koko, peci, dan sarung buat bapak,

Termasuk juga sandal, baju muslim, dan kerudung buat emak

Sepatu dan pakaian dalam lainnya buat adik-adikku

Harganya dinaikan pedagang ke ujung tangga langit

 

“Ini bulan panen, bulan mencari untung.

 Orang Islam biasanya boros di bulan ini,” kata seorang pedagang.

 

“Boros itu perbuatan setan. Kita tak ada urusan dengan setan.

Urusan kita ya berdagang, mencari untung,” timpal pedagang lain

 

Aku mendengar para pedagang itu berkicau

 

Orang-orang pun mabuk dibujuk rayu diskon-diskon yang berlebihan

Belanja di mal dan super market dibuka hingga larut malam

Aku dibawa menemani majikan, berjalan di belakang pantatnya

Sambil mendorong troli. Tapi tak pernah ditawari belanja apa-apa

Meski dompetnya kulihat begitu tebal

Kartu kreditnya juga tak ubah kartu remi atau kartu gapleh

Padahal ingin rasanya aku membeli kurma buat buka

Dari magrib ke magrib lainnya : Ya, ingin sekali

Menjalankan sunah Rasululullah, cintaku dan jiwaku Nabi Muhammad :

Ketika ta’jil cukup menyantap hanya satu butir kurma

 

Akhirnya takut tak kebagian diskon-diskon itu

Orang-orang muslim meninggalkan shalat terawih

Masjid-masjid kosong dan kesepian

Mereka juga lupa menenggelamkan diri

dalam dzikir dan membaca Al Qur’an di malam hari

Bahkan kesiangan ketika saur dan shalat Subuh

 

 5

Memang tak ada yang murah untuk pembantu di negeri ini

Tak terkecuali di kaki lima, meski aku dan teman-teman punya Tunjangan Hari Raya

Menjadi TKW di Arab Saudi? Ah tak mau, takut disiksa dan diperkosa

Untuk apa punya harta kalau tak punya kehormatan diri

Orang-orang Arab itu masih saja menganggap pembantu sebagai budak

 

Memang tak ada yang murah untuk pembantu di negeri ini

Harga semua jenis barang bisa dimainkan kok di meja judi

Segala jenis makanan dan minuman yang dijual dicampur pengawet mayat

O, ada juga yang pakai lilin. Ayam tiren dan daging sapi gelonggongan

pun masih bisa dijual di pasar-pasar tradisional

Bahkan banyak pula yang tidak mendapat sertifikat halal dari MUI

 

Di sini, di kota ini, semua abu-abu, semua gelap

semua gelap, semua abu-abu, semua gelap abu-abu itu dijadikan putih

 

Harga tahu dan tempe pun seperti kuda yang tidak bisa dikendalikan

Ah, katanya harga kedelai dari Amerika Serikat naik, gara-gara global warming

Padahal tahu dan tempe itu makanan tradisi bangsa ini

Orang kecil sampai Presiden makan tahu dan tempe juga, bukan?

 

Di bulan Ramadan pun, pasukan pengemis membentuk barisan

Mereka menyebar ke kota-kota dengan baju gembel

Sepanjang siang dan bahkan malam menadahkan tangan

Mereka membawa dan menggendong anak-anak kecil

Hasil sewaan dan katanya ada juga anak-anak hasil culikan

Mereka datang dari penjuru negeri yang subur ini,

Yang santun ini, yang juga sangat indah ini 

Mereka ada dan hidup di lampu merah, di keramaian kota

 

 O… Allahu Akbar……

 

6

Hey, para penguasa negara yang buta maunya apa sih?

Ah, mau yang enak-enak saja ya, tak mau yang sulit-sulit toh

Kata orang-orang pintar di televisi : Penguasa maunya yang instan-instan

seperti mie keriting. Buktinya lebih memilih import

daripada membangun swasembada kedelai

Dan swasembada beras, konsep ketahanan pangan mereka mirip

penyanyi dangdut yang dinyanyikan di pangung-panggung hiburan kelas teri

Juga mirip badut yang menghibur di pesta-pesta ulang tahun anak-anak

 

Dan setelah Ramadan pergi, lihatlah keadaan tak semakin baik

Seperti buah-buahan yang sudah lama membusuk,

Atau tumpukan sampah yang tidak diangkut petugas kebersihan

Tak ada sisa-sisa dari muhasabatun nafsi 

Astagfirullah… dua hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Menerima suap ditangkap KPK di Semarang

Mereka tak menemukan kunang-kunang dalam jiwanya

 

Perwira berpangkat jendral juga kesandung kasus korupsi Simulator SIM

Aku pun menangis melihat perempuan-perempuan pintar ditangkap

Dijebloskan ke penjara, diberitakan koruptor puluhan

Dan bahkan ratusan miliar. Aku ingin mengalirkan air susu

Dari sungai-sungai surga ke dalam tubuhnya, ke dalam hidupnya

 

Anggota Densus 88 juga gugur saat menyergap teroris di Solo

Petinggi partai politik bermasalah dengan hukum tak mau dibui

Mereka juga tak bisa memberikan pendidikan politik pada rakyat

 

Sampang di Madura pun bergeleora, panas, dan kemudian terbakar

Api juga menyala di kelompok-kelompok genk motor dan kampong-kampung

Atau kelompok-kelompok preman yang hobi dengan kekerasan

Di negeri ini mereka biasa berkelahi untuk urusan lapak

Mereka juga biasa saling melukai anak bangsa sendiri

Ada juga anak-anak berada, berkeliaran pakai mobil,

membawa senjata dan merampok mini market sendirian

Mereka menerjemahkan kejahatan dari inspirasi peperangan game onlie

 

Ampun….

 

7

Ah, pendidikan juga bukan untuk kita yang tak punya ini

Guru-guru masih saja senang menerima upeti saat kenaikan kelas atau

Sumbangan Tunjangan Hari Raya dari orang tua siswa

Negara tak menginginkan anak bangsa menjadi cerdas

Kesehatan masih jauh dari jangkauan tangan kita

Pelayan-pelayan itu selalu ketus dan bahkan mudah menghardik

Ketika pasien-pasien dari keluarga miskin itu datang

Padahal rumah sakit umum itu dibangun dengan uang pajak

Mereka juga digaji dengan uang rakyat

 

Belum lagi kekeringan dan kerusakan lingkungan

Petani membabat padi-padi puso, lalu dijadikan pakan ternak

Sampah-sampah menghiasi jalan-jalan dan pojok-pojok kota

Pasir-pasir laut disedot, tangkapan ikan bagi nelayan makin sulit

 

Sungai-sungai sudah lama berduka, menitikan air mata

Dijadikan tempat pembuangan limbah industri

Sawah digusur dijadikan pabrik dan perumahan

Petani jadi kuli-kuli bangunan di kota-kota

Warga miskin memamah beras miskin

Penguasa tak butuh menanam padi buat makan sehari-hari

Atau buat ketupat disaat Lebaran

Mereka tertarik mendatangkan beras dari Vietnam

Dan ketupat Lebaran dari Malaysia

 

Lalu, hutan dirambah, orang utan lari ke atas pohon kelapa,

Dikejar, dibakar, kemudian mati. Alasannya masuk ke pemukiman

Mengancam manusia. Tapi mengapa harus dibakar?

 

Pedagang tradisional juga diusir seperti binatang

Atas nama perencanaan tata ruang kota agar lebih cantik

Lahannya dibangun mal dan hotel berbintang

 

Sentra-sentra ekonomi penting dikuasai orag asing

Sumber-sumber kekayaan alam bukan milik negara lagi

Air misalnya malah dikelola negera lain

Rakyat pun membeli air kemasan begitu mahal

 

Di negeri ini memang tak ada aturan, ya? Ah, suka-sukalah

 

“Pak Presiden, sebenarnya kita ini sudah merdeka?” kataku, membatin sendiri

 

8

Kata orang-orang negeri ini sudah maju

Lihat mal ada di mana-mana, tapi tak ada tawar-menawar

Seperti ketika teman-temanku membeli ikan teri,

Jengkol, pete, dan ikan peda di pasar-pasar tradisional

 

Kata orang-orang juga negeri ini sudah maju

Hotel dan pabrik-pabrik ada di mana-mana

Tempat-tempat hiburan ada di mana-mana

Celana dan baju pegawai negeri bagus-bagus dan mahal-mahal 

Gigi mereka bersih-bersih, rambutnya harum-harum

Tiap tahun gaji dinaikan, tunjangan-tunjangan juga dinaikan

Katanya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan

 

Di kantor-kantor pemerintahan mobil-mobil

Berjajar di halaman parkir bagai di show room- show room

 

Ini negeri apa?  Aku hidup seperti di rumah panggung

Dengan tiang-tiangnya yang miring dan sudah keropos

Bertahun-tahun dimakan ribuan rayap dan tikus

 

“Apakah tinggal menunggu waktu akan ambruk ya, Allah?” tanyaku

 

Aku pun merasakan hidup di dalam kapal

Terombang-ambing dilamun ombak

Dinding-dinding kapal ini sudah retak-retak dan bolong-bolong

Mesinnya pun sudah lama karatan, tak mau hidup lagi

 

“Ya, Allah …  mungkinkah sesaat lagi akan karam?” tanyaku lagi

 

9

O.. aku tak bisa mencari atau menemukan puisi lagi  di negeri ini

Padahal dulu kutemukan di kampungku, sungai-sungai

Jernih, sawah-sawah, ladang-ladang, kebun-kebun,

Musholah, bukit serta gunung-gunung, empang-empang ikan

air terjun, dan senyum para tetangga

guru-guru, kyai, ustad serta ustazah

 

Aku ini hanya pembantu, aku akan tetap merindukan Ramadan

Meski di negeri dangdut ini orang-orang terus bernyanyi,

Menggoyangkan badan dan pinggulnya sampai pagi

Bahkan mudah menanggalkan pakaiannya

Melupakan agama, menginjak siapa saja

 

Aku pun tak mampu lagi tersenyum pada matahari,

Pada bulan, pada langit bebintangan, apalagi pada nasib negeri ini

 

Tapi kusasambut terus Ramadan dengan senyum,

Bukan dengan air mata dari luka-luka negeri ini

Kuucapkan salam ketika Ramadan di gerbang Sya’ban

Kutemui Kekasihku di setiap shalat, kutatap wajah Engkau

Aku berharap seribu bulan jatuh ke pangkuanku

 

Wajahku kelak serupa bayi atau daun-daun seledri yang hijau

 

 

Tangerang, Agustus-September 2012

 

 

 

BUDI SABARUDIN, lahir di Desa Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Senang menulis cerpen dan puisi serta naskah drama anak-anak. Karya-karyanya pernah dimuat koran lokal dan nasional serta media online. Mengelola Sanggar Kancil yang menggarap “Teater Halaman Rumah” untuk anak-anak di lingkungn sekitar rumah. Salah satu cerpennya “Gadis Pemetik Kangkung” terangkum dalam antologi cerpenis Mataram-NTB (1998). Kini tinggal di Taman Royal 3, Jalan Akasia 3 AX1 No 8, Cipondoh, Kota Tangerang. Email : [email protected] ***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement