Senin 28 May 2012 11:29 WIB

Puisi-Puisi Syukur A. Mirhan (1)

Senja (Ilustrasi)
Foto: ngerumpi
Senja (Ilustrasi)

 

MAGETANMU JANUARI, SEPERTI KOTAKU SENJA HARI

-sebelum engkau ke kampung ringgit itu, untukmu Cietmay

Magetanmu Januari, seperti kotaku senja hari

Basah oleh hatimu yang gerimis. Setiap kali

Menyusun kepingan puisi dari kristal-kristal

Nur tangis: belik lirik yang kekal menyumber

Perasaan yang tercecer di emper gedung DPR

Mengentalkan serpihan perih yang berserakan

Di diksi-diksi pedih. Menggumpalkan darah kata

Yang luka membuka jeruji pagar-pagar nurani

Di pelupuk mata dini hari alun-alun yang kuyu

Sehabis menemani warga kota wisata kuliner malam

Tergesa-gesa kau titipkan sekilat tatap sendu

Sebelum rembulan terpelanting dari pelukan palem

Tak kukenal lagi perempatan, terminal, halte, stasiun

Andong, angkot, bus, dan kereta pulang ke kota lama

Bentangan aspal jalanan menghalimun lamun

700 kilometer rel besi meleleh oleh geni tresna

Cietmay, lihatlah! Membentang sejauh mata memandang

Ladang senyummu di lapang padang dadaku. Paspor hijaumu

Merantau ke negeri rinduku yang ungu. Di sana engkau

Akan menyinggahi eloknya raya 

Sedusun indonesia gemah ripah loh jinawi

Dan akan memuhibahi seronoknya jaya 

Sedukuh malaysia suguh gupuh non deportasi

Magetan, 2012

Belik (Jawa): sumber mata air

Muhibah (Arab, Malaysia): perasaan persahabatan

Seronok (Malaysia): indah, cantik, bagus

suguh gupuh (Jawa): senang menyambut tamu

SEPANJANG JALAN TAFAKUR

Serpihan sunyi yang berserakan antara Setiabudhi-Maospati

Di kudus dini hari kupunguti. Dengan jemari-jemari hati

Terbakar lentik cinta yang meletupkan geni rindu

Kutaruh dalam kuncang ruh kepasrahan yang luruh

Di tenggara jantung makrifatku yang nyaris runtuh

Dengan benang-benang rerinai tipis merepih-repih

Kubikin untaian kalung tasbih. Setiap 33 butir sunyi

Kubanduli mahkota ratu seribu kunang-kunang putih

Yang terdampar di net nurani syairku. Lalu kuputar-putar

Dalam kepayang ekstase tahlil sepanjang jalan tafakur

Kusobek selembar temaram dari dinding malam

Kugelar di bantaran trotoar. Lalu khusyuk itikaf

Wiridan bersama bayu. Istighostah berjamaah debu

Munajat dengan nenek rembulan yang ziarah ke bumi

Dan sengaja menitipkan doa-doa perjalanan dari umi

Dari aspal, trotoar, zebra cross, rambu-rambu, garis marka

Nur-nur bertabur. Memancar ke gerbang perbatasan kota

Membutakan mata duo arca buto gapura. Meredupkan gemerlap

Lampu-lampu maya. Memadamkan warna-warni merkuri duniawi

Yang menghanguskan sayap-sayap cahaya kupu-kupu rabithah

Di taman suluk wukuf qalbu 

Magetan, 2012

Tentang Syukur A. Mirhan

Lahir di Bogor, 8 Mei 1971. Alumnus Program Pendidikan Bahasa Jerman Fakultas Bahasa dan Seni IKIP/UPI Bandung. Kini melanjutkan Studi S-2 di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana IKIP PGRI Madiun. Pengasuh Komunitas LanggarALITliterA dan Aktivis Majelis Sastra Madiun (MSM). Karya-karya puisinya pernah  dimuat di Tabloid Hikmah Bandung, Pikiran Rakyat, Mitra Budaya, Pikiran Rakyat Cirebon, Isola Pos, Bandung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Swadesi, Annida, Ummi, MPA Surabaya, SuaraSantri Al-Madinah, Jurnal Bogor, Sabili, Fajar Banten, Oase Kompas Online, Horison Online, Sastra Indonesia.com, Pikiran Rakyat Online, Situseni, dan TerasBanten.com, dan antologi puisi Forum Kebun Raya (1996), Airmata yang Jatuh di Negeri Rembulan Timur (2004), dan Rembulan pun Melapuk di Reranting Perak (2012). Bisa silaturrahim ke  email [email protected] dan HP 085233738177.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement