Rabu 06 Jun 2012 17:45 WIB

Cabe Merah Tumbuh di Bibirmu, Pohon Asem dan Jengkol di Tubuhmu

cabe merah
Foto: antara
cabe merah

REPUBLIKA.CO.ID,  Puisi Budi Sabarudin*

Ilalang liar bertumbuhan di kepalamu

Juga dari lubang hidung, telinga, dan kedua alis matamu

Wajahmu jadi serupa makluk aneh dalam dongeng di masa kecil,

yang dituturkan para pendongeng-pendongeng dulu,

datang dari negeri antah berantah, yang tidak jelas juga silsilah keturunan dan kemanusiaannya

“Bagaimana kisahnya engkau bisa jadi pemimpin di negeriku ini?

O, memimpin rakyat kami yang bersahaja, jujur, santun, dan religius?”

Padahal kulihat tak ada satu pohon pinus pun yang tumbuh di hamparan tubuhmu itu, yang biasa dimanfaatkan orang-orang untuk berkemah, bersantai, atau tidur-tiduran sambil dibelai angin usai berdagang serta mencangkul di kebun atau membajak sawah

Di pundakmu juga tak ada pohon-pohon yang bisa menghasilkan buah-buahan, seperti nangka, sawo, pisitan, dukuh, atau melon termasuk tanaman bumbu dapur seperti lengkoas, kunyit, atau cikur

Begitu pun di punggungmu tak ada kebun yang bisa ditanami sayur. Sawi misalnya atau kacang panjang, buncis, dan terong. Padahal itu sangat baik untuk lalab atau salad di waktu makan. Juga tak ada ruang di kebunmu untuk pertunjukan musik demi mengisi batin

Yang lebih pedih lagi tak ada halaman yang bisa ditanami bunga euphorbia warna-warni, rafflesiana yang unik, dan aglaonema dengan daunnya yang merah mengkilap dan rimbun, serta tidak ada hamparan sawah di hatimu untuk menyemai bibit padi, juga tak ada aliran air irigasi yang bisa menghidupkan padi-padi milik petani itu.

Tapi foto-fotomu dengan wajah berseri-seri bagai model iklan softex sudah berlayar ke dinding-dinding kantor pemerintahan, kantor swasta serta sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Bahkan sampai pula di pos-pos ronda, pos-pos hansip, dan warung-warung nasi. Juga baliho-baliho dan reklame-reklame fotomu dipasang di sepanjang jalan raya dan tikungan serta tempat hiburan malam dan panti pijat

Sesungguhnya puluhan tahun aku memendam rindu seperti kepada kekasih sendiri di waktu muda, ketika masih cinta monyet. Kerinduanku juga kerinduan rakyat di seluruh negeri ini : rindu memiliki pemimpin dengan bibir dan sekujur tubuhnya yang penuh dengan buah-buahan seperti durian, pepaya, dan anggur, yang selalu ada dalam adat-adat perkawinan dulu.

Tapi sekarang ini hanya ada cabe merah, cabe hijau, dan juga cengek yang terus saja tumbuh subur di bibirmu itu. Juga pohon asem dan jengkol yang muncul dari sudut-sudut tubuhmu : rindang dengan buah-buahnya yang begitu bagus dan lebat tanpa mengenal musim.

Dalam kebingungan seperti baru bangun tidur, aku mengulang kembali pertanyaan itu, “Bagaimana kisahnya kau bisa jadi pemimpin di negeri ini? O, memimpin rakyat kami yang bersahaja, jujur, santun, dan religius?”

Engkau tersenyum seperti model perempuan dalam iklan pembersih kloset, lalu berkata dengan santai, “Aku memiliki pohon dan sumber uang. Pohon uangku mudah beranak seperti pohon-pohon pisang atau kura-kura yang bertelur. Sumber uangku juga seperti air terjun di pegunungan.”

Guru-guru sekolah dasar yang masih muda dan sudah tua bergabung, dan dengan kaki-kakinya yang telanjang, berteriak, “Aku memang memilih dia jadi pemimpin, karena pada saat kampanye dulu kulihat di bibirnya bergelantungan puluhan mangga aromanis.”

Ya, orang-orang pun memetik mangga itu dengan suka cita, Ibu-ibu rumah tangga yang lain juga memetik untuk membuat rujak atau asinan, ibu-ibu hamil turut memetik karena ngidam mangga aromanis muda dari bibirmu, sedangkan anak-anak kecil ikut-ikutan memetik.

Ada pula tokoh agama yang kharismatik berkata dalam mimbar di mesjid-mesjid, “Yang saya suka dari dia, selalu mengutip ayat-ayat suci Al Qur’an dalam pidato-pidatonya. Oh, fasih sekali. Itu pertanda dia paham agama. Karena itu seluruh ulama di negeri ini mendukung dan mendoakan dia jadi pemimpin.…. ”

Sepanjang kampanye dari seluruh jari-jari tanganmu memang begitu mudah mengeluarkan beragam ikan : ada ikan mas, gurame, kakap, baronang, patin, gabus, bandeng, dan juga ikan teri, lele, serta udang. Bahkan tak jarang mengeluarkan ikan-ikan cantik dan mahal : Oh, ikan cupang dan arwana merah serta louhan.

“Satu lagi, mengapa saya memilih dia? Sing penting dia tidak suka poligami. Apalagi selingkuh-selingkuh. Makanya aku memilih dia,” kata seorang ibu, usai mengikuti pengajian mingguan.

Para politisi dari berbagai partai politik memilih menjadi barisan dan antrean kerbau, meski hidup mereka harus ditendok. “Uangnya itu lho tak berseri. Kami jual partai dengan harga tinggiiiiiii sekali untuk dijadikan perahu dalam pemilihan umum, eh…. tidak ditawar-tawar lagi, ” kata tokoh partai politik yang selalu menggebu-gebu jika bicara soal hukum dan nasionalisme, apalagi jika pembicaraan itu disiarkan langsung televisi dari diskusi-diskusi di kebun binatang.

Sekuat tenaga, aku pun berlari-lari ribuan kilometer dari kampus ke kampus, dan bertanya, “Ke mana saja para mahasiswa itu?” Aku juga menaiki sepeda ontel mengejar organisasi pemuda ke organisasi sosial pemuda lainnya, juga melempar tanya. “Ke mana saja mereka selama ini?”

Ah, mereka rupanya memilih hidup menjadi semut dan ayam adu peliharaan serta ayam kate untuk diikutkan pada berbagai kontes Serama.

Pekerja media juga mendadak menjadi penari tari piring di panggung-panggung pemilihan umum itu, “Yang penting uang masuk. Iklan…. Iklan…. Iklaaaaan…… Uang itu kan tidak ada dosanya….,” kata mereka.

Kini, aku merasakan tak ada buah-buahan yang bisa dipetik dari bibirmu itu, kecuali cabe merah, cabe hijau, dan cengek. Juga buah asem dan jengkol yang tumbuh subur di tubuhmu

Perlahan Ilalang tumbuh subur di seluruh kantor-kantor pemerintahan. Ketinggiannya melebihi pohon asem dan jengkol. Bahkan melebihi ketinggian mal-mal dan hotel-hotel, hingga engkau tak bisa melihat pohon-pohon di dalam hutan ditebang, sawah-sawah diurug dijadikan perumahan dan pabrik, pantai-pantai direklamasi, pasir laut disedot, sungai-sungai dijadikan tempat membuang hajat dan limbah pabrik, pedagang pasar-tradisonal ditendang dan lahannya dijadikan mal dan hotel, serta uang negara dilarikan para perompak, anak bangsa memilih jadi pencoleng, anak-anak berkeliaran di perempatan jalan dan lampu merah, pulau-pulau dicaplok negara lain, sumber-sumber alam dikeruk orang asing, perusahan-perusahaan negara dijual ke negara-negara barat, perempuan-perempuan memilih menjadi babi dan babu.

Juga tak ada yang bisa dan berani membabat ilalang itu, meski dia itu tentara dan polisi yang punya pistol atau penegak hukum yang punya palu. Akibanya segala jenis ular, kodok, dan cacing, serta jangkrik hidup di sana, bahkan juga babi hutan. Sedangkan ribuan codot bergelantungan di pohon asem dan jengkol yang tumbuh di tubuhmu itu. Ulat bulu pun berdatangan, bermain, bercinta, dan berkembang biak di antara daun dan ranting-rantingnya yang berliku dan bersilangan.

“Tuan, lihat, ada ilalang tumbuh di kepalamu, di lubang hidung, telinga, dan kedua alis matamu….,” kataku.

Engkau pun menghardik, “Aku sudah tahu, Bro!”

Kulihat matanya melotot seperti burung pitohui yang bulu-bulunya penuh dengan racun

Tangerang, 5 Juni 2012

BUDI SABARUDIN, lahir di Desa Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Senang menulis cerpen dan puisi serta naskah drama anak-anak. Karya-karya cerpen dan puisi pernah dimuat di koran lokal dan nasional serta media online. Mengelola Sanggar Kancil yang menggarap “Teater Halaman Rumah” untuk anak-anak di lingkungn sekitar rumah. Salah satu cerpennya “Gadis Pemetik Kangkung” terangkum dalam antologi cerpenis Mataram-NTB (1998). Kini tinggal di Taman Royal 3, Jalan Akasia 3 AX1 No 8, Cipondoh, Kota Tangerang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement