Selasa 10 Jul 2018 15:39 WIB

Hamka dan Jalan Teungku Syahid

Buya Hamka menghormati ijtihad politik ulama lain.

Buya Hamka
Buya Hamka

Oleh: Yusuf MaulanaKurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".

Nun tercatat dalam sejarah dua alim umat. Jalan yang ditempuh Teungku Abdul Jalil dari Lhokseumawe, Aceh, terhadap kehadiran Jepang berkebalikanlah dengan Hamka. Bila Sang Teungku tidak ada kompromi untuk menerima sedikit pun Jepang, Hamka berkenan untuk duduk sebagai penasihat agama Islam penguasa Dai Nippon.

Satu episode dalam hidup Hamka untuk menjadi bawahan Jepang ini serupa dengan strategi yang ditempuh Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan nama-nama pejuang republik lainnya. Semuanya ingin memanfaatkan kehadiran Jepang untuk satu asa: merdekanya negeri mereka karena jerih payah sendiri.

Berkebalikan dengan pemikiran banyak tokoh dan agamawan yang optimis hadirnya perubahan dari Belanda ke Jepang, Tgk Abdul Jalil memandang penjajah dari Asia Timur itu lebih berbahaya. Baginya, penjajah Jepang tak ubahnya Ya’juj dam Ma’juj, tokoh dalam hadits tentang akhir zaman. Serangan tajam pada Jepang pun dihamburkan di mimbar-mimbar dakwah sang Teungku. Tujuannya satu: mengingatkan umat. 

“Agama kita telah runtuh karena perbuatan Majusi, yang memaksa kita bertuhan kepada rajanya. Jika kita musuhi kafir Belanda yang keturunan Kitab, maka kafir Majusi ini lebih wajib kita musuhi lagi.” Begitu argumentasi Tgk Abdul Jalil di sebalik ketidaksukaannya pada Jepang sebagaimana dicatat Hamka.

Bukan tanpa bukti apa yang dikatakan Tgk Abdul Jalil. Jepang yang barus hadir beberapa hari di Aceh sudah menimbulkan kebencian mendalam. Sudahlah tidak menjaga kesopanan ketika mandi di tempat terbuka, para tentara penjajah Jepang bertindak kasar. Tempeleng sudah sering mendarat di pipi warga Aceh. Padahal, Belanda saja tidak sampai seobral itu melayangkan tangan.

Diperparah lagi sikap arogan yang disertai kekerasan yang dipertontonkan di tengah warga. Alhasil, gemuruh kebencian tak butuh lama. Belum lagi, Jepang tidak menghargai keyakinan warga Aceh. Perintah keirei oleh Jepang saban hari ke arah kaisar mereka di tanah kelahirannya, menyentuh akidah warga Aceh.

Tgk Abdul Jalil paham bagaimana risiko berlaku keras tanpa kompromi terhadap Jepang. Ia juga tak peduli masukan dari saudara-saudaranya sesama warga Aceh yang duduk sebagai pegawai Jepang. Tersebutlah nama Guntyo Lhokseumawe, Teuku Abdul Latif, yang mencoba membujuknya untuk tidak amat sangat terbuka melancarkan serangan kebencian. Alih-alih memetik hasil, sang Guntyo malah diceramahi habis-habisan.

“Ini urusan agama, tidak dapat diputar-putar. Lebih baik tarik diri dari jabatan itu. Kembali saja ke desa dan berladang,” begitu saran balik Tgk Abdul Jalil pada Guntyo Abdul Latif.   

Tak ingin ada saudara seimannya yang diciduk, disiksa, bahkan ditewaskan, datang lagi orang penting ke surau Teungku. Kali ini Guntyo Sigli, Teuku M Hasan Glumpang Payong. Guntyo Hasan meminta Tgk Abdul Jalil untuk menyerahkan diri kepada Jepang di Kotaraja. Sang Guntyo sendiri yang akan mengantarkannya.

“Menyerah artinya mati! Musyrik Majusi tidaklah mengenal kemuliaan janji. Saya akan dianiaya kalau sampai di situ dan badan saya tentu menderita dan mati kena tangan!” Sergah Tgk Abdul Jalil.

“Kalau Teungku tidak menyerah, kampung Bayeu ini akan diserang. Surau ini akan dibakar!” Teuku Hasan masih membujuk.

“Dan saya akan melawan!” Jawab Tgk Abdul Jalil, mantap.

“Perlawanan sia-sia!”

“Melawan bukan sia-sia. Menyerahlah yang sia-sia. Menyerah belum tentu mati syahid, melainkan mati hina. Tetapi melawan sudah terang syahid!”

Lagi-lagi hasil nihil yang dibawa. Pun ketika ulama besar Teungku H. Hassan Krueng Kale, dan kepala kadi seluruh Aceh, Tuanku Abdul Aziz, mencoba melakukan bujukan agar perlawanan frontal dibatalkan. Jawaban sama masih meluncur dari sosok Tgk Abdul Jalil. Syahid lebih ia tempuh, tak bergeser sedikit pun dari niat ini.

Maka, 11 November 1942, delapan bulan selepas Jepang menginjakkan kaki kali pertama di Aceh, surau Tgk Abdul Jalil di Bayeu dikepung tentara Jepang. Rupanya mereka sudah siap disambut para santri surau Tgk Abdul Jalil. Tapi pertempuran itu memang tidak seimbang. Persenjataan yang dibawa pihak penyerbu tak memadai dilawan dengan peralatan ala kadar. Arkian, 98 santri gugur syahid dalam penyerbuan itu. Hamka sendiri yang melaporkan peristiwa tersebut dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid III (1951) menyebutnya “bukanlah peperangan, hanya penyembelihan besar-besaran.”

Dalam kondisi dikepung dan terdesak, atas perkenan-Nya Tgk Abdul Jalil berhasil meloloskan diri. Sayangnya, tempat persembunyian sang Teungku dua hari kemudian berhasil diketahui tentara Jepang atas bantuan mata-mata gelap orang Aceh pula. Pada 13 November, di tempat yang dibocorkan mata-mata Jepang, Tgk Abdul Jalil bersama 10 pengikutnya menemui jalan syahid.   

Hamka sendiri tiba pada hari gugurnya Tgk Abdul Jalil setelah sehari sebelumnya berangkat dari Medan. Walau resminya bertugas untuk penguasa Jepang di Medan, kedatangan Hamka ke Aceh didasari panggilan hati. Awalnya, dalam kapasitas sebagai penasihat gubernur militer, ia hanya ingin diajak bertukar pikiran. Yakni tentang kemunculan anak muda militan di Bayeu yang begitu sengit memusuhi Jepang hingga berujung penyerbuan yang menewaskan banyak korban.

“Hamka San! Apakah perbedaan di antara agama Islam yang dipeluk orang di Aceh dengan yang dipeluk orang di sini dan di tempat lain?” tanya Letnan Jenderal Nakasima.

Hamka terheran-heran dengan pertanyaan Tyokan Nakasima itu. “Saya rasa tidak, Tuan!”

Tyokan pun bercerita soal perlawanan serang guru agama di Bayu, Lhokseumawe. Nama yang dimaksud siapa lagi kalau bukan merujuk pada Tgk Abdul Jalil.  

Dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid III, Hamka menceritakan dialognya dengan sang atasan. Meski tugasnya adalah untuk memberikan penjelasan dan saran, Hamka tak ingin hanya menjilat lidah atau membenar-benarkan tindakan Dai Nippon. 

“Jadi kalau tidak berlainan, tentu orang Islam yang lain juga anti-Jepang. Hamka San juga anti-Jepang dalam hati! Yah, saya sudah belajar dari Tuan, orang Islam mempunyai pikiran, supaya mendirikan kerajaan Islam. Hamka San tak usah sembunyi-sembunyi.” Jelas Tyokan Nakasima, yang rupanya membaca posisi batin Hamka.

“Tentang maksud mendirikan pemerintahan Islam,” terang Hamka, “memang ada dalam ajaran Nabi, Tetapi itu menilik kepada waktu. Ada aturannya. Teungku di Aceh itu belum berani mendirikan kerajaan Islam kalau syariat-syariat itu belum cukup. Saya rasa di sini ada tersembunyi perkara lain.”

Bagi Hamka, nama Tgk Abdul Jalil tidak asing. Mereka bahkan pernah bertukar pikiran tentang tema tasawuf pada sekira 1930 di Lhokseumawe juga. Karena itu, bukan soal berbasa-basi apalagi mencari muka, Hamka mengutarakan isi pikirannya. Menyampaikan pandangan sebenarnya tanpa menutupi apa yang menjadi dasar persoalan. Bahwa Tgk Abdul Jalil melawan Jepang bukanlah karena gagasan pendirian pemerintahan Islam.

“Perkara apa Tuan rasa? Apa Teungku itu mata-mata Inggris Amerika?” Tanya Tyokan.

“Tidak mungkin! Orang Aceh anti-bangsa kulit putih sebagaimana Nippon juga. Barangkali ada kesalahan dari orang Nippon yang datang di sana.”

“Orang Jepang salah, kata Tuan? Tidak! Orang Jepang tidak salah. Sungguh-sungguh Tenno Heika mau menolong Asia dari jajahan Barat.”

“Kalau itu tidak mungkin kata Tuan, mungkin ini dari salah terima, karena kurang penerangan. Sebab sebelum Jepang masuk, orang Aceh telah berjuang mati-matian mengusir Belanda. Orang Aceh suka kepada Jepang!” Jelas Hamka.

Hamka mendapat kedudukan tersendiri di hati Tyokan Nakasima. Ia begitu dipercayai. “Apa sebabnya? Saya mau tahu.”

“Saya sendiri akan pergi ke tempat pemberontakan itu!” Kalimat ini meluncur begitu saja dari lisan Hamka. Terlintas di pikirannya satu tanggung jawab besar. Ia memang yang mengajukan diri. Melebihi tugasnya yang hari itu hanya mengajukan pendapat sebagaimana yang ditanyakan sang Tyokan. 

Mendengar kalimat terakhir Hamka, Tyokan meminta juru bahasa mengajukan ulang pertanyaannya. “Apa maksud, Tuan?” Katanya, setelah mengetahui keyakinan hati Hamka untuk datang ke Lhokseumawe.

“Biar saya pergi ke tempat itu, saya periksa, dan saya pulang nanti membawa laporan yang jujur.” Terang Hamka meyakinkan.

“Oh Tuan mau pergi ke sana? Tuan tidak takut? Nanti Tuan dibunuh!”

“Kalau orang Jepang tidak takut datang ke negeri ini, padahal kebangsaan kita berlainan, karena kewajiban, mengapa saya mesti takut pergi ke Aceh, padahal mereka bangsa saya dan seagama dengan saya, karena kewajiban pula?”

Jawaban itu kian menabalkan rasa hormat Tyokan pada Hamka. “Saya kagum! Semangat Hamka San serupa semangat Jepang!”

Hari itu juga, 12 November, Hamka berangkat ke Aceh. Esok harinya sampai ke lokasi surau Tgk Abdul Jalil. Yang tersisa tinggal puing-puing dan kuburan. Di markas Kempetai-Tyo, ia temukan setumpukan kitab-kitab agama dari surau Tgk Abdul Jalil. Semuanya teronggok di lantai berserakan. 

Di antara banyaknya kitab, tangan Hamka mendapati Pedoman Masyarakat, majalah yang ia pimpin di Medan. Rupanya, sang Teungku pembaca setia majalah ini. Tersiraplah darah Hamka atas temuan ini. Tapi ini belum berakhir. Sejurus kemudian, tangannya mensuai buku tulis kecil dengan tulisan beraksara Arab. Buku itu pun dimasukkannya ke saku baju. Sementara sisanya ia meminta kepada tentara Jepang untuk menyimpannya secara layak.

Beruntung tentara Jepang tidak mengerti kandungan di sisa peninggalan surau Tgk Abdul Jalil, khususnya buku kecil yang dibawa Hamka. Padahal, itulah sebenarnya yang dicari-cari Jepang bila ingin mendapat jawaban adanya perlawanan dari guru agama seperti Tgk Abdul Jalil.

Dalam penelusuran berikutnya, Hamka mendapat informasi dari penduduk setempat bahwa almarhum Tgk Abdul Jalil menyuruh anak didik ataupun pengikutnya untuk menghafal isi tulisan di buku kecil itu. Isinya sendiri syair-syair sebanyak sekira 50 bait yang tertulis pena. Dan jamaknya orang Aceh pastilah tahu; itulah syair Hikayat Perang Sabil, pusaka Teungku Cik Di tiro. 

Di antara penduduk Aceh sendiri yang ditemui Hamka, ada beberapa jiwa yang tidak sepakat dengan sang Teungku. Sama halnya ketika ia mendengar percakapan dalam perjalanan menuju Aceh. Ada saja suara sesama saudara sebangsa yang meremehkan perjuangan Tgk Abdul Jalil. Ketika melanjutkan penelusuran, Hamka juga dapati opini warga yang memandang tak elok atas syahidnya Tgk Abdul Jalil.

“Itu bukan mati syahid! Itu adalah menganiaya diri! Adakah orang kuat akan dilawan!” Begitu sebuah pendapat masuk ke telinga ketika Hamka masuk di sebuah kedai. Si empu suara bukan orang Aceh ternyata. Ujarannya segera dibalas sengit kawan-kawannya yang membela sang Teungku. Mendapati Hamka ada di tengah mereka, orang-orang itu tersadar. Mereka mengenal siapa Hamka lantaran sebelumnya pernah berdakwah di sana.

“Syahidkah beliau?” Kompak mereka bertanya serius.

“Mengapa Tuan-tuan ragu? Dia berperang dengan iman. Kalau sekiranya imbangan senjata selalu kita kemukakan, akan padamlah semangat kita. Teungku adalah syahid! Dan kita harus mengaku bahwa iman kita tidak seteguh iman beliau. Sebab itu tidaklah kita capai derajat beliau.” 

Jawaban Hamka itu sejalan dengan perasan hatinya kemudian hari. Sebagai “orang dalam” Dai Nippon, bahkan dikenal khalayak di Medan sebagai “orangnya Tyokan”, Hamka sadar diri. Tapi ia memilih putusan bukan untuk kepentingan dirinya, tegasnya duniawi. Ia hanya berijtihad untuk kebaikan umat dan bangsanya, walau kelak itu disesalinya sebagai kesilapan dalam hidupnya. Adapun kehadirannya di Lhokseumawe, Hamka mengakui keberaniannya pergi ke sana “karena didorong oleh gairah agama.” Bahkan, kejadian itulah yang menurutnya “menyebabkan saya sesudah itu dengan sendirinya telah berdekat dengan Jepang.” 

Kendati demikian, dalam menghadapi kenyataan dan sikap Jepang terhadap sesama saudara seimannya, Hamka berupaya untuk jujur. Tidak ingin menutupi yang hitam dengan yang putih. Tentu saja dalam perjalanannya ada dilema dan pergulatan batin. Dan ini dalam beberapa tempat diakui sendiri oleh Hamka. Hanya saja, soal kejujuran tak ada kompromi. Seperti dalam laporannya pada Tyokan Nakasima, ia berikan secara objektif. Besar harapannya jua, sang Tyokan mau menyadari kekeliruan kebijakannya maupun tindakan anak buahnya kepada warga pribumi.                

Tgk Abdul Jalil bukanlah Hamka; demikian juga sebaliknya, dalam urusan dengan Jepang. Bilalah sang Teungku diberikan umur panjang oleh Allah lalu mendapati Hamka, teman lama diskusinya, seturut dengan Jepang, amat besar kemungkinan tak ada sikap surut. Jangankan Hamka yang bisa dilihat sebagai orang luar Aceh, jajaran ulama besar yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pun kena cela Tgk Abdul Jalil dalam soal ini. Dinilainya para ulama PUSA yang mau menemui Jepang ke Pulau Pinang sebagai “perkakas Jepang”. Padahal, Teungku sendiri anggota PUSA, tapi kritik tetap kritik. 

Menarik di sini bagaimana Hamka tetap bersikap merapat dengan Jepang kendati selama 6 hari di Lhokseumawe ia dapati betapa penting pengaruh dan karisma Tgk Abdul Jalil. Seruan Teungku soal Jepang sebagai Majusi diketahui Hamka. Andaikata Hamka sepakat, tentu dipilihnya di kemudian hari jalan menjaga jarak. Sebagai ulama yang enam tahun lebih muda dari Tgk Abdul Jalil, menariknya, Hamka malah kian berada di lingkaran satu Tyoko Nakasima.

Barangkali ini sudah melalui timbangan matang, karena toh Hamka sendiri kadang merasa tidak enak dekat dengan penguasa kolonial Jepang. Di luar ijtihad politik, kejujuran menilai pada sosok yang menempuh jalan berbeda tetap ditegakkan tanpa kompromi. Seperti Hamka pada saat membuat laporan tentang jejak dan pengaruh Tgk Abdul Jalil. Baginya, sang guru agama surau itu tetap penempuh syahid; tanpa catatan dan perkecualian apa pun. 

Kiranya, pada masa kita kini, teladan dari para alim di atas, dengan jalan berbeda ketika menghadapi kekuasaan, patut dipetik. Berbeda dengan sejawat di pihak berbeda tidak mengurangi kejujuran menilai. Tanpa basa-basi apalagi mencari pujian atasan di pihak kita hingga menjatuhkan nama baik kawan karib di pihak berlainan. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement