Senin 04 Jun 2018 15:28 WIB

Buya Hamka dan Pelajaran Kerbau

Hamka mengingatkan soal "kerbau-kerbau" yang tergiur kekuasaan.

Buya Hamka
Buya Hamka

Oleh Yusuf MaulanaKurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku"

Perlawanan gerilyawan pimpinan Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dijawab pemerintahan di Jakarta dengan menurunkan pasukan tempur. Pemberontakan harus segera dipadamkan, begitu titah penguasa di Ibu Kota. Pertempuran yang terjadi pada 1950 itu tak terhindarkan. Ekses pertempuran itu sudah tentu dialami pula oleh rakyat jelata. Rakyat sendiri tak semuanya mengerti apa sebenarnya yang terjadi, mana pihak yang mestinya dipersalahkan.

Yang jelas, kejadian rakyat biasa ditangkap dengan tuduhan sebagai simpatisan Abdul Kahar, merupakan cerita yang lazim terdengar. Penangkapan itu kadang kala disertai pembakaran kampung dan perampasan harta benda. Boleh jadi, langkah taktis semacam ini untuk mengurangi kekuatan rakyat yang bersimpati diam-diam kepada gerilyawan yang bermantel Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan Abdul Kahar.

Sebagai dai yang pernah bertugas di tempat itu pada 1931-1932, Buya Hamka tak luput menampilkan kejadian yang terjadi dua dekade kemudian itu. Saat menjelaskan surat Yaa-sin ayat 71-73 dalam Tafsir Al-Azhar Juz 23, lelaki yang ketika di Makassar secara penuh hormat disapa “gurun-ta” ini menyebutkan kejadian yang dialami seorang petani yang kampunya dibakar tentara pemerintah.

Kampung si petani dipandang sebagai pemihak pemberontak. Maka, dibakarlah kampung itu. Sebelumnya, harta benda milik warga dirampas, termasuk seekor kerbau milik si petani. Mau tak mau, warga pun mengungsi. 

“Banyaklah penduduk kampung tadi yang berpindah meninggalkan kampung itu, bahkan banyak yang menyeberang ke Pulau Sumatra dan mendirikan kampung-kampung baru dan berkebun di sebelah Pulau-pulau Rapat dan Indragiri Hilir,” cerita Buya Hamka.

Harta benda rampasan dari warga tersebut sebagian ada yang dijual ke Makassar, selain juga dimanfaatkan sendiri oleh perampas. Kerbau petani tadi rupanya satu di antara yang didatangkan ke Makassar untuk dijual. Di tempat penjualan hewan, kerbau itu tiba-tiba merenggut tali pengikatnya. Kemudian ia berjalan kencang menuju seorang berpenampilan melarat yang tengah berjalan di tepi pasar.

Sambil “menguwet-nguwet”, mendekatlah kerbau itu pada sosok kucel. Sejurus kemudian, kerbau itu menciumi tangan dan baju orang itu. Rupanya, dialah si petani empu asal kerbau itu di kampung yang dibakar beberapa hari sebelumnya!

Petani itu tentu hafal dengan peliharaannya. Ia tahu persis kerbau itu miliknya. Ia pun menangis. Tapi ia tak kuasa mengambilnya. Kerbau itu “dimiliki” seorang tentara pemerintah yang baru kembali dari mengamankan daerah pedalaman di Sulawesi Selatan. Tentara inilah yang menjualnya di pasar hewan. 

Buya Hamka menyebutkan hikmah disebalik ayat “Lalu mereka menguasainya” (Yaa-sin ayat 71). Menurutnya, “Macam-macam hal bisa terjadi kalau sedang berperang atau sedang mengembalikan keamanan. Tetapi kejadian kerbau mengerti melihat tuannya yang asli, padahal sudah terpisah lama, menjadi bukti … Allah memberikan binatang ternak untuk manusia dan manusia menguasainya.” 

Ungkapan “seperti kerbau dicucuk hidungnya” sering dinisbatkan sebagai sebentuk sikap menurut dikarenakan bodoh dan tidak kuasa melawan. Padahal, kesetiaan seekor kerbau pada petani tadi, terbangun karena interaksi lama laiknya sebuah keluarga. Ada timbal balik di antara keduanya sehingga manusia mampu menguasai tapi sekaligus tetap mencurahkan kasih sayangnya pada hewan seperti kerbau.

Justru ungkapan populer itu akan berasa tepat ketika permaknaannya diperluas di medan konotatif, di dunia keseharian pada perilaku manusia. Betapa banyak manusia yang membangun kesetiaan bukan karena kepandiran dan minimnya pengetahuan. Kesetiaan dibangun karena upah sang majikan; bukan karena ketetapan hati memegang prinsip. Orang bisa berpindah-pindah prinsip dan pendirian hanya karena kalkulasi kepentingan materi.

Betapa banyak ayat dan hadits diperdengarkan untuk melantukan pujian kepada sang pemberi dinar dan jabatan. Betapa banyak sanjungan seakan penyantun dinar dan kedudukan orang yang hebat di sisi Tuhan. Padahal, sepurnama lalu sang pelantun sanjungan itu masih berada di kalangan pengkritik. Begitulah insan ketika pikiran dan hati tidak dipergunakan, ia tak ubahnya—bahkan lebih rndah—dari makhluk-Nya yang tak memiliki akal juga pekerti adab. Tahun-tahun politik, yang menyedihkan, akan menghadirkan sajian ke rakyat alit betapa “kerbau-kerbau kekuasaan dan jabatan” akan berduyunan menguwet-nguwet mencari tuan baru yang memberikan kepuasan nafsu duniawinya. n

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement