Senin 05 Feb 2018 06:00 WIB

Kala Jamaah Memprotes Khatib

Jamaah Masjid Al Azhar terpukul berita penangkapan Buya Hamka

Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru.
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru.

Oleh: Yusuf Maulana*)

Panggilan azan zuhur belum dikumandangan dari pengeras suara Masjid Al Azhar, empat polisi berpakaian sipil membawa masuk Buya Hamka ke Fiat yang terpakir di depan rumah. Senin 12 Ramadhan 1383, bertepatan 27 Januari 1964, Hamka dibawa polisi yang kemudian menginterogasi dan menahannya dengan tuduhan terlibat dalam gerakan makar pada pemerintah dan rencana pembunuhan Presiden dan Menteri Agama!

Bagi jamaah di Masjid Al Azhar, penangkapan ulama itu berita yang menyedihkan. Hamka merupakan imam tetap shalat fardhu, khatib, dan pengisi pengajian rutin di masjid ini. Karisma, kedalaman materi yang disampaikan, kejernihan penjelasan, dipadu retorika yang menawan, menjadi daya tarik Hamka di mata jamaah. Kedekatan dan kepercayaan yang terbangun inilah yang membuat jamaah terpukul tatkala Buya “menghilang” dari tengah mereka. Kabar penangkapan berujung pembuian tersebut awalnya desas-desus. Namun, sampai kapan imam dan ulama mereka terus-menerus absen tanpa ada kabar? Lain soal seperti saat Hamka keluar kota atau ke mancanegara. 

Soal keterlibatan ulama anutan mereka dalam tuduhan-tuduhan “mengerikan” yang dilayangkan pihak polisi, jamaah tentu tidak percaya. Mereka tahu persis seperti apa sosok Hamka. Mereka sehari-hari berinteraksi akrab, terbiasa mengamati tutur kata, sikap, dan perilakunya, hingga tak ada celah buat membenarkan penulis Tasauf Modern itu dalang tindakan kudeta dan rencana pembunuhan sebagaimana dakwaan aparat. 

Dan ujung Ramadhan tahun itu pun tiba. Khutbah Idul Fitri yang seyogianya dibawakan Hamka ternyata memunculkan nama seorang pejabat tinggi negeri ini. Prof Dr H Ruslan Abdulgani didapuk sebagai pemberi khutbah Idul fitri 1383 Hijriah (15 Februari 1964). Tampilnya nama ini di benak jamaah, meminjam ungkapan James R. Rush dalam Adicerita Hamka (2017), “secara tak langsung membenarkan desas-desus penangkapan” atas diri Hamka. Saat itu, di tempat berbeda, Hamka sebenarnya tengah ditahan di salah satu ruangan Akademi Kepolisian di Sukabumi, Jawa Barat.   

Hadirnya Ruslan Abdulgani di tengah Muslimin yang menunaikan shalat Idul Fitri, dan khususnya lagi keluarga besar jamaah, di Masjid Al Azhar tidak sukar dielakkan sebagai simbol hadirnya penguasa.

Ruslan merupakan sosok yang di mana-mana dikenali sebagai juru bicara dan penafsir propaganda politik Presiden Sukarno (populer dengan sebutan “Jubir Usman”). Lewat ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi ini—semisal Nasakom, Usdek, Manipol, Panca Azimat—Ruslan tampil terdepan sebagai sosok paling otoritatif menjelaskan. Podium dan mimbar yang tergelar buatnya pasti tidak terbebas dari indoktrinasi ajaran Sukarno.

Tak terkecuali saat dirinya tampil di depan ribuan jamaah yang memadati lapangan Masjid Al Azhar. Sebagaimana dituliskan dalam Pandji Masjarakat Nomor 8 (29 Januari 1967/9 Syawal 1386), Ruslan menjadikan materi khutbah Idul Fitri untuk indoktrinasi, di antaranya menyebut-nyebut “ganyang Malaysia”, dan menganalogikan keluarnya Indonesia dari PBB sebagai “hijrah”. 

Bahasa-bahasa politik milik rezim Orde Lama itu praktis berhamburan di hadapan jamaah. Ruslan, entah mengapa, seperti yakin isi khutbahnya bisa menyihir jamaah Idul Fitri. Isi ajaran sang atasan sepertinya begitu agung, sakral, dan penting hingga seakan tak bakal ada yang risih dan bosan mendengarnya.

Ia lupa bahwa di benak jamaah yang hadir tidak seperti itu. Isi khutbah yang berisikan propaganda politik pesanan penguasa, ditambah lagi ulama kesayangan mereka ditahan, membuat ribuan Muslimin menentukan sikap.

“Belum lima menit dia berkhutbah, isi lapangan Masjidil Agung Al Azhar menjadi lengang, beribu-ribu ma’mum habis keluar, sehingga tinggallah beliau di atas mimbar degan serba salah. Akan diteruskan semangat sudah mulai patah, akan turun saja khutbah belum habis.

Dan yang tinggal mendengar hanyalah beberapa orang pengurus dan panitia masjidil, menjaga Yang Mulia ‘Menko’ jangan kehilangan muka. Mungkin seumur hidup Pak Ruslan tidak akan dapat melupakan kejadian itu. Padahal, ummat hadir beribu-ribu itu tidak berapat lebih dahulu buat memberi malu beliau” (Pandji Masjarakat Nomor 8).

Kala itu, jamaah Masjid Al Azhar dikenal tidak ikut genderang dan nyanyian lagu-lagu indoktrinasi ala penguasa. Mereka memilih bersikap lempeng dalam menjaga marwah Islam, ketimbang menyesuaikan diri dengan sikap dan tuntutan penguasa. Sikap ini terbilang berani manakala penguasa begitu bernafsu menghabisi sesiapa saja yang menghalangi ajaran ataupun doktrin politik sakralnya. Masjid Al Azhar sudah telanjur identik dengan Hamka di benak penguasa.

Meski tidak pernah mengusik dan menghalangi permainan politik Sukarno, tetap saja komunitas Al Azhar menggelisahkan. Hamka enggan tunduk menyertai permainan penguasa, maka tak ada pilihan lain selain perlu dijauhkan dari umat.

Pada kekuasaan yang sarat puja-puji, kehadiran tunggal seorang Hamka saja dianggap marabahaya. Padahal, Hamka sendiri dalam beberapa kesempatan mendukung agenda penguasa untuk melawan imperialisme. Ini saja belum cukup rupanya.

Ada kekuatan kontra-revolusi, yang disederhanakan sebagai para pendukung Masyumi, yang berada di balik pikiran Hamka sebagai kekuatan laten sewaktu-waktu. Prasangka ini sukar untuk ditutupi; bagaimanapun juga Hamka ancaman, titik.

Kekuasaan yang menegak dari puja-puji itu justru abai makna kekuatan sebenarnya. Imajinasi dan politik ketakutan dilemparkan untuk mengerdilkan lawan. Lupa bahwa lawan seperti Hamka sudah mendapat tempat di hati terdalam rakyat ataupun umat.

Amatlah manusiawi sikap demonstratif jamaah shalat Idul Fitri di Masjid Al Azhar menolak Ruslan Abdulgani, sebagai protes atas kelaliman penguasa pada rakyatnya sendiri. Sudahlah membuikan ulama kesayangan mereka, wakil penguasa masih tega “berjualan” doktrin yang menjemukkan rakyat kebanyakan dalam perhelatan ibadah.

Kekuasaan yang senantiasa dahaga dan lapar pada citra diri dan pengagungan oleh rakyat, mestilah berjualan dengan indoktrinasi. Ketika itu, mata dan telinga sudah tertutup rapat untuk mendengarkan kritik dan koreksi pihak lain.

Malah pihak yang melontarkan kritik dan koreksi dianggap lawan mematikan, hingga harus disingkirkan secepat mungkin. Mesin kekuasaan langsung bekerja untuk meredam pihak tersebut dengan sematan penuh curiga, semisal kontra-revolusi dan anti-revolusi. Jangan sampai sistem kekuasaan berikut doktrin-doktrinnya goyah oleh penyadaran yang dibangun dari kritik dan koreksi. 

Untuk itu, suatu keprihatinan mendalam tatkala ada anak muda di negeri ini mengacungkan kritik sekadar lewat selembar kertas kuning, lantas segera saja ditanggapi sebagai isyarat subversi. Pemimpin yang bijak sepatutnya memahami makna dan fungsi kritik rakyat.

Seperti diterima Ruslan Abdulgani atas tindakan ribuan jamaah di atas, namun sayangnya tidak ia sadari jua. Seonggok kertas kuning mestinya jadi pengingat atas kebesaran diri yang diagungkan oleh para pemuja di sekeliling, yang hakikatnya mereka ini sumber kehancuran kekuasaan. Sayangnya, kekuasaan lebih peka untuk mengecam protes rakyat ketimbang menyadari kesilapan praktik berkuasa. 

*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement