Rabu 16 Aug 2017 17:28 WIB

Dilema Petani Garam dan Modus Menaikkan Garam Impor

 Abiba Nurjanah
Foto: dok. Pribadi
Abiba Nurjanah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abiba Nurjanah *)

Kelangkaan garam kini tengah menjadi sorotan. Sebagai solusinya, pemerintah membuka impor 75 ribu ton garam dari Australia melalu PT Garam (Persero). Kelangkaan ini disebabkan oleh produksi garam lokal yang menurun akibat harga yang tidak kompetitif. Harga garam lokal sangat jatuh saat panen, sehingga keinginan orang memproduksi garam itu rendah.

Garam merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat secara kesuluruhan. Perlu diketahui bahwa garam mempunyai peruntukkan yang berbeda, bergantung pada kandungan NaCl-nya. Untuk mempermudah dalam memahaminya, dibuat 2 (dua) klasifikasi garam yaitu garam konsumsi dan garam industri.

Kedua jenis garam tersebut masih rancu dalam pemahaman masyarakat. Bahkan ada anggapan di lapangan yang mengatakan bahwa garam yang layak konsumsi adalah garam industri. Kementerian manakah yang harus menentukan definisinya? Apakah Kementerian Kalautan dan Perikanan (KKP) atau kementerian lainnya?

Definisi garam konsumsi dan garam industri terdapat dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 58/2012 tentang Ketentuan Impor Garam. Regulasi ini mengatakan bahwa garam konsumsi adalah garam dengan kadar NaCl paling sedikit 94,7 persen  sampai < 97 persen. Sedangkan garam industri adalah garam dengan kadar NaCl paling sedikit 97 persen.

Ditinjau dari domainnya, garam terkesan menjadi ‘perebutan’ dari beberapa stakeholder. Hal ini terlihat pada dua kementerian yaitu Kementerian KKP dengan kementerian PU (Pekerjaan Umum). Keinginan pihak KKP adalah kegiatan tambak harus bisa ‘fleksibel’. Dimana ketika musim kemarau, tambak yang dijalankan adalah tambak garam. Ketika musim penghujan, tambak yang dijalankan adalah tambak ikan. Sedangkan keinginan Kementerian PU, sebagai pihak penyedia infrastruktur, menginginkan agar tambak bersifat tetap. Dalam arti hanya ada satu jenis tambak meskipun musim berubah.

Masing-masing kebijakan tentunya bertujuan baik. Kebijakan Kementerian KKP bertujuan agarmasyarakat (khususnya petani tambak) dapat berpenghasilan sepanjang tahun. Namun hal ini berpengaruh pada infrastruktur yang telah dibangun Kementerian PU, dimana infrastruktur yang diberikan didesain untuk satu tambak tertentu. Sehingga wajar, ketika produksi garam industri tidak memenuhi kebutuhan pasar. Karena untuk mendapatkan garam industri, air baku tidak boleh bercampur dengan zat tertentu yang dapat mengubah kadar parameter pembentuk garam industri.

Hal ini membuat petani garam menjadi dilema. Kondisi perekonomian semakin sulit akibat kebijakan yang tidak pro masyarakat semisal kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, dsb. Sementara kebutuhan garam industri dalam negeri senantiasa meningkat. Akhirnya memilih jalan pintas dengan menjadikan tambaknya sebagai tambak ikan juga sekaligus tambak garam. Sehingga garam yang diproduksi, sekalipun melimpah tetapi tidak dapat memenuhi standar garam industri berdasarkan regulasi yang ada.

Dapat disimpulkan bahwa masyarakat petani tambak telah dibenturkan pada dua kondisi. Regulasi yang mengatur standar garam industri dan garam konsumsi oleh Kemendag (1) dan kebijakan stakeholder yang saling kontra, (2). Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian KKP Sudirman Saad meragukan spesifikasi garam industri yang terlalu tinggi.

Spesifikasi garam industri yang tinggi tersebut dinilai merupakan modus bagi importir untuk mendapatkan kuota impor cukup besar. Modus ini tentunya akan memperkaya kaum bermodal (kapitalis) dan memiskinkan petani tambak garam lokal. Kaum kapitalis dengan mudahnya menguasai pasar-menjalankan praktiknya secara legal melalui regulasi. Hal ini tidak lepas dari Sistem Demokrasi yang memberikan ruang bagi mereka untuk tetap bisa berhegemoni di negeri ini.

Menteri KKP, Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu membuka keran impor karena petani garam lokal mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Hal ini ditunjang dengan teknologi yang berhasil ditemukan oleh Sudarto, Kepala Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri.

Teknologi ini mampu meningkatkan produksi hingga 100 peresn dengan kadar NaCl 94,7 persen. Hanya tinggal mengaplikasikan teknologi. Penerapan teknologi ini diharapkan mampu menekan harga garam lokal. Dimana alasan lain pemerintah melakukan impor adalah mengenai harga garam lokal yang relatif lebih mahal dibandingkan impor. Sehingga pemerintah mengambil impor sebagai cara instan.

Indonesia mampu produksi garam dan memenuhi kebutuhan pasar. Namun sangat disayangkan, beberapa kebijakan sangat terasa tidak memihak kepada masyarakat khususnya petani garam. Dari mulai konsennya pemerintah yang hanya pada langkah-langkah instan, sampai berpengaruh terhadap harga jual garam yang tidak bersahabat. Inovasi teknologi yang ditemukan anak dalam negeri sudah menjadi keseharusan dari pemerintah untuk mendapatkan perhatian yang serius.

Alternatif-alternatif instan hanya akan membuat ‘kemandulan’ di tengah-tengah generasi. Keberadaan pemerintah adalah sebagai pelayan masyarakat, termasuk menghapuskan ‘kemandulan’ teknologi. Sebagaimana Islam mengajarkan bahwa negara adalah pengatur sekaligus pelayanterhadap urusan-urusan masyarakat.

*) Mahasiswa Teknik Kelautan ITB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement