Ahad 02 Apr 2017 11:43 WIB
Manuver Jelang Pilgub Jabar 2018

Kegagalan Parpol dan 'Berahi Politik' Wujud Kebobrokan Demokrasi!

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil diarak-arak dengan sisingaan saat menghadiri acara deklarasi dukungan Partai Nasdem untuk Ridwan Kamil sebagai calon Gubernur Jawa Barat di Lapangan Tegalega, Kota Bandung, Ahad (19/3).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil diarak-arak dengan sisingaan saat menghadiri acara deklarasi dukungan Partai Nasdem untuk Ridwan Kamil sebagai calon Gubernur Jawa Barat di Lapangan Tegalega, Kota Bandung, Ahad (19/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Indra Lemana *)

Tepat di hari Ahad, 19 Maret 2017, Ridwan Kamil (wali kota Bandung) menghadiri deklarasi Partai Nasdem yang mendukung dirinya sebagai calon gubernur Jawa Barat (Jabar) mendatang. Deklarasi yang digelar di lapangan Tegalega turut dhadiri oleh Surya Paloh, ketua umum Partai NasDem.

Surya Paloh memberikan tiga syarat dalam agenda deklarasi tersebut bagi Ridwan Kamil yang berbarengan dengan pemberian dukungan. Di antaranya, Ridwan Kamil (RK) harus menjadikan Jabar sebagai benteng Pancasila yang melindungi seluruh warga masyarkat Jabar, Nasdem meminta RK untuk tidak masuk satu pun institusi parpol termasuk Nasdem, dan ketiga, RK harus mampu mengonsolidasikan roda pemerintahan dibawah kewenangnnya. Selain itu, NasDem dengan modal lima kursi di DPRD menegaskan nihil akan mahar politik dalam komitmennya untuk mengusung RK di Pilgub Jabar mendatang.

RK menuturkan bahwa dirinya telah berkomunikasi dengan banyak partai, hanya Nasdem yang memberikan tanggapan cepat dengan adanya Deklarasi ini. Walaupun dinilai oleh berbagai pihak sebagai tindakan yang terlalu dini untuk mengusung cagub Jabar mendatang, RK justru menyayangkan sikap-sikap partai lainnya yang terlalu lama menunggu keputusan. Dirinya pun mengaku bahwa ketersediaan untuk diusung di Pilgub Jabar tidaklah ambisi kekuasaan dalam istilah lain ‘syahwat politik’ karena dianggap terlalu dini.

Aturan main lima tahun memimpin wali kota akan usai pada 2018, sedangkan PR di Kota Bandung yang belum tuntas disebutkan masih tersisa dua tahun anggaran untuk dapat dibelanjakan. Baik dari sisi Nasdem maupun RK tampaknya dengan aksi deklarasi minggu lalu mencoba membuka tabir peta politik Jabar atau menjadi uji coba tersendiri melihat tindakan-tindakan yang akan diberikan dari berbagai parpol yang ada.

 

Jika dilihat akan keberpihakan RK terhadap semata-mata untuk Nasdem tentu saja menjadi satu simpulan yang dangkal. Karena itu, beberapa ukuran untuk melihat apa yang tengah diupyakan RK harus dikaitkan dengan berbagai pertimbangan tertentu. Menimbang kekuatan Nasdem yang memiliki lima kursi di parlemen, menjadi bukti keambiguan tatkala RK menerima pinangan Nasdem.

Komposisi kursi bagi masing-masing partai setidaknya dapat dicermati dari hasil Pemilu Legislatif 2014 di Jabar, ada 100 kursi yang diisi oleh 10 partai politik. Jumlah kursi tertinggi di DPRD Jabar diraih oleh PDIP dengan jumlah 20 kursi. Setelah itu Partai Golkar dengan jumlah 17 kursi, disusul PKS 12 kursi, Demokrat 12 kursi dan Gerindra 11 kursi, PPP memiliki 9 kursi, PKB 7 kursi, NasDem 5 kursi, PAN 4 kursi dan Hanura 3 kursi. Maka dari itu, tidaklah bisa jika NasDem mesti mengusung RK sendiri. Berdasarkan aturan KPU, syarat partai dapat mengusung calon kepala daerah harus memenuhi 20 persen kursi di DPRD. Maka, mau tidak mau NasDem harus berkoalisi dengan partai lain untuk mencalonkan RK di Pilgub 2018.

Hanya saja, dari tindakan RK baik NasDem mengindikasikan kepada dua hal, pertama, memang ada upaya bagi RK untuk merapat kepada partai penguasa. Atau yang kedua, diusungnya RK hendak melakukan pengujian terhadap pasar dalam arti reaksi rakyat apabila RK mendukung partai pemerintah, apa jadinya?. Mengingat riuh-riuh Pilkada DKI berbenturan secara atmosfir relijius dengan Jawa Barat yang dikenal semangat relijiusnya tinggi. Beberapa aksi massa terbesar hingga memuncak pada aksi 212 cukup memberikan realitas gambaran akan bersatunya kemarahan Umat Islam terhadap eksistensi Ahok sebagai pemimpin kafir yang menghina Umat Islam dan Alquran.

Tentu saja, bagi suatu partai, perlu adanya pengujian terhadap pasar yang hendak di jaring pada teritori yang berbeda tentunya. Yakni Jawa Barat. Walaupun hingga akhirnya tampak bermuara kepada poin yang pertama yakni potensi merapatnya RK terhadap partai penguasa seandainya partai tersebut mau untuk meminang dengan segenap potensi yang cukup dalam mengusung aktor tertentu dalam Pilgub Jabar.

Dalam kaitannya Jabar sebagai wilayah yang kental akan relijiusitasnya, tentu hal ini dapat dilihat berjayanya Aher duduk pada tampuk kekuasaan Jabar selama dua periode. Meski mampu memenangkan Ahmad Heryawan yang tingkat popularitasnya tidak tinggi, perlu diingat upaya menyandingkan dengan artis termasuk pertimbangan reliji yakni pemain film reliji cukup memengaruhi kemenangan Aher selama dua kali pilgub Jabar itu. Tentunya dengan menggandeng nama-nama artis ini, PKS menunjukan mampu mengelola popularitas cagub yang tidak begitu populer.

Satu sisi dengan latar belakang yang tergambar reliji turut memengaruhi atmosfir Jabar yang selaras dengannnya. Maka, dari sinilah, dapat dipelajari bahwa meski mengusuk figur yang miskin akan elektabilitas tatkala muncul pertamakalinya di publik jabar, PKS mampu mengolahnya dengan melihat realitas jabar tersebut.

Namun, kondisi berbeda jelang pilgub Jabar 2018 ini, Aher sudah dua periode memimpin. Akhirnya, figur yang diusung jatuh pada kemungkinan pada Netty, istri Aher. Jika basis itu terus digunakan tentu akan bertententangan sebagai kepemimpinan perempuan secara agama. Hal yang paling mungkin adalah diposisikannya Netty sebagai wakil subernur saja jika pun mau diusung. Pun demikian, tak tertinggal pula bagi partai seberang dengan koalisi pemerintahannya perlu menguji pasar ini.

Bekal RK dalam pembangunan ‘berbekas’ dalam wujud pembangunan fisik setidaknya melampaui beberapa figur yang muncul kepermukaan sebagai potensi cagub nanti. Bukti-bukti fisik yang dapat dirasa bagi Warga Bandung seperti pembangunan jembatan, berbagai moda transportasi, bangunan-bangunan dan fasilitas publik seolah menjadi modal meyakinkan bagi RK untuk menabrak konvensi akan standar reliji di Jawa Barat.

Tentu saja, hal ini, terdukung dengan keumuman masyarakat yang masih menimbang akan sesuatu yang cepat dapat dirasakan sebagai wujud sebuah kemajuan. Dengan kata lain, realitas masyarakat yang pragmatis turut memberikan jalan lengang bagi upaya RK menyerobot konvensi reliji tersebut dan mengubahnya sebagai sebuah dukungan tersendiri.

Pada tahap ini, tampaknya RK memperkukuh diri tengah berdiri di atas trust yang kuat beserta tiga hal pembangunnya yakni (1) realitas masyarakat yang pragmatis, (2) RK yang menolak sebagai langkah “syahwat politik” dan (3) bukti-bukti fisik pembangunan yang menopang masyarakat pragmatis dan disempurnakan keengganan RK bersyawat politik secara statement yang dimunculkan kapada publik.

Maka, anggapan bahwa tindakan RK untuk hadir pada deklarasi NasDem merupakan tindakan yang blunder secara politik sehingga menabrak dukungan dikalangan umat Islam yang kini dibangun, kiranya dapat dihantam oleh alasan diatas. Dan RK memiliki posisi strategis untuk melakukan test case terhadap pasar jelang Pilgub Jabar 2018 ini.

Di sinilah mengapa tindakan RK menerima pinangan Nasdem adalah tindakan yang cukup matang dari berbagai sisi kemungkinan untuk dapat dilihat. Hal ini pun mengerucut kepada poin pertama menyoal keberpihakan RK tentunya.

Fakta akan upaya RK menyerobot pertimbangan yang telah menjadi biasa di warga Jabar dalam memilih pemimpin serta apa yang akhir-akhir dibangun oleh RK sendiri di Kota Bandung dalam membangun nuansa religi-nya seperti maghrib mengaji, shalat Subuh berjamaah, dan lain-lain, hingga berpusat kepada pinangan Nasdem telah merujuk pada satu kemungkinan kuat bahwa RK berada di lajur partai penguasa, PDIP.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement