Senin 20 Mar 2017 15:07 WIB

Parpolisasi DPD RI, Implikasinya Terhadap Pemerintah Daerah

Direktur Kopel Indonesia, Syamsuddin Alimsyah
Foto: Andi Nur Aminah/Republika
Direktur Kopel Indonesia, Syamsuddin Alimsyah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syamsuddin Alimsyah *)

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sepanjang tahun ini, seolah antara ada dan tiada. Coba kita googling, melacak kinerja DPD RI yang dirasakan membawa dampak langsung bagi pembangunan di daerah. Ada, tapi kurang greget. Klaim dari DPD RI sendiri juga banyak, namun ketika dihadapkan dengan ekspektasi publik, yang muncul nada-nada pesimis, namun tetap menyiratkan adanya kecintaan publik terhadap lembaga ini. 

Dari tulisan opini hingga komentar, tampak seragam menyebut DPD RI seperti antara ada dan tiada. Hampir tidak ada sumbangan signifikan DPD RI untuk menggairahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. DPD RI lebih banyak berjuang untuk kepentingan sendiri. DPD RI malah gagal menjaga kehormataannya sendiri. Malah isu terhangat, sekarang ini, justru sibuk dengan pergolakkan internal dengan perebutan kekuasaan. 

Bukannya bersatu padu membenahi ke dalam. Memperbaiki semaksimal mungkin kinerjanya, mengembalikan kepercayaan publik pasca-peristiwa memalukan operasi tangkap tangan (OTT) Irman Gusman Ketua DPD RIRI dalam kasus gula. Sebaliknya, demi ambisi memenuhi ambisi kekuasaan sampai harus  merombak tata tertibnya sendiri dan memaksa memangkas masa jabatan pimpinan DPD RI dari lima tahun menjadi 2,5 tahun.

Aturannya, pun disepakati berlaku surut. Ini adalah sebuah permainan yang sangat tidak etis dipertontonkan oleh aktor-aktor yang selama ini oleh masyarakat diposisikan sebagai orang terhormat. Meminjam istilah Prof Saldi Isra, pakar hukum Tata Negara, adalah sesuatu yang menyedihkan prilaku anggota DPD RI sekarang, sudah lemah kewenangan juga ribut ‘cakar cakaran’  secara ke dalam hanya karena perebutan kursi kekuasaan.

Bahkan, yang terparah sekarang ini adalah munculnya ancaman gerakan parpolisasi dalam tubuh DPD RI yang secara langsung, lambat atau cepat bisa dipastikan akan semakin mereduksi kelembagaan DPD RI di mata publik. DPD RI dipastikan akan semakin menjauh dari mandatnya. Berdasarkan data Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Pencitraan Citra Parlemen mencatat, hingga kini, tidak kurang dari 70 orang jumlah anggota DPD RI yang sudah terlibat menjadi kader partai politik. Bahkan sebagian besar menjadi pengurus inti. Termasuk Oesman Sapta yang menjadi Ketua Umum DPP Hanura.

Kapan sebenarnya parpolisasi mulai?

Semula, konstitusi kita jelas dan tegas mengatur DPD RI RI sebagai lembaga yang proses perekrutannya adalah perseorangan. DPD RI murni disebut dari perseorangan, steril dari partai politik. UUD 1945 Pasal  22 E ayat (4) Pasal 22 E ayat (4) menyatakan, peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD RI adalah perseorangan. Hal ini dipertegas pula dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu menyertakan syarat calon DPD RI adalah perseorangan yang mengundurkan diri dari parpol empat tahun sebelumnya.

Namun, kriteria itu, tidak bertahan satu periode. Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, justru mereduksi, syarat calon DPD RI sebagai perseorangan yang non partisan dihilangkan. Keberadaan UU 10/2008 ini disebut pula sebagai tonggak intervensi parpol atas DPD RI. Sejak saat itulah DPD RI mulai dihuni beberapa individu yang aktif sebagai kader parpol.

Memang benar, bila dipahami secara letterlet, tidak ada aturan yang dilanggar bagi anggota DPD RI berasal dari kalangan parpol, terlebih juga dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2008 mengakomodasi anggota DPD RI bisa dari kalangan parpol. Meski demikian, sejatinya tetap harus ada pembeda yang tegas antara DPRRI dan DPD RIRI. Dalam sistem bikameral, masing-masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan yang berbeda yaitu DPR merupakan representasi penduduk sedangkan DPD RI merupakan representasi wilayah (daerah). 

DPR merupakan cermin representasi politik (political representation). Sedangkan DPD RI mencerminkan prinsip representasi teritorial (regional representation). Dari sini sesungguhnya akan kelihatan desain tujuan pembentukan kedua lembaga yang sangat berbeda. Sehingga, bila dicampur aduk akan membawa impilikasi negatif terhadap pemerintahan, tidak terkecuali pemerintahan di daerah. 

Parpolisasi DPD RI akan mempunyai implikasi bagi pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Yakni pertama, potensi terjadinya kooptasi politik terhadap kepentingan pemda dan masyarakat lokal dimana terjadi perubahan cara pandang masyarakat yang melihat DPD RI dari lembaga representasi daerah menjadi lembaga politik.

 

Perlu dipahami, keberadaan masing-masing lembaga parpol memiliki visi dan misi yang berbeda yang harus dikawal dan diperjuangkan oleh kadernya di manapun berada. Setiap tindakannya, selalu diukur dengan kepentingan politik. Kepentingan politik dimaksud adalah kemampuan mempengaruhi daerah untuk bertindak atau bahkan membuat kebijakan yang sejalan dengan kepentingan partainya. Bila tidak mampu memengaruhi secara idiologi, maka bargainingnya boleh jadi bergeser dalam bentuk pragmatis, mulai dari barter suara sampai pada dukungan finansial termasuk fee proyek.

Memang tidak ada jaminan anggota DPD RI yang murni dari perseorangan tidak akan melakukan perbuatan yang sama dengan politisi. Misalnya, dengan barter suara atau permintaan fee proyek karena adanya kuasa yang dimiliki. Namun setidaknya, cara berpikir bagi DPD RI yang murni perseorangan akan lebih netral dan mandiri. Karena tidak berafiliasi pada parpol tertentu, maka yang bersangkutan tidak ada beban dan lebih fokus  berpikir dan bekerja untuk kepentingan aspirasi daerah.

Kedua, tidak akan ada lagi check and balances. DPR dan DPD RI sudah tidak ada lagi pembeda yang tegas. Bahkan sebaliknya, DPR akan semakin memiliki powerfull membuat dan tidak terkontrol sehingga menyuburkan budaya pemerasan di DPR.

Ketiga, DPD RI tidak lagi sepenuhnya bisa menjadi penjaga integrasi nasional. Dipahami dalam pembentukannya, DPD RI membawa beban sejarah yang sangat berat untuk menjaga integrasi nasional, sebagaimana disampaikan oleh Sri Soemantri Martosoewignjo dalam rapat pembahasan perubahan UUD 1945 mengenai DPD RI. Sebagai regional representation untuk menjaga integrasi nasional DPD RI mempunyai tugas sebagai ujung tombak, anggota DPD RI dituntut selalu terdepan dalam memperjuangkan kepentingan daerah di Pusat. Juga sebagai pembuka kran, atas sumbatan-sumbatan aspirasi daerah atau jembatan penghubung antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintahan Provinsi, serta masyarakat lokal.

Kehadiran lembaga DPD RI yang kuat, sejatinya dinanti oleh semua pihak yang memiliki kesadaran kuat akan pentingnya sistem tata kelola pemerintahan yang efektif dan efesien. Ibarat kata, dua mata akan lebih baik untuk melakukan pengawasan. DPD RI setidaknya diharapkan akan menjadi penyeimbang terhadap DPR RI yang seolah selama ini memiliki kewenangan mutlak dan cenderung disalahgunakan. DPD RI akan menjadi salah satu mitra strategis bagi Pemerintah untuk keluar dari kungkungan pemerasan oknum anggota DPR yang senang memanfaatkan kekuasaan dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain. Sebagai contoh dalam kasus dugaan korupsi mega proyek KTP El Rp 2,3 triliun. Pemerintah tidak akan berdaya menghadapi perilaku DPR RI di tengah lemahnya posisi DPD RI. Wallahu’alam bissawab

*) Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement