Selasa 07 Feb 2017 12:42 WIB

Ahok dan Permohonan Maaf Ala Kancil

Terdakwa Dugaan Kasus Penistaan Agama yang juga Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menghadiri sidang lanjutan ke-9 di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (7/2).
Foto: Pool/AP/Dita Alangkara
Terdakwa Dugaan Kasus Penistaan Agama yang juga Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menghadiri sidang lanjutan ke-9 di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (7/2).

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Khairil Miswar  *)

Agar tulisan ini tidak menggelinding liar, maka penting diterangkan bahwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dimaksud dalam tulisan ini adalah gubernur DKI Jakarta nonaktif yang saat ini juga kembali mencalonkan diri sebagai kandidat gubernur periode mendatang. Adapun kancil adalah nama binatang liar yang dalam dunia dongeng dikenal cerdik, tetapi dalam dunia nyata ternyata bodoh. Saya menuduhnya bodoh, karena tidak ada riwayat yang menyebut sang kancil pernah menipu pemburu. Seandainya kancil itu benar-benar cerdas maka yang namanya sate kancil tidak akan pernah ada. Sebaliknya, pemburulah yang akan disate oleh si kancil. Tapi kenyataannya tidak demikian.

Di zaman hoax seperti sekarang ini, penegasan istilah serupa ini, sangat penting dilakukan guna menghindari 'tirani kata'. Saat ini, kita juga hidup dalam lingkaran 'republik meme', sehingga setiap kata harus diterjemahkan secara tepat agar tidak 'terpeleset' dalam pemaknaan yang keliru. Dan penjelasan singkat di atas adalah bentuk pertanggungjawaban ilmiah saya kepada pembaca.

Meskipun judul tulisan ini membicarakan dua sosok, Ahok dan kancil, tapi dalam uraian selanjutnya saya tidak akan membahas tentang cerita kancil. Karena, riwayat kancil telah kita pahami secara mutawatir, sehingga akan sangat membuang waktu jika kisah tersebut diriwayatkan kembali. Tulisan singkat ini hanya mengulas tentang Ahok–tokoh Indonesia paling 'populer' abad ini –yang telah menyita perhatian. Tidak hanya publik di Tanah Air, tetapi juga masyarakat internasional.

Pada 10 Oktober 2016, Republika Online mengabarkan bahwa Ahok meminta maaf kepada seluruh umat Islam atas kasus dugaan penistaan agama di Kepulauan Seribu dan meminta agar kasus tersebut tidak dilanjutkan lagi. “Saya minta maaf atas kegaduhan ini," demikian ucapan Ahok kepada media saat itu.

Saat ini, kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok sedang dalam proses hukum di pengadilan. Hal menarik adalah –meskipun Ahok sudah keluar masuk ruang pengadilan, namun yang bersangkutan masih bisa melenggang bebas ke sana ke mari melakukan kampanye. Dalam redaksi yang lebih awam, Ahok tidak dikurung!

Benar negara ini adalah negara hukum –tidak ada khilaf terkait 'klaim' ini. Tetapi, keluar-masuknya Ahok dalam ruang pengadilan, tentu tidak terlepas dari dorongan kaum Muslimin di Indonesia melalui berbagai aksi demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini. Artinya, umat Islam Indonesia punya jasa besar dalam mempertahankan status Indonesia sebagai negara hukum. Dengan dorongan umat Islam, hukum terhadap Ahok dapat ditegakkan. Meskipun terkesan 'merayap' dan lamban, tapi setidaknya, kepercayaan umat Islam kepada hukum masih terpelihara dengan baik.

Namun demikian, kasus yang menimpanya selama ini, ternyata tidak mampu mengubah karakter Ahok yang dalam bahasa Aceh dikenal dengan kurangkham (melanggar adab dan etika). Sindonews.com (1/2) meriwayatkan bahwa Ahok kembali melakukan 'kesalahan fatal' dengan menuduh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin berbohong saat memberikan kesaksian di persidangan. Setelah kasus ini hangat di media, Ahok kembali meminta maaf.  

Pada 6 Februari 2017, sebagaimana dirilis Tempo.co, Ahok meminta maaf melalui media kepada Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin. Hal ini terkait dengan perlakuan Ahok terhadap KH Ma’ruf Amin yang dinilai tidak santun dan mengabaikan etika. Uniknya, seperti dirilis Tempo.co (03/02/17), pascakejadian tersebut, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Kapolda Metro Jaya, dan Pangdam Jaya pun bersilaturahim ke kediaman KH Ma’ruf Amin.

Dalam perspektif sosiologis dan politik, berkunjungnya 'orang-orang besar' ini dapat dipahami karena Ma’ruf Amin adalah ulama yang disegani oleh umat Islam Indonesia. Tentunya, setiap 'luka' harus segera diobati agar 'luka' itu tidak membesar. Kata-kata yang diucapkan Ahok kepada Ma’ruf Amin adalah luka bagi umat Islam. Jika luka ini tidak segera ditangani maka bukan tidak mungkin akan memicu kemarahan besar dari umat Islam.

Yang menjadi persoalan sekarang, bukan lagi masalah maaf memaafkan. Seperti disampaikan Ma’ruf Amin bahwa yang meminta maaf, ya dimaafkan. Tapi, sampai kapan Ahok akan membuat 'kegaduhan' di negeri ini? Hari ini minta maaf, besok buat 'lawak' lagi, kemudian minta maaf lagi dan seterusnya. Tentunya 'kegaduhan' yang muncul akibat karakter dan pola komunikasi Ahok yang tidak pernah mau berubah akan menghabiskan energi anak bangsa hanya untuk mengurus Ahok seorang.

Sementara itu, Merdeka.com (1/2) juga mengabarkan bahwa Ahok sempat menuduh bahwa keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah permintaan dari mantan presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Di berbagai media juga berkembang informasi bahwa kuasa hukum Ahok juga meminta SBY didatangkan ke pengadilan dengan membawa bukti penyadapan (Inews TV).

Bukankah ini sebuah bukti kepanikan dari kuasa hukum Ahok? Bagaimana mungkin orang yang konon katanya disadap diminta membawa bukti penyadapan. Saya yakin, dalam beberapa hari ke depan Ahok Cs juga akan kembali meminta maaf kepada SBY. Inilah yang saya maksud permohonan maaf ala kancil. Permohonan maaf hanya untuk menyelamatkan diri satu kondisi untuk kemudian melakukan hal serupa dalam kondisi lain. Dan pola ini nampaknya akan terus berulang dalam kasus dan topik berbeda. Semoga Ahok tidak seperti kancil. Wallahu a’lam.

Bungkaih, 6 Februari 2017

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement