Ahad 10 Jul 2016 14:00 WIB

Antara Melbourne dan Kota Pelajar Yogyakarta

Red: M Akbar
Murniati Mukhlisin
Foto: istimewa
Murniati Mukhlisin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Murniati Mukhlisin (Dosen asal Indonesia)

Ditemani mahasiswi Monash University, Ana Siti Nur Khasanah, saya berkesempatan melihat Melbourne. Tepatnya, di sekitar Flinders Street. Dengan pemandangan penuh sesak pengunjung dengan wajah mahasiswa, kami merasa seakan berada di Kota Pelajar Yogyakarta.

Wajar saja menyebut Melbourne ini seperti kota pelajar. Kota ini dikelilingi oleh enam universitas besar seperti University of Melbourne, Monash University, Deakin University, Royal Melbourne Institute of Technology, La Trobe University dan Victoria University.

Ana bercerita beragam macam tujuan mereka bermalam mingguan di pusat kota ini. Ada yang hanya sekadar makan malam, ada yang ingin kumpul-kumpul, yang jelas melepas lelah setelah hampir sepekan kuliah.

Ana merupakan penerima beasiswa LPDP yang kuliah di jurusan Teaching English as a Second Language (TESOL). Ia merasa sangat betah kuliah di Monash karena banyak dijumpai masjid dan makanan halal, termasuk makanan khas Indonesia juga komunitas Muslim Indonesia.

Menurut Kedutaan Besar Australia, mahasiswa Indonesia di Australia hingga saat ini berjumlah 15,000 orang. Sebagian besar mereka kuliah dengan bantuan beasiswa baik dari DIKTI, DIKTIS, LPDP, instansi pemerintah Indonesia, Australian Development Scholarship, Endeavour Scholarship, dan sebagian lainnya datang dengan biaya sendiri.

Adapun jumlah mahasiswa Indonesia di Inggris ada sekitar 3,000 orang seperti yang diungkapkan oleh Moazzam Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia baru-baru ini di sebuah media. Sebagian mereka juga datang dengan bantuan beasiswa.

Dilihat dari jumlahnya, wajar saja Australia menjadi destinasi lebih favorit kalau dibandingkan dengan negara barat lainnya, seperti Inggris. Salah satu alasannya karena faktor jarak dari keluarga di Indonesia dan kesempatan bekerja.

Hal ini pernah diungkapkan oleh Swasmi Sutanto. Ia adalah seorang mahasiswi University of Quensland, Brisbane. Pilihannya menimba ilmu ke Australia dibandingkan Inggris karena dua hal tersebut. Suaminya yang menemaninya tugas belajar dengan mudah mendapatkan pekerjaan paruh waktu di Brisbane.

Herru Suherman yang menemani istrinya kuliah PhD di Skotlandia, Inggris, membenarkan apa yang disebut Swasmi bahwa tidak mudah mendapatkan pekerjaan di Inggris walaupun pekerjaan tanpa ketrampilan khusus seperti petugas kebersihan dan pengantar surat.

Namun demikian dibandingkan di Inggris, biaya kesehatan jauh lebih mahal di Australia. Septaliana Dewi Prananingtyas mahasiswi PhD di RMIT mengatakan bahwa biaya asuransi kesehatan yang dia bayar untuk dirinya, suami dan satu anak adalah sekitar 100 juta untuk masa empat setengah tahun.

Sedangkan biaya kesehatan di Inggris selama ini gratis hingga sejak tahun lalu yang mewajibkan setiap pemegang visa pelajar dan anggota keluarganya harus membayar 200 poundsterling atau 4 juta setahun untuk biaya kesehatan NHS.

Kendati demikian, dua negara ini masih tetap diminati oleh mahasiswa dari seluruh dunia dikarenakan beberapa universitas di sana berada di ranking atas dunia yang artinya pendidikan yang ditawarkan dipercayai sudah bermutu.

Tulisan ini dikirim oleh Murniati Mukhlisin, dosen asal Indonesia yang diutus oleh University of Essex, Inggris, untuk menjadi salah pembicara tentang akuntansi Islam di The Eight Asia-Pacific Interdisciplinary Research in Accounting Conference.

Konferensi yang diadakan sekali dalam tiga tahun ini akan berlangsung selama tanggal 13-15 Juli 2016 di kampus RMIT, Melbourne dan akan dihadiri oleh sekitar 300 dosen dan guru besar bidang akuntansi dari berbagai negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement