Senin 07 Apr 2014 11:58 WIB

Memilih di Belanda

Bendera Belanda
Bendera Belanda

Oleh Andi Muhammad Jafar SH.,MH (Mahasiswa Program Master bidang Hukum dan HAM Radboud University Nijmegen, Belanda

REPUBLIKA.CO.ID,Ada beberapa keunikan yang membedakan pengalaman memilih di Belanda dengan umumnya di tanah air. Jika di Indonesia kita mencoblos di TPS pada wilayah masing-masing, di Belanda tentu tidak demikian. 

Satu-satunya TPS ialah yang berada di Kedubes RI di Den Haag. Mahasiswa seperti saya yang tinggal di kota Nijmegen di timur Belanda harus menempuh perjalanan menggunakan kereta api selama kurang lebih 2 jam menuju Den Haag yang biayanya terbilang tidak murah untuk ukuran kantong mahasiswa.

Keunikan kedua ialah menyangkut daerah pemilihan calon legislatif yang tersedia. Berbeda dengan di Indonesia, di Belanda cuma terdapat 1 paket daerah pemilihan, yakni Jakarta Pusat dan Selatan. 

Menurut saya, hal ini yang menjadi salah satu konsen utama kebanyakan pemilih di Belanda. Mereka menjadi lebih sulit untuk mengenali calon legislatif yang ingin mereka pilih karena tidak semua berasal dari wilayah Jakarta tentunya. Di samping dua keunikan di atas, dari segi proses di TPS tidak banyak berbeda dengan di Indonesia.

​Metoda yang digunakan dalam proses pemilihan anggota legislatif dan presiden di Belanda ada dua: Pertama, melalui pos. Dengan metoda ini, calon pemilih menerima surat dari Panitia Pemilihan Luar Negeri (KPLN) yang berisi surat suara, petunjuk pencoblosan, surat pemberitahuan C6 LN, dan ditambah amplop untuk surat balasan. 

Pemilih cukup mencoblos kertas suara tersebut di alamatnya masing-masing sebelum kemudian dikirim kembali ke KPLN di Den Haag. Adapun surat tersebut sudah harus diterima KPLN selambat-lambatnya 15 April 2014. 

Metode kedua ialah dengan datang langsung ke tempat pemungutan suara (TPS) yang berada di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda di Den Haag (The Hague). TPS tersebut dibuka pada hari sabtu, 5 Aprio 2014 mulai pukul 09.00-17.00. Saya sendiri menggunakan metoda yang terakhir ini.

​Metoda yang digunakan dalam proses pemilihan anggota legislatif dan presiden di Belanda ada dua: Pertama, melalui pos. Dengan metoda ini, calon pemilih menerima surat dari Panitia Pemilihan Luar Negeri (KPLN) yang berisi surat suara, petunjuk pencoblosan, surat pemberitahuan C6 LN, dan ditambah amplop untuk surat balasan.

 Pemilih cukup mencoblos kertas suara tersebut di alamatnya masing-masing sebelum kemudian dikirim kembali ke KPLN di Den Haag. Adapun surat tersebut sudah harus diterima KPLN selambat-lambatnya 15 April 2014. 

Metode kedua ialah dengan datang langsung ke tempat pemungutan suara (TPS) yang berada di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda di Den Haag (The Hague). TPS tersebut dibuka pada hari sabtu, 5 April 2014 mulai pukul 09.00-17.00. Saya sendiri menggunakan metoda yang terakhir ini.

​Sejatinya semua calon pemilih di Belanda, baik menggunakan metode pertama maupun kedua, diwajibkan mendaftarkan dirinya secara online ke KPLN Belanda. KPLN kemudian menerbitkan daftar pemilih yang sudah terdaftar dan dipublikasikan di website KPLN sehingga bisa diakses oleh publik. 

Namun berdasarkan pengalaman saya, daftar pemilih hanya memuat calon pemilih yang mendaftar hingga November 2013. Sehingga saya yang medaftar pada februari 2014 tidak masuk ke dalam pemilih KPLN. Pihak KPLN berjanji memasukkan nama calon pemilih yang mendaftar setelah November 2014 ke dalam daftar pemilih tambahan.

​Saya sendiri tidak melihat urgensi dari adanya sistem pendaftaran dan daftar pemilih ini –kecuali untuk mereka yang memilih melalui pos- karena pada akhirnya setiap warga Negara Indonesia di Belanda,  baik yang namanya ada di dalam daftar pemilih maupun tidak, dapat mengikuti proses pemilihan umum dengan datang langsung ke TPS. Mereka cukup membawa passport atau Surat Tugas Laksana Passport. Hal ini mungkin dapat menjadi evaluasi kedepannya.

Satu hal yang saya kira menarik ialah bagaimana acara seperti pemilu ini digunakan oleh sebagian warga Negara Indonesia di Belanda untuk bersilaturahmi satu sama lain. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk bercengkrama.

Saya kira wajar sebab sekalipun Belanda dari sisi wilayah terbilang kecil, tidak banyak kesempatan untuk bertemu warga Negara Indonesia khususnya yang berasal dari kota yang berbeda. Sehingga tidak mengherankan ruang Aula Kedubes yang dijadikan lokasi TPS menjadi hiruk pikuk dengan diskusi, canda tawa sesama warga Negara Indonesia.

Melihat kondisi-kondisi yang berbeda dan sedikit lebih sulit dibandingkan dengan memilih di dalam negeri, pertanyaan yang sering diajukan ialah mengapa masih banyak warga Indonesia yang tetap antusias memberikan suaranya. 

Tentu beragan alasan dari masing-masing pemilih untuk menjawab pertanyaan ini. Saya pribadi tertarik memilih karena dua alasan: pertama sebatas ingin mendukung proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Meskipun golput tidak diharamkan, namun dalam masyarakat demokratis, golput dapat dilihat sebagai bentuk civil disobedience. 

Semakin tinggi jumlahnya maka indikasi ketidakpuasan masyarakat dengan sistem demokrasi yang berlangsung juga semakin tinggi. Alasan kedua ialah sekedar rasa ingin tahu. Karena pertama kali memilih di luar negeri, saya bertanya-tanya seperti apa rasanya memilih di luar Indonesia. Dan jawabannya ialah: menyenangkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement