Rabu 07 Sep 2011 20:26 WIB

Cerita Ngiprik di Tepi Pantura

Ngiprik, mengumpulkan sisa gabah usai penyemaian padi.
Foto: Foto-foto: Dharma Wijayanto
Ngiprik, mengumpulkan sisa gabah usai penyemaian padi.

Hamparan padi menguning, tanda panen tiba di desa Sukamandi, Subang, tepatnya di sepanjang jalur pantai utara jawa (pantura). Senyum tipis pemilik lahan diiringi haus keuntungan para tengkulak menjadi potret pergelutan ekonomi tanah air.

Di tengah panen besar, Ibu Siti (70), di penghujung akhir usianya mengais keberkahan panen musim ini. Dia bersama ibu-ibu lainnya berusaha mengumpulkan sisa-sisa gabah usai penyemaian padi, dengan cara memungut butiran satu-persatu. Masyarakat di sini biasa menyebutnya ‘ngiprik’. Ironis memang melihatnya, namun untuk memenuhi kehidupannya Siti harus melakukan cara ini untuk makan dan bertahan hidup setelah ditinggal suaminya 20 tahun yang lalu.

Begitu juga dengan ketujuh anaknya yang kian sibuk dengan urusan keluarga masing-masing. Dalam sehari Siti bisa mendapat tiga hingga lima kilogram gabah. Jika beruntung dirinya bisa mendapatkan lebih dari itu. Satu dua kali, ia pun harus rela pulang dengan tangan kosong apabila sang pemilik lahan dan tengkulak melarang mengambil sisa-sisa gabah yang berjatuhan.

Belum usai semua itu, Siti harus menjemur dan memisahkan gabah menjadi beras yang kemudian dimasak hingga menjadi nasi. Hanya dengan cara ini Siti bisa terus hidup hingga menutup usia.

Bila musim panen usai, Siti kembali menjadi pekerja serabutan. Yakni mengandalkan kebaikan pemilik lahan untuk mencabut rumput liar di sekitar pematang sawah yang luas hektaran, dengan upah Rp.15.000 per hari. Meski pendapatan minim, Siti tetap ikhlas dan tampak menikmatinya walau harus berkelahi dengan panas matahari dan membuat hitam legam kulitnya yang kriput.

Siti hanyalah sepenggal klise dari potret kemiskinan yang terlihat di desa Sukamandi. Pada kenyataannya, hektaran sawah di sepanjang jalur Pantura yang dibangun oleh Herman Willem Deanles tahun 1808, puluhan bahkan ratusan masyarakat di sepanjang jalur ini melakukan hal yang sama seperti Siti.

Fenomena seperti ini seakan mengulang kembali masa suram kolonial Belanda, yang pada saat itu memiskinkan masyarakat dengan cara memonopoli hasil bumi dengan cara licik, hal ini hampir sama dengan tengkulak yang haus laba. Sehingga memaksa Siti harus melakukan ngiprik karena tidak memiliki lahan bertani, selain sepetak tanah yang menjadi tempat tinggal.

Kini Siti dan masyarakat sekitarnya seperti seekor ayam yang kelaparan di tengah lumbung padi, dimana jalur Pantura menjadi lahan subur dibidang pertanian dan penghubung utama perekonomian antar kota antar provinsi.

Dharma Wijayanto

Jl. Raya bambu Apus Rt. 03/03 No. 4, Jakarta Timur

__________________________

Rubrik Jurnalisme Warga memuat tulisan kiriman pembaca. Kirimkan tulisan Anda (mencakup laporan, tips, pengalaman, dan kisah mengenai berbagai hal) beserta foto-foto ke: [email protected]. Tulisan disertai identitas jelas pengirim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement