Kamis 31 May 2012 10:58 WIB

Lembaga Itu Adalah KUA

Kantor Urusan Agama
Foto: infokepanjen.com
Kantor Urusan Agama

Saya kaget setengah mati saat seorang saudara saya menyebutkan angka yang dia keluarkan untuk mengurus berkas-berkas nikah di KUA. Bukan jumlah yang kecil lho, hampir Rp 800 ribu untuk berkas-berkas dan Rp 1 juta untuk fee mudin. Mau ibadah aja kenapa mahal banget ya? Dan saya masih ingat sebuah episode talk show yang mendatangkan orang dari Kementrian Agama, saya lupa namanya, tapi nominal yang dia sebutkan memang hanya puluhan ribu rupiah saja.

Pengalaman saudara saya akhirnya saya alami sendiri. Tidak hanya di level KUA, tapi mulai dari RW hingga Kelurahan.

Setelah mengurus surat pengantar dari ketua RT, saya harus meminta tanda tangan ketua RW. Saat saya temui di Balai RW, beliau marah-marah dan meminta saya menunjukkan sebuah blangko yang tidak ada pada saya. Katanya sih harusnya sudah diberikan pihak RT (yang akhirnya dibantah oleh ketua dan sekretaris RT).

Saya pun diberi selembar blangko kosong sambil diwanti-wanti "Kamu fotokopi 10-15 lembar." Sebelum pulang, saya disuruh memasukkan uang kedalam sebuah kotak, "seikhlasnya". Dongkol deh, udah disuruh wira-wiri, masih dimintai duit pula (yang menurut keterangan sekretaris RT hanya dipakai untuk beli tahu tek dan jajan orang-orang jagongan di Balai RW). Akhirnya, plung, seribu rupiah saya masukin.

Selesai? Ternyata tidak. Besok paginya saat saya ke kantor kelurahan, berkas saya ditolak mentah-mentah. Duileee... ternyata Pak RW nggak nyetempel berkas sayaa. Mau langsung minta stempel pun nggak bisa, karena Balai RW hanya buka malam hari di atas jam 20.00. Sepet, akhirnya malam itu saya balik Balai RW lagi. Setelah distempel, ngucapin makasih, saya langsung ngeloyor pulang. Bodo amat deh sama kotak duit.

Di kelurahan lumayan cepet. Tapi sama aja, UUD (ujung-ujungnya duit). Lima puluh ribu rupiah saya melayang.

KUA? worst from the worst. Saat saya tanya biaya yang harus dikeluarkan, petugas itu bilang, "Untuk berkas-berkas 500 ribu rupiah, tapi belum termasuk fee mudin. Kalau di dalam kecamatan fee (mudin) biasanya 200 ribuan, tapi yang mbak kan di luar kecamatan, ya 300 ke atas lah. Tapi itu nanti kalau sudah selesai, sekarang yang 500 ribu saja." Lalu saya diberi dua eksemplar majalah pernikahan (untuk pelipur lara mungkin, karena uang melayang).

Tepat malamnya, kawan saya share foto di grup angkatan SMU saya. Isinya: "Biaya pencatatan nikah dan rujuk. berdasar PP No 51 th 2000 dst (gambarnya terpotong): Nikah Rp 30 ribu, rujuk Rp 30 ribu". Langsung saya komen, "30 ribu dari Hongkong, gue keluar 500 ribu di KUA doang. Nggak heran banyak yang milih nikah siri dan kumpul kebo."

Saya masih ingat beberapa bulan lalu sedang hangat-hangatnya isu pelarangan nikah siri, baik yang menikah maupun yang menikahkan akan dikenai sanksi katanya. Saya jadi bersyukur, mama saya (single parent) masih mampu membiayai pernikahan saya (saya masih kuliah), tapi bagaimana dengan mereka yang nggak mampu?

Kesimpulan sinis saya cuma satu: yang bertanaggung jawab atas kumpul kebo-nikah siri adalah petugas KUA dan pamong masyarakat itu sendiri, orang-rang yang menggunakan payung 'negara hukum' untuk mengeruk keuntungan. Orang-orang bersongkok hitam, memiliki otoritas untuk melegalkan hubungan dua orang manusia di mata Allah dan hukum, mendapat kedudukan sosial yang tinggi di mata masyarakat, tapi memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.

Jika lembaga agama saja sudah dipenuhi 'tikus', maka apa yang bisa diharapkan dari negara ini?

Rika Astaria Vegarini

Biologi FSAINTEK UNAIR

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement