Jumat 25 May 2012 13:02 WIB

Belajar Kearifan Lokal Bernama Korupsi

Mahasiswa KKN
Foto: unirow.ac.id
Mahasiswa KKN

KKN, mata kuliah 3 SKS yang wajib diambil oleh mahasiswa di kampus tempat saya belajar, telah menyisakan sebuah pembelajaran besar dalam hidup saya. Dua bulan berbaur dengan masyarakat, telah mengajarkan saya pada sebuah kearifan  lokal yang tumbuh subur menjadi budaya yang paling memuakan di negeri ini, korupsi. Ya korupsi, yang selama ini saya pikir hanya ada di meja-meja pemerintahan, rupanya sudah mengakar rumput.

Tahun 2011, saya terlibat dalam sebuah  proyek pemberdayaan masyarakat yang disponsori oleh sebuah institusi pemerintah. Institusi ini sudah cukup lama menjalin kerjasama dengan kampus. Karena hasinya cukup memuaskan, maka untuk program KKN 2011, mereka bersedia membiayai proyek pemberdayaan masyarakat.

Menyenangkan, ketika di awal pertemuan pihak institusi menjelaskan bahwa kami akan mendapat dana sebesar Rp 2.500.000 untuk 5 desa. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai berbagai macam seminar maupun pelatihan ketrampilan agar masyarakat menjadi mandiri dan menuju sejahtera.

Sesuai dengan aturan yang disepakati, maka uang dana KKN akan dicairrkan melalui kepala desa setempat, di mana kami akan dibantu oleh petugas dari kecamatan. Dalam rapat tersebut saya masih mengingat jelas, ibu direktur institusi menyebutkan dengan jelas, “Bapak Kades, itu uangnya buat adek KKN bukan untuk masuk kantong.”

Hari eksekusi pun tiba. Kami diterjunkan ke lapangan, survey wilayah, mencari permasalahan, menyusun rencana pelatihan. Dan tiba lah hari di mana kami butuh mengeluarkan dana untuk membayar trainer, konsumsi masyarakat, hadiah, dan juga sarana prasarana yang menunjang ketrampilan pelatihan.

Sayang, selama beberapa hari kami berada di kecamatan tersebut, belum sepeser pun dana KKN yang turun kecuali dana kampus. Masalahnya dana dari kampus digunakan untuk membayar pondokan dan biaya hidup sehari-hari. Jadilah kami kocar-kacir kebingungan  mencari kemana lenyapnya dana sebesar Rp 2.500.000,00.

Merasa butuh uang, iseng saya menanyakan kepada petugas kecamatan. “Bu, besok untuk acara pelatihan ini kami ambil dananya bagaimana ya?” Si ibu menjawab, ”Ya sudah mbak, gabungin saja dengan acara X.”

“Tapi bu, acara X kan sudah disponsori oleh institusi lain. Masa kami harus mendompleng, kan nggak enak juga sama sponsor.”

Ibunya menjawab lagi, “Kita ini dari dulu nggak ada uang mbak, nggak ada dana. Sudah sejak dulu kerjaannya institusi ini ya mendompleng dari institusi lain, yang selalu punya kucuran dana bagi rakyat.”

“Tapi bu, dari Institusi pusat kemarin menjelaskan ada dana sebesar Rp 2.500.000, yang bisa dicairkan lewat Pak Kades. Kata ibu direktur kami bisa minta tolong ibu petugas kecamatan untuk membantu,” saya masih ngeyel.

Ibunya menjadi tidak sabar, ”Mbaknya ini cerewet, banyak nanya. Itu uang Rp 2.500.000 nggak cukup mbak, sudah dipakai transportasi nganterin kalian ini survey, rumah kita kan jauh. Lagi pula kalian ini mengganggu jam kerja pak Kades, jadi pak Kadesnya juga dapat uang pengganti jam kerja.”

Saya tercengang mendengar pernyataan ibu ini. Entah dia memang terbiasa bicara jujur atau memang terlalu bodoh dan tidak berpengalaman untuk melakukan sebuah tindakan kriminal bernama korupsi. Semua celotehnya yang menyebalkan ini akhirnya menjadi pengunci bagi saya untuk menguak segala macam kebingungan kami mengapa uang Rp 2.500.000 ini bisa tidak cair di tangan.

Siang itu seusai bertengkar dengan ibu petugas kecamatan, saya dan teman satu subunit menggeruduk kantor pusat institusi di ibukota provinsi. Kami menanyakan apakah uang Rp 2.500.000 itu teknisnya memang uantuk membiayai transportasi petugas kecamatan yang sudah bersusah payah mengantarkan kami dari satu desa ke desa lain dan membayar uang lelah kepada kades-kades yang kami kunjungi, atau murni untuk membiayai pelatihan.

Kepala kantor pusat menjelaskan bahwa uang tersebut murni untuk pelatihan. Beliau sangat marah mendengar kabar kurang menyenangkan ini. Esok pagi kami mengadakan sidang. Uang Rp 2.000.000 dikembalikan kepada kami sedangkan Rp 500.000-nya sudah hilang melayang.

Lucunya meskipun sudah terbukti salah, para ibu petugas kecamatan ini masih sempat membandingkan kami dengan anak mereka yang dulu KKN meminta uang sebanyak-banyaknya kepada orang tua untuk membayar program. Jadi menurut sudut pandang mereka uang program itu ya dibiayai orang tua kami secara pribadi.

Dari kasus tersebut saya dapat menarik kesimpulan, bisa jadi anak yang meminta orang tua membiayai KKN dengan jumlah yang besar bukan karena uang program yang kurang, tapi kesempatan untuk mengeruk uang saku dari orang tua yang besar. Akibatnya, orang tua mereka melakukan korupsi demi membiayai “ulah korupsi” anak mereka.

Kearifan masyarakat lokal untuk menghormati pemimpin atas dasar “pakewuh” (sopan santun dalam bahasa Jawa) juga memicu korupsi terjadi. Membayar uang lelah untuk bicara setengah jam kepada pak Kades, membayar untuk stempel LPJ dan lain sebagainya. Sungguh KKN tahun kemarin benar-benar menjadi Kuliah Kerja Nyata Korupsi Kolusi Nepotisme bagi saya.

 

Puspita Ratri Wulandari

Pogung Kidul No 10 B Sinduadi Mlati Sleman, Yogyakarta

Mahasiswa FMIPA Kimia UGM

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement