Selasa 31 Jan 2012 10:59 WIB

Aku Jadi Bemper Korupsi

Usiaku masih 23 tahun. Sudah 3 tahun berjalan aku menjadi sekretaris dan asisten personal seorang anggota “Dewan Terhormat”. Dengan lingkungan yang ada dan membesarkan aku, aku hanya belajar melihat, mendengar dan menikmati. Menikmati proses, menikmati peranan, menikmati tanggung jawab, dan menikmati harga sebuah “LOYALITAS”. Kadang aku masih belum bisa mengkotak-kotakkan apa yang namanya Loyalitas, Job Description dan NURANI. Hingga...

Kejadian itu terjadi tepat sebelum Hari Raya Idhul Fitri tahun lalu. Staf seorang Dirjen di Kementrian Sosial di lantai 6 itu meneleponku, menanyakan laporan pertanggungjawaban dana sosial kongres sebuah lembaga yang sudah ada jauh sebelum Indonesia ini merdeka. Ini adalah jawaban atas kebingunganku saat sehari yang lalu rombongan orang datang ke rumahku untuk mencariku. Mereka berbekal surat pernyataan tertulis dan foto kopi KTP-ku. Masih ingat rasanya wajah khawatir mama menatapku dan bertanya, “Apa yang terjadi?”

Aku meminta penjelasan duduk perkara kepada atasanku saat tidak henti-hentinya mereka (yang mengatasnamakan lembaga) terus menelepon ku. Mulai dari tim kuasa hukum, wakil ketua, bendahara, bahkan sekretaris lembaga. Mereka menuntut pertanggungjawabanku atas dana yang diberikan Dirjen Kementrian Sosial yang tidak sampai di mereka. Padahal dana tersebut dipergunakan untuk mensponsori acara kongres, tepat 2 tahun lalu.

Aku tertegun, karena saat menorehkan tanda tanganku di  Surat Pernyataan, tertera aku sebagai wakil lembaga untuk menerima dana sponsorship dan bersedia membuat laporan ke Kementrian dan BPK.

Mencoba menghubungi atasanku percuma, dia terburu-buru terbang ke Solo untuk beberapa hari ke depan, dan aku tidak tahu kapan dia kembali. Percakapan singkat dengannya hanya memberiku “Win Solution” hanya untuknya, dengan mengatakan, “Acuhkan saja, nanti saya akan ancam mereka balik dan menculik anak-anak mereka”.  Dan aku di Jakarta sendiri, harus terus menghadapi puluhan SMS yang mengancam dan alihan telepon dari atasanku ke nomor ku. “Apa yang harus aku lakukan??” pikirku yang kalut.

Aku bersumpah, aku hanya menerima Rp 1.000.000 dari jumlah cek yang aku cairkan di Bank BNI/BRI. Rp 162.000.000 aku tarik tunai Rp 52.000.000. Rp 50.000.000 aku beri tunai kepada kolega Bapak yang merupakan salah satu panitia kongres, Rp 2.000.000 aku masukkan ke dompetku. Dan sisanya aku transfer ke Rekening Mandiri atasanku dan mengantarkan bukti transferannya usai kegiatan itu dan bertemu sambil makan siang.

Sikap tidak “gentle man” atasanku membuatku merasa benar-benar sendiri. Apa yang harus aku lakukan saat mereka mengancamku ke Polda Metro Jaya? Aku tidak peduli dengan diriku, tapi aku takut terhadap hal-hal yang akan membuat mama dan keluarga besarku shock.

Akhirnya sore itu, aku menemui seorang rekan LSM dan menceritakannya semua dan aku memutuskan untuk menemui  Tim Kuasa Hukum Lembaga di Restoran Nona Bola Menteng. Dengan ditemani rekanku yang masih sibuk mencari parkiran mobil, aku melenggang memasuki restoran.

Mereka yang berjumlah 9 orang menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kami (2 orang dari lembaga dan aku) memilih tempat duduk terpisah dari mereka yang telah menungguku. Jabatan tangan dan saling memperkenalkan diri tidak kami lakukan. Dia yang aku kenal sebagai Sekretaris Lembaga yang terus mengirimkan SMS ancaman membuka percakapan saat itu, “Jadi bagaimana ini mbak? Kita bagi sajalah” ujarnya. Dan aku katakan “Maaf...? Apa maksudnya?” Mereka hanya tertawa.

Aku hanya “user” yang disuruh atasanku untuk mengantarkan proposal, memulai komunikasi, dan menerima dana sponsor dari Kementran untuk kegiatan Kongres Lembaga. Dan aku hanya menerima Rp. 1.000.000 yang diperuntukkan untuk transportasiku dari kantorku yang berlantai 23 itu menuju ke Kementrian Sosial. Dan aku siap mengembalikan uang yang aku terima dan membuat kronologis tertulis. Bahkan aku siap jika masalah ini mau diselesaikan ke Polda Metro Jaya dan dinyatakan sebagai tersangka penggelapan dana yang mengatasnamakan Lembaga.

Wajah mereka berubah saat aku berjanji akan memediasikan mereka dengan atasanku. Niat ku tidak disambut baik mereka. Mereka melemparkan Surat dari Kementrian Sosial yang dikirimkan ke kantor Sekretariat Lembaga perihal “Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Kegiatan Kongres” dan mereka pun berlalu pergi.

Aku tersenyum simpul, tapi ini tidak sampai di sini. Aku pun harus membuat laporan Fiktif tentang pelaksanaan Kongres, menandatangani kwitansi dengan tertempel materai 6000 dengan stempel-stempel nama masjid, majlis taklim, dan pondok pesantren yang tidak aku ketahui keberadaannya.

Laporan itu pun aku serahkan ke Staf Dirjen yang wajahnya sudah terlihat benci sekali kepadaku karena dia telah terima omelan atasannya. Apa yang aku lakukan adalah bentuk penyelamatan untuk diriku sendiri, walaupun aku tahu tindakan ini tidak benar. Lain halnya jika ini dilakukan dan dana yang diberikan Kementrian Sosial itu dibagai dua atasanku dengan aku. Aku akan senang hati menyelesaikan dengan baik dan menjadi “user” penuh hingga bola yang ditendang ke gawang dan menghasilkan gol itu tidak akan tampak oleh siapa pun. Siapa yang menikmati, siapa pula yang mengakhiri..

Tapi aku yakin... aku mungkin diberi kesempatan untuk menikmati ceceran receh mereka dan menjadi “bemper” otomatis tiap mereka tidak rapih memainkannya. Lebih baik aku terkena kasus dan tenar dengan puluhan milyar saldo hasil dana korupsi di rekeningku, dibandingkan dengan hal yang aku alami ini. Aku masih tersenyum saat mengingatnya kembali, dan ini hanya satu kejadian dari banyak hal yang aku alami.

R Azhie

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement