Kamis 17 Mar 2016 11:00 WIB

Pretty Woman Bukan Jugun Ianfu

Red:

Memotivasi para wanita untuk menjadi pekerja seks agar dapar meraih kekayaan dalam waktu singkat. Mengharapkan mendapatkan pelanggan seorang pebisnis sukses yang royal menghamburkan uang. Setelah itu, barulah berhenti menjadi 'kupu-kupu' malam.

Itulah salah satu kontroversi film Pretty Woman yang dirilis pada Maret 26 tahun lalu.  Bagi pecinta film di era 90-an, film ini adalah legenda. Dibintangi Richard Gere sebagai Edward, seorang pebisnis yang baik hati dan royal. Julia Roberts sebagai Vivian seorang wanita tuna susila (WTS) yang beruntung.   

Padahal faktanya, sejumlah WTS tidak seberuntung karakter Vivian. Mereka kerap mendapatkan perlakuan kekerasan saat menjajakan diri. Film itu juga mengaburkan realita yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya. Belum lagi bicara tentang penyakit kelamin dan HIV/AIDS yang diderita WTS.

Itulah sinopsis dari film Pretty Woman yang menjadi film legendaris dan bercerita tentang kehidupan WTS. Film komedi romantis. Sebuah pertemuan yang tidak disengaja, bagaikan kisah cinta Cinderella yang berakhir manis seperti di dalam dongeng.

Film 26 tahun lalu itu mengantungi keuntungan sebesar lebih dari 463 juta dolar Amerika dari penayangannya di seluruh dunia. Julia Roberts pun berhasil menjadi bintang film terkenal di Hollywood.

Padahal, film itu dianggap sebagian penonton merendahkan martabat perempuan dan menghalalkan materialisme. Celakanya, para WTS pun bermimpi ingin seperti Vivian dalam film tersebut. Meraih kekayaan dengan cara instan dan akan berhenti menjadi WTS jika menemukan pelanggan seperti Edward. Sudah ganteng, kaya raya, dan royal memberikan harta. 

Budak seks Jepang

Hingga kini, film Pretty Woman selalu dibicarakan dan dirayakan setiap Maret di Amerika Serikat. Ya, film-film tentang kehidupan 'penjaja cinta' selalu menjadi kontroversial, termasuk di Indonesia. Film tentang Jugun Ianfu, misalnya. Kehidupan sejumlah perempuan yang dijadikan budak seks untuk tentara dan polisi Jepang saat penjajahan.

Di Indonesia, pernah dibuat film tersebut, tetapi Departemen Penerangan melarang pemutaran film itu pada sekitar tahun 1972-1973.  Sentimen anti-Jepang mulai merebak saat itu dan pecah pada Januari 1974 melalui peristiwa 15 Januari 1974.

Alasan pelarangan film tersebut adalah saat itu kerja sama ekonomi Pemerintah Indonesia dan Jepang sedang terjalin sangat mesra. Sehingga Pemerintah Orde Baru melarang keras pemutaran film tersebut. Pemerintah Indonesia terkesan sedang bercinta dengan Jepang, kala itu. Cinta tak bertepi.

Bahkan, masalah Jugun Ianfu Indonesia telah dianggap selesai melalui Menteri Sosial, Inten Suweno, yang menerima dana bantuan dari Pemerintah Jepang melalui  Asia Women's Fund  (AWF) yang didirikan pada 1995 oleh Pemerintah Jepang. Tujuannya sebagai upaya menyelesaikan masalah Jugun Ianfu di Asia.

Pemberian dana bantuan antara dua pemerintah ini tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) atau kesepahaman pada 25 maret 1997 yang ditandatangani di Jakarta. Dana yang diberikan sebesar 380 juta yen atau sekitar Rp 7,6 miliar yang diangsur Pemerintah Jepang kepada Pemerintah Indonesia selama 10 tahun. Itu artinya sejak pemerintahan Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurut peneliti Independen Ianfu Indonesia, Eka Hindrati, publik sempat mengetahui jika Pemerintah Indonesia menerima angsuran pertama pada 1997 sebesar 2 juta yen atau sekitar Rp 775 juta yang rencananya untuk membangun lima panti jompo bagi Jugun Ianfu di lima provinsi yang berbeda di Indonesia. Antara lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sumatra Utara.

"Namun kenyataannya, panti jompo atau lanjut usia yang dijanjikan tidak pernah jelas kabar beritanya. Sedangkan para Jugun Ianfu tidak pernah menerima dana bantuan dari Pemerintah Indonesia sepeser pun," kata Eka Hindrati dalam tulisannya tentang nasib Jugun Ianfu di Indonesia.

Belakangan diketahui bahwa AWF merupakan kendaraan politik Pemerintah Jepang, untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap masalah Jugun Ianfu di Asia. Melalui AWF, lanjut Eka, Pemerintah Jepang memecah solidaritas di antara para Jugun Ianfu Asia dengan menawarkan uang 2 juta yen, tanpa permintaan maaf secara resmi kepada Jugun Ianfu dari beberapa negara di Asia secara sembunyi-sembunyi.

Dana AWF berasal dari para pengusaha swasta dan pajak masyarakat yang tidak mengetahui masalah Jugun Ianfu sebagai utang perang Pemerintah Jepang yang belum terselesaikan. Padahal, sebagian besar para Jugun Ianfu Asia menolak dana pemberian AWF tersebut, seperti yang dilakukan oleh Kim Hak Soon dari Korea.

Ia dengan tegas menolak dan menyatakan tersinggung diperlakukan demikian oleh Pemerintah Jepang. Soon menyadari strategi yang dilakukan Pemerintah Jepang ini untuk mengelak dari tanggung jawab atas dosa-dosa perang Asia Pasifik. Beda sikap dan bertolak belakang dengan Indonesia. Bah, ini Indonesia, Bung!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement