Jumat 08 Feb 2013 09:08 WIB

Bagaimanakah Cara Akikah untuk Anak Perempuan?

Rep: Wachidah Handasah/ Red: Endah Hapsari
Akikah (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Akikah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi masyarakat Arab di zaman Nabi, akikah untuk anak perempuan merupakan hal yang sangat baru dan tentu saja mengundang kontroversi. Sebelumnya, jangankan untuk dihormati, keberadaan bayi perempuan merupakan aib keluarga sehingga praktik pembunuhan bayi perempuan menjadi lazim, seperti diisyaratkan dalam Alquran: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah.” (QS al-Nahl [16]: 58).

Dalam buku sejarah klasik bangsa Arab jahiliah yang ditulis oleh Ibnu ‘Atsir berjudul Al-Kamil fi al- Tarikh disebutkan, pembunuhan bayi merupakan strategi mengontrol keseimbangan populasi penduduk dalam masyarakat tribal (kesukuan).

Pembunuhan bayi-bayi perempuan secara selektif dan proporsional menstabilkan penduduk dan mencegah kemerosotan standar hidup mereka. Tak terkecuali dalam masyarakat Arab, terutama pada masyarakat tribal yang hidup di pedalaman, dan daerah di padang pasir gersang jazirah Arab sering ditemukan pembunuhan bayi dengan motif ekonomi. Anak perempuan menjadi alternatif utama untuk dikorbankan mengingat posisinya dalam masyarakat kabilah tidak dianggap makhluk produktif sebagaimana halnya laki-laki.

Menurut Reuben Levy dalam buku The Social Structure of Islam, pembunuhan anak perempuan ketika itu antara lain juga disebabkan karena mereka khawatir nantinya anak perempuan mendatangkan aib, misalnya dengan dikawini orang asing atau orang yang berkedudukan sosial rendah, misalnya budak. Di samping itu, khawatir jika anggota suku nya kalah dalam peperangan yang akan berakibat anggota keluarga perempuan akan menjadi harem-harem atau gundik para musuh.

Ada prinsip di kalangan bangsa Arab yang dituangkan dalam sebuah syair sebagaimana dikutip Reuben Levy: “Kuburan adalah mempelai laki-laki paling baik dan penguburan bayi perempuan adalah tuntutan kehormatan.” “Namun, ketika Islam datang, kelahiran anak perempuan mulai mendapatkan perhatian,” kata Prof Dr Nasaruddin Umar MA dalam bukunya Fikih Wanita untuk Semua.

Bahkan, lanjut Nasaruddin, Rasulullah mendemonstrasikan suatu contoh di dalam masyarakatnya bahwa anak laki-laki atau anak perempuan sama saja. Kalau sebelumnya anak perempuan tidak pernah dirayakan akikahnya, Rasulullah merintis akikah untuk anak perempuan meskipun satu ekor kambing dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki. Sebelumnya, kelahiran anak laki-laki selalu disambut dengan berbagai acara dan upacara (akikah). Sebaliknya, anak perempuan tidak pernah mendapatkan perayaan khusus. Maka setelah Islam datang, status dan martabat perempuan terangkat.

Anak perempuan mendapatkan perlakuan yang sama dengan anak laki-laki, yaitu sama-sama dipestakan. “Jadi, akikah dalam Islam memberikan penghargaan kepada perempuan meskipun pelaksanaannya ketika itu baru sebatas seekor kambing,” kata Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) ini.

Namun untuk konteks sekarang, kambing yang digunakan untuk akikah bisa saja lebih dari dua ekor, baik untuk bayi laki-laki maupun perempuan, sesuai dengan jumlah tamu undangan. “Tidak ada larangan untuk menyembelih kambing lebih dari yang ditetapkan, yakni seekor untuk anak perempuan dan dua ekor untuk anak laki-laki. Batasan itu hanya standar minimal,” ujar Nasaruddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement