Senin 28 Nov 2011 15:05 WIB

Pelajaran Penting Peristiwa Hijrah

Ilustrasi
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi

Oleh: Danns Basayev

Banyak pelajaran penting (ibrah) yang dapat kita ambil dari peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Di antaranya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab diperintahkannya hijrah itu sendiri.

Pentingnya Menjaga Akidah

Sebagaimana kita ketahui, hijrah bukanlah rekreasi atau piknik yang menyenangkan. Hijrah merupakan perjalanan yang teramat sulit dan berat. Banyak hal yang harus dikorbankan dalam berhijrah. Harta, kerabat, keluarga, tanah air, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Satu hal yang terpenting dari semua itu adalah bahwasannya tujuan utama dari hijrah adalah menyelamatkan akidah.

Ketika kondisi suatu negara atau komunitas tertentu tidak memungkinkan untuk menjaga keimanan serta melaksanakan syiar-syiar Islam, maka hijrah menjadi suatu solusi. Hal itu tentunya berlaku jika kondisi umat Islam masih dalam keadaan lemah seperti pada awal masa kenabian di Makkah, di mana agama mayoritas yang mendominasi kota Makkah saat itu adalah agama paganisme (Watsaniyah).

Syariat tentang jihad pun belum turun pada saat itu. Satu-satunya solusi terbaik untuk mengatasi masalah seperti itu adalah dengan berhijrah dan bergabung bersama komunitas muslim yang memiliki visi dan misi yang sama demi menegakkan agama Allah. Adapun ketika kondisi umat Islam telah menjadi kuat seperti pada era Madinah, maka syariat jihad pun harus dilaksanakan demi membentengi dakwah Islam yang harus disampaikan kepada seluruh umat manusia.

Menjaga akidah merupakan suatu kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Tak adanya tempat yang dapat digunakan untuk melaksanakan Syariat Islam bukanlah alasan untuk tidak berhijrah, karena Allah SWT sendiri mengingatkan kita bahwa bumi-Nya teramat luas. (QS An Nisa: 97).

Peran Mush’ab bin Umair

Satu pelajaran penting lainnya yang dapat kita ambil dari peristiwa hijrah adalah peran penting yang dimainkan oleh salah seorang sahabat bernama Mush’ab bin Umair dalam menyiapkan kondisi kota Madinah sebagai tempat yang kondusif untuk ladang hijrah.

Dia yang berperan sebagai Duta Besar yang dikirim oleh Rasulullah SAW telah berhasil menyebarkan dakwah Islam ke seantero kota Madinah, sehingga tak tersisa satu rumah pun yang tidak tersentuh dakwah Islam. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap masa depan Islam pada tahap selanjutnya.

Bahkan dakwah yang beliau lakukan tidak hanya terbatas pada kaum proletar, namun lebih dari itu para pemuka masyarakat yang selanjutnya menjadi pembesar golongan Anshar (penolong), pun telah memeluk Islam berkat dakwah beliau.

Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair yang saat itu menjabat sebagai kepala suku telah tertarik dengan dakwah yang dilakukan oleh Mush’ab bin Umair. Kota Madinah yang sebelumnya dilanda konflik internal yang berdarah dan berkepanjangan antara suku Aus dan Khazraj berubah drastis semenjak kedatangan utusan Rasulullah SAW tersebut.

Relevansi Hijrah dalam Konteks Kekinian

Sudah menjadi kewajiban bagi kita umat Islam untuk menjaga dan mempertahankan akidah kita dari pengaruh-pengaruh luar yang membahayakan. Berbagai macam slogan ideologi yang dewasa ini banyak digembor-gemborkan oleh sebagian kalangan patut mendapatkan perhatian serius. Umat Islam sudah selayaknya memiliki filter yang dapat menyaring, memilah dan membedakan mana hal-hal yang sesuai dengan akidah Islam dan mana yang tidak.

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam saat ini sedang diinvasi dalam berbagai aspek, baik secara militer, ekonomi, politik, budaya dan pendidikan. Belum kering ingatan kita tentang tragedi yang menimpa saudara-saudara kita di Palestina, Irak, Afghanistan, Chechnya, Kashmir dan beberapa negara muslim lainnya yang dilanda perang.

Dari aspek ekonomi, akibat embargo yang berkepanjangan terhadap beberapa negara muslim yang diaggap ‘membangkang’ telah menjadikan ratusan bahkan ribuan anak-anak mati kelaparan sebagaiman terjadi di Irak. Banyaknya hutang yang melilit bangsa kita pun akhirnya menjadikan beberapa kebijakan pemerintah, baik dalam negeri maupun luar negeri, mendapatkan intervensi asing.

Dalam dunia intelektual, musibah yang menimpa sebagian cendekiawan Muslim negeri kita telah memberikan indikasi betapa pentingnya memahami Islam secara benar sesuai petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan sesuai pesanan Barat demi mencairkan dana dari LSM-LSM asing yang menyokong aktivitas-aktivitas yang mendukung kepentingan mereka.

Perang yang dilancarkan oleh Barat terhadap Islam tak dapat lagi ditutup-tutupi. Meskipun dengan dalih membasmi terorisme, menerapkan demokrasi, menjunjung hak asasi manusia dan seribu alasan lainnya, aroma konspirasi itu akan tetap tercium juga. Yang paling membahayakan dari semua itu adalah perang yang dilancarkan pada tataran pemikiran atau sering dikenal dengan istilah Ghawul Fikri atau pertarungan ideologi yang semakin hari semakin marak. Jika invasi militer dapat membunuh manusia dan merusak infrastruktur bangunan secara fisik, maka invasi pemikiran akan membunuh akidah dan merusak cara berpikir seseorang.

Dari sinilah kita melihat perlunya proses imunisasi dari segala macam wabah penyakit yang menyerang pemikiran umat Islam. Kita harus segera berhijrah dari segala macam kekangan ideologi-ideologi neo-“Jahiliyah Kontemporer” yang seringkali berlindung di balik topeng demokrasi, liberalisme, pluralisme dan sejenisnya.

Sudah saatnya umat Islam kembali kepada pedoman hidup mereka yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah sehingga tak perlu lagi mencari-cari pedoman hidup lainnya. Tak hanya itu, cara memahami dan menginterpretasikan teks-teks keagamaan (An Nushush Asy Syar’iyyah) yang menjadi bahan bangunan agama kita pun perlu diperhatikan sehingga metode-metode yang kita lakukan harus sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh para Ulama terdahulu (As Salaf Ash Shalih), dengan tujuan agar kita dapat terhindar dari kegelinciran cara berpikir dalam memahami agama kita sendiri.

Dalam tataran budaya, kita banyak menyaksikan perilaku remaja-remaja muslim di zaman sekarang yang mulai cenderung mengikuti pola hidup Barat. Mulai dari gaya berpakaian, potongan rambut, cara berbicara, bersikap dan bergaul mulai banyak yang jauh dari akhlak-akhlak Islam. Segala macam tingkah laku dan gaya hidup hedonis dan permisif mulai menjadi ciri khas anak muda zaman sekarang. Hal ini tentu patut mendapatkan perhatian serius karena menyangkut masa depan bangsa kita. Apa jadinya jika bangsa kita ke depannya dipimpin oleh generasi-generasi yang miskin mental dan berjiwa ‘penjiplak’?

Tentu kita semua mengharapkan bangkitnya generasi-generasi Islam yang akan memperbaiki bangsa kita yang saat ini sedang dilanda krisis multidimensi. Kita tidak menginginkan musibah-musibah yang telah ditimpakan atas umat-umat terdahulu menimpa kepada bangsa kita dikarenakan ulah para penerus bangsa kita yang tidak lagi mengindahkan aturan-aturan Tuhan.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita membentengi diri kita sendiri serta keluarga dan kerabat kita dari pengaruh-pengaruh budaya luar yang banyak menyimpang. Jika Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya mampu melakukan hijrah secara fisik demi menyelamatkan keimanan mereka, maka sudah selayaknya kita lebih mampu melakukan hijrah yang bersifat abstrak (maknawi) dari kejahiliyahan-kejahiliyahan modern menuju kemurnian ajaran Islam yang akan terus bertahan sampai Akhir Zaman.

sumber : Diskusi 1 Muharram 1430 H di aula KBRI Damaskus-Suriah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement