Ahad 03 Dec 2017 21:22 WIB

Masyarakat tak Perlu Takut Efek Vaksin Difteri

Rep: Adysha Citra R/ Red: Indira Rezkisari
Difteri menular melalui percikan ludah saat penderita batuk atau bersin, pemakaian barang-barang yang telah terkontaminasi bakterinya, atau sentuhan langsung dengan luka borok difteri.
Foto: dok Republika
Difteri menular melalui percikan ludah saat penderita batuk atau bersin, pemakaian barang-barang yang telah terkontaminasi bakterinya, atau sentuhan langsung dengan luka borok difteri.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Penyakit difteri kembali menjadi sorotan setelah Kementerian Kesehatan RI menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di 19 provinsi. Untuk mengatasi situasi ini, Kementerian Kesehatan RI secepatnya akan melaksanakan outbreak response immunization (ORI).

 

"Kalau ada yang seperti itu (KLB), kita jangan menolak (program ORI)," terang staf Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak / Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM dr Yogi Prawira SpA kepada Republika.co.id saat dihubungi pada Ahad (3/12).

 

Prinsip ORI pada dasarnya adalah mencapai cakupan imunisasi DPT sebanyak-banyaknya. Hal ini penting dilakukan karena kekebalan kelompok atau herd immunity untuk difteri baru bisa tercapai jika cakupan imunisasi minimal 90-95 persen. Melalui ORI, semua anak di daerah dengan status KLB difteri akan diberikan vaksin DPT tanpa melihat status imunisasi anak yang bersangkutan. Dengan kata lain, anak-anak yang sudah mendapatkan vaksinasi dasar dan ulangan yang lengkap tetap akan mendapatkan kembali vaksin DPT.

 

"Tidak apa-apa, diberikan saja. Tidak usah khawatir karena efek samping dari vaksinnya itu minimal," sambung Yogi yang juga menjadi dokter di Siloam Hospitals ini.

 

Yogi mengatakan efek samping yang mungkin muncul akibat vaksin DPT adalah demam. Biasanya demam hanya terjadi selama 1-2 hari. Efek samping ini jauh lebih ringan jika dibandingkan bahaya penyakit difteri yang bisa sampai menyebabkan kematian.

 

Efektivitas vaksin DPT juga semakin baik jika anak mendapatkan ulangan yang lebih lengkap. Efektivitas vaksin pada anak yang mendapatkan minimal tiga dosis atau lebih adalah 96,9 persen. Sedangkan efektivitas vaksin pada anak yang mendapatkan lima dosis atau lebih adalah 99 persen menurut WHO. "Satu kali vaksin satu dosis," jelas Yogi.

 

Berdasarkan jadwal terbaru, imunisasi DPT pertama dilakukan pada usia dua bulan, imunisasi DPT kedua dilakukan pada usia tiga bulan dan imunisasi DPT ketiga diberikan pada usia empat bulan. Imunisasi DPT keempat diberikan pada usia 18 bulan. Imunisasi ulangan dilakukan pada usia lima tahun. Llau pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS), vaksin DPT kembali diberikan pada kelas 1 dan 2 SD. Pengulangan kembali dilakukan pada kelas 3 atau 5 SD.

 

"(Untuk orang tua) dicek betul-betul apakah imunisasi dasar dan ulangan (anaknya) sudah lengkap. Kalau belum lengkap segera dilengkapi," kata Yogi.

 

Selain anak-anak, orang dewasa juga perlu mengulang imunisasi untuk penyakit difteri. Meski anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap difteri, penyakit ini juga bisa menyerang kelompok usia dewasa. Mortalitas penyakit difteri bahkan lebih tinggi pada kelompok usia di atas 40 tahun.

 

"Untuk orang dewasa ada pilihan vaksinnya berbeda sama anak-anak," terang Yogi.

 

Penanganan pasien difteri akan sangat bergantung pada tingkat keparahan masing-masing pasien. Namun, secara umum pasien difteri harus dirawat di ruang isolasi khusus dengan tekanan negatif agar tidak menular. Pasien juga harus menjalani tirah baring selama 2-3 minggu. Pasien difteri juga perlu mendapatkan anti difteri serum dan antibiotik selama 14 hari.

 

"Beberapa kasus (sumbatan jalan napas) yang memang harus dirawat di ICU, dibuat lubang di tenggorokannya, jadi dikasih jalan biar udara bisa lewat, namanya trakeostomi," jawab dokter yang juga berpraktik di RS Siloam TB Simatupang ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement