Kamis 20 Jul 2017 14:33 WIB

Jawaban MUI untuk Dua Kelompok Antiimunisasi

Rep: Adysha Citra R/ Red: Indira Rezkisari
Bayi mendapatkan vaksin polio saat imunisasi di Puskesmas Kecamatan Sawah Besar, Jakarta, Selasa (28/6).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Bayi mendapatkan vaksin polio saat imunisasi di Puskesmas Kecamatan Sawah Besar, Jakarta, Selasa (28/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imunisasi tak jarang mendapatkan penolakan dari beberapa kelompok masyarakat dengan alasan beragam. Terkait penolakan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, secara umum orang-orang yang menentang imunisasi bisa dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama merupakan orang-orang yang menolak konsep imunisasi.

"Karena dianggap Yahudi, bagian dari konspirasi atau bagian dari ketidakpasrahan atas kehendak Allah," jelas Asrorun dalam sosialisasi Kampanye Imunisasi Measles Rubella (MR) di gedung Kementerian Kesehatan RI, Rabu (19/7).

Sedangkan kelompok kedua merupakan orang-orang yang menolak imunisasi karena status kehalalan vaksin. Mereka menolak vaksin karena sebagian vaksin menggunakan unsur-unsur yang diharamkan seperti babi.

Untuk kelompok pertama, Asrorun mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang memberikan penghormatan tinggi terhadap eksistensi jiwa. Bentuk penghormatan pada eksistensi jiwa ini tercermin dalam berbagai ikhtiar atau upaya yang bisa dilakukan demi menjaga kondisi kesehatan baik secara preventif, promotif, kuratif hingga rehabilitatif.

"Gosok gigi, minum dan makan yang bergizi, menjaga keseimbangan istirahat, itu salah satu yang penting untuk menjaga eksistensi jiwa," sambung Asrorun.

Imunisasi, tambah Asrorun, termasuk ke dalam langkah preventif untuk menjaga kesehatan dan eksistensi jiwa. Tanpa imunisasi, risiko terhadap hal-hal yang membahayakan jiwa justru akan meningkat. Sebagai contoh, beberapa risiko yang mungkin dihadapi jika tak mendapat vaksin MR adalah penurunan kecerdasan, kecacatan permanen hingga kematian.

"(Jika sudah tahu risiko tidak imunisasi) Kemudian dia diam atau berlaku sebaliknya (mengajak orang lain tidak imunisasi), kemudian dia atau orang lain kena penyakit tersebut. Maka dosanya bertumpuk karena dia sebabkan orang lain sakit juga," ungkap Asrorun.

Asrorun juga menggarisbawahi bahwa Rasulullah SAW pun mengajarkan agar ummat tidak hanya pasrah terhadap nasib. Rasulullah SAW mendorong agar umat Islam juga melakukan ikhtiar dalam segala hal, termasuk melindungi diri dari penyakit.

Sedangkan bagi kelompok kedua yang meragukan kehalalan vaksin, MUI telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 04 Tahun 2016. Dalam fatwa tersebut ada enam poin yang diharapkan bisa mencerahkan masyarakat yang ragu terhadap imunisasi karena faktor kehalalan vaksin.

Poin pertama dalam fatwa tersebut mengungkapkan bahwa Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. Asrorun mencontohkan vaksin MR sudah dibolehkan masuk ke Indonesia sejak 1980-an karena memang imunisasi bersifat mubah dalam kondisi normal atau tidak ada wabah.

Poin kedua menggarisbawahi bahwa vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci. Di mana poin ketiga menyebutkan bahwa penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis hukumnya haram.

Di sisi lain, poin keempat menunjukkan adanya pengecualian terkait penggunaan vaksin yang haram dan atau najis. Menurut poin keempat, vaksin yang haram dan atau najis boleh digunakan dalam tiga kondisi.

Salah satu dari ketiga kondisi tersebut adalah kondisi darurat. Kedua, vaksin haram dan atau najis boleh digunakan jika belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci. Ketiga, vaksin yang haram dan atau najis boleh digunakan jika ada keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.

"Keterangan ini harus dari ahli yang kompeten dan terpercaya tanpa ada kecurigaan bisnis. Yang memiliki kredibilitas," kata Asrorun.

Poin kelima mengungkapkan bahwa imunisasi berubah hukumnya menjadi wajib jika seseorang yang tidak divaksin akan mengalami penyakit berat, kecacatan permanen maupun kematian yang mengancam jiwa. Kondisi ini juga harus berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya.

Sedangkan poin keenam menunjukkan bahwa dalam kondisi khusus imunisasi tidak boleh dilakukan. Kondisi khusus yang dimaksud adalah kondisi di mana imunisasi justru dapat menimbulkan dampak yang berbahaya menurut pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya.

Asrorun mengatakan beberapa imunisasi memang memiliki risiko efek samping seperti ruam ataupun demam ringan. Akan tetapi, risiko tersebut jauh lebih rendah dibandingkan risiko melewatkan imunisasi yang dapat berakibat pada kecacatan permanen hingga kematian yang membahayakan jiwa.

"Apabila bertemu dua bahaya, risiko yang besar (akibat penyakit) harus diminimalisasi sekalipun dengan cara menempuh risiko kecil (dari imunisasi)," kata Asrorun.

Tak hanya itu, MUI juga secara aktif akan melakukan sertifikasi halal terhadap beragam vaksin yang digunakan di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat Muslim tak perlu lagi ragu mengenai kehalalan vaksin yang digunakan.

"Tidak perlu mendebat mereka (yang anti imunisasi). Cukup secara aktif menjamin kehalalan dengan cara sertifikasi halal," ujar Asrorun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement