Senin 21 Mar 2016 08:01 WIB

21 Maret Hari Peringatan Sindroma Down Sedunia

Rep: Reiny Dwinanda/ Red: Indira Rezkisari
Anak-anak sindroma down sedang bermain alat musik.
Foto: dok Republika
Anak-anak sindroma down sedang bermain alat musik.

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap tanggal 21 Maret dunia merayakan hari down syndrome atau sindroma down. Pada hari ini masyarakat diajak untuk memahami penderita sindroma ini, sekaligus memberi penghargaan pada orang tua, dokter, terapis, hingga anak-anak yang sehari-hari bergeliat dengan sindroma down.

Penyandang sindroma down hidup dengan keterbatasan intelektual, masalah perilaku, dan sosialisasi. Kendala itulah yang menjadi penyulit utama mereka dalam menatap masa depan.

Banyak orang tua yang menganggap latihan yang sudah terprogram secara ilmiah terlalu memakan waktu dan lamban kelihatan hasilnya. Terhadap pandangan tersebut, psikolog Dr Lucia Royanto MSi, MSpEd mengingatkan agar orang tua tidak tergoda dengan segala yang instan dalam pengasuhan anak sindroma down. “Logikanya, tiap pencapaian bisa diraih setelah mengikuti urut-urutan tahap perkembangan.”

Senam otak, misalnya. Lucia menganggap pelatihan ini tak jauh berbeda dengan terapi yang dirumuskan secara ilmiah. “Silakan saja diikuti namun jangan tergiur dengan iming-iming keuntungannya untuk kemampuan otak anak sindroma down,” cetusnya.

Penyandang sindroma down diketahui mengalami retardasi mental antara ringan hingga sedang. Kisaran IQ-nya 30 sampai 69. “Rata-rata IQ-nya 60 sampai 69,” kata psikolog pendidikan ini.

Dengan karakteristik seperti itu, penyandang sindroma down memerlukan pelatihan yang berulang bahkan untuk mengerjakan sesuatu yang sederhana. Kenyataan itu sekaligus menunjukkan potensi mereka. “Anak-anak nantinya bisa memiliki keunggulan di bidang pekerjaan yang sederhana dan berulang,” ucap Lucia.

Fakta itu tidak muncul untuk membuat orang tua berkecil hati. Sebaliknya, ayah dan bunda justru diajak untuk objektif terhadap kondisi anak. “Dengan sungguh-sungguh mendidiknya, anak akan berkembang optimal meski ia berbeda dengan anak reguler,” tegas Lucia.

Target orang tua, lanjut Lucia, semestinya juga berujung pada kebahagiaan anak. Dia harus menjadi pribadi yang memiliki harga diri, mandiri, mempunyai keterampilan fungsional dan sosial, serta tidak membebani masyarakat. “Kelak ketika usia dewasa, ia dapat bekerja di bidang yang sederhana agar dapat bermanfaat dan bermasyarakat.”

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement