Jumat 18 Apr 2014 04:21 WIB

Apoteker Belum Dilibatkan Optimal pada JKN

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Julkifli Marbun
Seorang apoteker tengah menata obat obatan yang tersedia di apotik dalam Rumah Sehat Masjid Agung Sunda Kelapa, jakarta, Senin (2/4). (Republika/Agung Supriyanto)
Seorang apoteker tengah menata obat obatan yang tersedia di apotik dalam Rumah Sehat Masjid Agung Sunda Kelapa, jakarta, Senin (2/4). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penggunaan obat berkualitas pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak perlu diragukan. Namun, tetap harus ada pengawasan agar tidak berpengaruh pada kualitas pelayanan. Peran apoteker, seharusnya menjadi ujung tombak dalam menjaga layanan. Namun, hingga kini tenaga apoteker belum dilibatkan secara optimal pada program JKN.

"Hingga kini, tenaga apoteker belum dilibatkan secara optimal di fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama. Seperti Puskesmas, klinik, dan dokter praktek swasta," ujar Dewan Penasihat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Mohamad Dani Pratomo, pada Pers Rilis yang diterima Republika, Kamis (17/4).

Menurut Dani, secara normatif obat-obat yang beredar harus mengantongi Surat Izin Edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengawasan tersebut, tentunya harus  didukung oleh peran apoteker yang menjadi ujung tombak. 

 

Dani menilai, adanya keluhan pasien yang menerima obat tak berkualitas, sebenarnya tidak terlalu tepat. Keluhan itu muncul, hanya karena faktor kebiasaan saja. Karena, dulu sebelum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) beroperasi,  pasien bisa ditawari obat generik atau obat paten.

"Sekarang, di era JKN, obat yang diberikan obat generik. Tetapi, ini tak masalah karena memiliki kualitas yang sama. Jadi, itu hanya faktor psikologis saja," katanya.

Memang, menurut Dani, tidak mungkin pasien akan diberikan obat yang tidak berkualitas. BPJS-K juga, harus melakukan efisiensi. Salah satunya, dengan memberikan obat berkualitas. Karena kalau pasien diberikan obat yang tidak berkualitas jelas akan berefek pada lamanya masa penyembuhan. Artinya, pengobatan tidak efisien dan ini akan berpengaruh pada pelayanan kepada pasien.

Dikatakan Dani, munculnya 'keluhan' itu sesuatu yang wajar mengingat BPJS-K baru beroperasi dalam hitungan bulan. Meski begitu, 'kewajaran' ini tetap terus dievaluasi. Jika belum ada perubahan, berarti ada sistem yang tidak berjalan, yang akan berpengaruh pada kualitas pelayanan.

"Salah satunya, mungkin karena peran apoteker yang belum dilibatkan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional," katanya.

Apoteker, kata dia, berfungsi untuk memastikan obat yang diresepkan dokter rasional dan memastikan pasien memahami penggunaannya secara tepat.

Sementara JKN, lebih menekankan kepada layanan medis oleh dokter, yaitu memeriksa, menegakkan diagnosa, menuliskan resep, lalu diserahkan ke apoteker.

“Jadi apoteker tidak dihitung dalam sistem biaya JKN, lebih sebagai penjual obat, karena kami diberi jasa berdasarkan harga obat,” katanya.

Maka tak heran, kata dia, jika apoteker banyak yang tidak 'percaya diri'. Kepercayaan dirinya tak terbentuk karena banyak yang tidak mempraktikkan dirinya sebagai apoteker. Selain itu, banyak yang tidak pernah praktik dan belajar. “Jadi, ketika ada obat tidak bereaksi pada pasien, apoteker harusnya mencari penyebabnya. Lalu mencoba membuat obat yang lebih baik dengan terus mencoba,” katanya.

Apoteker juga, kata dia,  nyaris tak pernah melaksanakan SOP sebagai pemberi informasi. Misalnya, ada pasien yang menderita batuk, lalu membeli obat, apoteker harus menanyakan keluhan sakitnya agar obat yang diberikan tepat. Jika ada pasien minta obat lain, apoteker harus menjelaskan efek obat itu, khasiatnya bagaimana, dan lain-lain.

"Misalnya, membeli vitamin C, harus diinformasikan, minum vitamin yang larut dalam air, itu harus dalam keadaan perut kosong. Selama ini kan penyampaian informasi tidak dilakukan,” katanya.

Menurut Dani, hal tersebut jelas merugikan pasien. Kualitas hidup pasien jadi tidak meningkat. Terlebih sebanyak 50 persen obat dikonsumsi secara irasional. Ini, sama saja biaya pengobatan sebesar Rp25 miliar terbuang sia-sia. “Ini sama saja apoteker tidak bertanggung jawab. Tidak sejalan dengan Pasal 24 UU Kefarmasian (PP 51 tahun 2009),” katanya.

Deni mengatakan, meski apoteker tidak punya kewenangan mendiagnosa penyakit, pelayanan informasi penting dilakukan apoteker untuk memastikan obat tersebut sesuai yang dibutuhkan.

Karenanya ke depan, Deni berharap, jika premi peserta sudah keekonomian, agar ada kolaborasi praktek antara tenaga kesehatan, yaitu mulai dari dokter, perawat, apoteker, hingga bidan. Kolaborasi ini, harus dihargai secara proporsional melalui penetapan kapitasi parsial. Yait,u dokter menerima kapitasi untuk jasa medis, apoteker untuk obat dan layanan kefarmasian, dan perawat serta bidan untuk asuhan keperawatan.

Sementara menurut Executive Director International Pharmaceutical Manufacturers Association (IPMG), Parulian Simanjuntak, melalui sistim e-katalog, peran harga sangat menentukan bahkan pemerintah mungkin menomorduakan kualitas. Namun, dengan mengikutsertakan peran apoteker sesuai dengan PP 51, maka kualitas obat-obatan yang diberikan melalui program JKN akan lebih terjamin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement