Selasa 18 Mar 2014 11:14 WIB

Hati-Hati, Gadget Bisa Memicu Stroke

Rep: Indah Wulandari/ Red: Indira Rezkisari
Singkirkan gadget dan luangkan waktu berkulitas demi mencapai keharmonisan keluarga.
Foto: Prayogi/Republika
Singkirkan gadget dan luangkan waktu berkulitas demi mencapai keharmonisan keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, Stroke menjadi bentuk serangan vaskuler pada tubuh yang tak kenal usia. Gaya hidup yang banyak berkutat dengan perangkat teknologi informasi (TI) diduga menjadi salah satu pemicunya.

“Remaja yang sangat aktif menggunakan jari-jarinya untuk bermain HP atau gadget berpotensi mengalami penyumbatan dan pecahnya pembuluh darah karena kurangnya aktivitas produktif,” kata pengajar Program Okupasi Terapi Vokasi Universitas Indonesia Hermito Gideon.

Selain menyandarkan pada penelitian para ilmuwan Universitas Exeter, AS, pada 2011 yang mengamati sekitar delapan juta pengguna gadget, Gideon mengaku pernah menangani seorang pelajar SMA kelas satu yang terkena stroke. Si pasien yang diterapinya merupakan pengguna aktif ponsel pintar yang mendapat serangan stroke mendadak.

Pembuluh darah pasiennya pecah setelah berjam-jam berkutat bermain gim di ponselnya. Walhasil, remaja tersebut tak bisa berjalan dan melakukan aktivitas motorik lainnya.

Penelitian Exeter menemukan efek mengejutkan pada otak pada para pengguna gadget bisa timbul karena reaksi dari logam yang sangat aktif dalam sebagian besar barang elektronik, yaitu tungsten. Dijabarkan lagi bahwa terjadi peningkatan tungsten dalam tubuh yang bisa menyebabkan risiko stroke.

“Stroke adalah akibat fatal dari kasus hipertensi yang tidak segera ditangani,” ujar guru besar di Departemen Penyakit Dalam FKUI Prof Dr dr Suhardjono SpPD KGH Kger.

Namun, ia tak bisa menyimpulkan hubungan langsung penggunaan gadget dengan serangan stroke.

Hanya, kegiatan berlama-lama dengan gadget canggih diakuinya bisa membuat pengguna malas bergerak dan berkonsentrasi di satu titik tubuh saja.

“Hipertensi banyak yang tak bergejala, banyak yang mengarah ke komplikasi, seperti stroke, gagal jantung, dan gagal ginjal. Jadi, jangan menyalahkan dulu mediatornya, tapi pola hidup seseorang yang harus diubah,” papar Suhardjono.

Makin meningkat usia seseorang, prevalensi hipertensi juga kian tinggi. Suhardjono menyodorkan usia antara 55 tahun dan 64 tahun sebanyak 45,9 persen didiagnosis hipertensi. Sedangkan, di level usia lebih dari 75 tahun sebanyak 63,8 persen.

Pada intinya, pengobatan hipertensi berkaitan dengan penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular, stroke, dan ginjal. Caranya, dengan mengendalikan semua faktor risiko kardiovaskular, seperti menjaga tekanan darah hingga <140/90 mmHg.

“Kami mengimbau agar masyarakat melakukan pencegahan penyakit ini dengan cara menerapkan pola hidup sehat,” jelas profesor ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement