Selasa 20 Dec 2011 19:27 WIB

Kisah Relawan di Mentawai (4-habis): Menuju Kampung Silaoinan

Pemberian layanan kesehatan di sebuah balai desa di Silaoinan.
Foto: Foto-foto: Dok. Mer-C
Pemberian layanan kesehatan di sebuah balai desa di Silaoinan.

Hari itu kami Tim MER-C untuk Misi Kemanusiaan bagi korban gempa bumi dan tsunami di Mentawai mendapat giliran menghadiri rapat yang dipimpin oleh Dinas Kesehatan setempat. Di sini kami bertemu dengan sebuah NGO asal Malaysia, yaitu MERCY Malaysia.

Nama NGO ini sepintas mirip dengan MER-C tapi sebenarnya tidak ada hubungan khusus karena MER-C adalah NGO asli Indonesia yang diprakarsasi oleh mahasiswa FK UI pada tahun 1999. MER-C adalah LSM independen, tidak berada di bawah pemerintah, partai, maupun LSM/Lembaga Asing.

Rapat yang digelar oleh Dinas Kesehatan diadakan untuk membahas bagaimana cara tercepat menjangkau daerah terparah dan memberikan pelayanan kesehatan di sana. Namun tiba-tiba program berubah seketika setelah terdengar kabar dari rekan-rekan RAPI bahwa terjadi cuaca ekstrim di sekitar perairan laut Barat kepulauan Mentawai. Dengan berat hati, hasil keputusan rapat pun kami tunda untuk sementara waktu hingga cuaca kembali normal.

Di tengah perjalanan kembali ke posko MER-C yang berada di Sikakap, kami bertemu dengan salah seorang pemuka masyarakat dari sebuah desa yang bernama desa Silaoinan. Ia ternyata memang sengaja datang dari desanya ke kecamatan Sikakap khusus untuk meminta bantuan.

Kami pun memutuskan untuk mengunjungi desa Silaoinan. Kali ini perjalanan mobile clinic kami lakukan bersama NGO dari Malaysia yang kami temui saat rapat tadi. Perjalanan pun di mulai. Setelah  menempuh 15 menit perjalanan laut menggunakan kapal yang disewa oleh NGO Malaysia, kami sampai di sebuah muara sungai. Kami harus melewati sungai ini untuk mencapai desa Silaoinan. Perjalanan tak bisa dilanjutkan dengan kapal yang kami pakai saat ini. Butuh speed boat atau long boat untuk menjangkau masuk melalui muara sungai tersebut.

Kekhawatiran kami hilang seiring dengan munculnya sebuah long boat yang terbuat dari fiber melaju di hadapan kami, yang ternyata memang telah di persiapkan oleh ABK kapal jauh hari sebelum mereka berlayar.

Baru satu jam kami menyusuri sungai yang menurut warga setempat terkenal dengan buaya yang berkeliaran --dengan diiringi canda, cerita dan rasa cemas-- tiba-tiba kami semua dikagetkan dengan sebuah suara benturan. Awalnya kami kira menabrak seekor buaya, tapi ternyata sebuah pohon yang tumbang melintang tepat di tengah-tengah arus sungai. Air sungai mengalir cukup deras dan tingi pada waktu itu. Hendak turun ke sungai tapi kami takut disambar buaya. Namun, kalau kami tidak turun, bisa-bisa perahu terbalik dan berakibat fatal. Kami pun mencoba mengukur dulu kedalaman air dengan menggunakan dayung, tapi dayung kami hanya bisa melayang jauh di atas dasar sungai air. ”Dalam kawan!” ucap salah seorang teman.

Dengan rasa cemas kami pun turun menapaki pohon yang tumbang tadi sambil menjaga keseimbangan masing-masing. Dengan bertumpu di atas pohon tersebut, kami berusaha mengangkat perahu melewati pohon tumbang melawan derasnya aliran air. Syukur Alhamdulillah kami berhasil melalui rintangan tersebut.

Lebatnya pepohonan dan akar pohon yang panjang mengiringi sepanjang perjalanan sampai akhirnya kami tiba di sebuah desa yang ternyata cukup padat oleh rumah-rumah panggung yang terlihat masih kokoh. Di sebuah balai pertemuan desa, kami membuka pelayanan kesehatan. Cukup banyak warga yang kami tangani saat itu.

Ada hal aneh yang kami temukan di sini. Ternyata banyak dari masyarakat setempat yang tidak paham dengan bahasa nasionalnya, yaitu bahasa Indonesia. Anehnya lagi, ketika kami tanya mereka dengan bahasa Inggris, dengan begitu mudah dan fasihnya mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan. Ironis sekali. Apa sebenarnya yang terjadi di sini?

Untuk menjawab rasa penasaran, aku pun bertanya kepada pemuka masyarakat tadi. Ternyata menurutnya, di sekolah-sekolah mereka memang tidak diwajibkan memakai bahasa Indonesia. Selain itu, setiap satu tahun sekali mereka semua kedatangan utusan atau pastour yang sengaja didatangkan dari Roma, tepatnya dari Gereja Vatikan Roma Italia, untuk menyalurkan bantuan baik moril maupun materil yang telah ditentukan bagi masing-masing keluarga yang telah memeluk agama yang mereka sebarkan.

Khoirul Mustafa

Relawan Non Medis MER-C

Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas relawan AlamSemesta.

AlamSemesta Institute didukung oleh Mer-C dan Wanadri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement