Selasa 13 Dec 2011 08:54 WIB

Kisah Relawan di Mentawai (1): Panggilan dari Mentawai

Tim relawan Mer-C ke Mentawai, Oktober 2010.
Foto: Foto-foto: Mer-C
Tim relawan Mer-C ke Mentawai, Oktober 2010.

Malam itu, Senin 25 Oktober 2010, sekitar pukul 22.00 WIB, kami dikejutkan dengan sebuah getaran yang cukup kuat yang mengguncang kota. Namun kami tak tahu pasti dimana pusat getaran terjadi. Tak lama, tersiar berita bahwa telah terjadi gempa bumi sebesar 7,7 skala Richter yang diikuti dengan gelombang tsunami di Kepulauan Mentawai, tepatnya di wilayah Pantai Barat Pagai Utara – Selatan Kepulauan Mentawai.

Saat itu saya sedang bertugas di Klinik Sosial MER-C di wilayah Padang Pariaman, Sumatera Barat. Getaran gempa yang terjadi di Mentawai cukup terasa hingga Padang Pariaman. Setelah berkoordinasi, MER-C Pusat Jakarta pun segera menginstruksikan kami untuk berangkat ke Mentawai. Tim pertama terdiri dari 3 relawan yaitu 2 dokter dan saya sendiri sebagai relawan nonmedis yang bertugas di bagian administrasi dan logistik.

Minimnya informasi tentang kondisi daerah dan akses yang begitu sulit menjadi kendala utama bagi setiap relawan. Hal ini di perparah dengan birokrasi kita yang terkenal ribet dan njelimet sehingga penanganan atas suatu bencana yang melanda negeri kita acapkali lamban.

Hal inilah yang kami rasakan ketika kami, 3 relawan MER-C, tiba di Kepulauan Mentawai pada hari Kamis 28 Oktober 2010. Setelah melalui perjalanan yang panjang dan transportasi yang ditunda-tunda keberangkatannya dengan alasan yang kurang jelas akhirnya kami bisa menginjakkan kaki di Sikakap yang memang biasa menjadi tempat persinggahan dan pelabuhan kapal-kapal di Mentawai.

Kedatangan kami disambut dengan ramahnya cuaca, namun tidak seramah petugas pemerintah daerah setempat. Kami hanya bisa berbaik sangka dengan keadaan tersebut. Petugas kemudian mendata setiap relawan yang masuk, lagi-lagi dengan ekspresi cemberut. Semua relawan akhirnya dikumpulkan di sebuah Aula Madrasah Tsanawiyah demi membahas langkah-langkah penanganan korban dan menyampaikan jumlah kekuatan masing-masing relawan.

Setelah ber jam-jam melakukan koordinasi, satu hal yang hanya dapat kami ambil kesimpulan yaitu mereka hanya sibuk bagaimana mendistribusikan barang bantuan, mereka tidak memikirkan bagaimana cara cepat untuk sampai di lokasi bencana demi menolong korban yang masih hidup atau bahkan sekarat. Hal itu diperparah dengan sibuknya mereka (pemerintah daerah setempat) mempersiapkan segala sesuatunya demi menyambut kedatangan orang nomor satu Indonesia, Bapak Presiden SBY.

Dengan rasa yang kurang puas dan menyesal akhirnya kami keluar rapat dengan hasil yang bisa dibilang nihil. Kami bertiga pun mencoba untuk mencari sumber-sumber informasi lainnya yang dapat memudahkan kami melangkah. Sahabat RAPI (Radio Amatir Penduduk Indonesia) menjadi rujukan kami yang utama saat itu. Setelah merasa cukup mendapat informasi, kami pun bergegas menemui kepala Dinas Kesehatan setempat.

Alhamdulillah, kali ini hasilnya tidak sia-sia. Bak menemui titik terang, salah satu tim kami mendapat kepercayaan untuk mengatur atau menata ulang  pasien-pasien yang tersebar. Ada yang dirawat di dalam gereja, ada pula di emperan puskesmas dengan kondisi yang cukup memprihatinkan.

Tidak ada hal yang mudah ternyata, di samping sewa kapal nelayan yang cukup mahal, harga bahan-bahan kebutuhan pun mahal. Benar-benar situasi yang tidak menguntungkan bagi setiap relawan yang datang.

Namun inilah amanah yang harus kami jalankan. Sebuah amanah yang tidak hanya dimintai pertanggung jawabannya dihadapan manusia, tapi juga dihadapan Yang Maha Kuasa. Perjalanan kami masih cukup panjang. Hanya dengan memohon pertolongan-NYA lah semuanya akan menjadi mudah.

Khoirul Mustafa

Relawan Nonmedis MER-C

Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas relawan AlamSemesta.

AlamSemesta Institute didukung oleh Mer-C dan Wanadri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement