Selasa 10 Jul 2012 14:43 WIB

Misteri Mercusuar dan Makam Tua di Pulau Edam

Peserta Melancong Abah Alwi' edisi 'Menjelajahi Kepulauan Seribu', foto bersama di depan menara suar yang sudah berdiri sejak 1879 silam di Pulau Edam, Kepulauan Seribu, Jakarta, Ahad (8/7).
Foto: ROL/Karta Raharja Ucu
Peserta Melancong Abah Alwi' edisi 'Menjelajahi Kepulauan Seribu', foto bersama di depan menara suar yang sudah berdiri sejak 1879 silam di Pulau Edam, Kepulauan Seribu, Jakarta, Ahad (8/7).

REPUBLIKA.CO.ID, KEPULAUAN SERIBU -- Ratusan orang memakai kaos biru langit mengerumuni pintu masuk Kantor Harian Republika, Ahad (8/7) kemarin. Bukan untuk melakukan unjuk rasa, mereka adalah para peserta 'Melancong Abah Alwi' edisi 'Menjelajahi Kepulauan Seribu'.

Pagi itu sekitar pukul 07.30 WIB, seratusan peserta melancong bersama Alwi Shahab, wartawan senior Republika dan pemerhati sejarah Jakarta, terlihat antusias mendengarkan arahan dari panitia. Berangkat menggunakan bus dari kantor Republika ke Pantai Marina Ancol lalu menyeberang menggunakan speed boat, para peserta diajak berpetualang menjelajahi sejarah tiga pulau di Kepulauan Seribu, yakni Pulau Edam, Pulau Onrust, dan Pulau Bidadari.

Pulau pertama yang disambangi Abah Alwi dan para peserta melancong adalah Pulau Edam. Pulau ini juga disebut Pulau Damar Besar karena banyak pohon damar yang tumbuh di pulau yang kini berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Setelah 29 menit menyeberang dari teluk Jakarta, Abah Alwi mengajak para peserta mengupas sejarah Pulau Edam yang memiliki sebuah menara suar yang sudah berdiri sejak 1879 silam. Tinggi menara peninggalan Raja Willem III itu mencapai 56 meter yang terdiri dari 16 lantai. Untuk tiba di puncak mercusuar, pengunjung harus melalui lebih dari 270 anak tangga. Mercusuar ini berfungsi membantu navigasi kapal yang akan memasuki Pelabuhan Tanjung Priok.

Dari jarak 20 mil, mercusuar ini sudah bisa terlihat. Di masa lalu, mercusuar langka ini menggunakan api bertenaga minyak tanah, tapi kini lampu mercusuar bisa otomatis menyala menggunakan tenaga surya. Jika sedang mengalami kerusakan, maka lampu mercusuar harus dinyalakan secara manual menggunakan pembangkit tenaga listrik berdaya 1.000 watt.

Abah Alwi menyebut, pulau seluas 36 hektare area itu sempat direncanakan sebagai tempat perjudian. Sekitar 1950-an, kisah Abah Alwi, Wali Kota Sudiro sempat berencana melokalisasikan perjudian legal di Kepulauan Seribu, dan Pulau Edam menjadi alternatif sebagai lokasi strategis. "Alasannya lantaran lokasinya tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok," kata Abah Alwi.

Persemayaman Terakhir Ratu Banten

Usai mengupas sejarah mercusuar, Abah Alwi mengajak para peserta berziarah ke kompleks pemakaman seluas 4x6 meter. Di kompleks makam itu terdapat empat makam, dan menurut catatan sejarah, salah satu makam di kompleks pemakaman tersebut merupakan milik Ratu Syarifah Fatimah, ratu keturunan Arab yang berkuasa di Kesultanan Banten atas kehendak Gubernur Jendral Baron van Imhoff.

Kondisi makam cukup terawat, dimana lantai dan nisannya sudah dilapisi keramik. Makam ini nyaman untuk diziarahi pengunjung. Namun, di malam hari hampir mustahil bisa mengunjungi komplek makam ini, mengingat kompleks makam dan jalan menuju lokasi tidak terdapat cahaya penerang. Praktis, di malam hari hanya cahaya rembulan sebagai satu-satunya sumber cahaya.

Abah Alwi mengatakan, Ratu Syarifah merupakan sosok yang paling dibenci rakyat Banten. Sebab, didaulatnya Syarifah menjadi Ratu Banten karena campur tangan Belanda.

"Jadi, tadi ada yang tanya sama saya, apakah dia seorang pengkhianat atau pahlawan. Tapi kalau dilihat dari dukungan Belanda, maka anda bisa menilai sendiri," kata Abah Alwi.

Sebabnya, lanjut dia, ketika gubernur Van Imhoff diganti maka rakyat Banten meminta Ratu Syarifah diasingkan. Itulah mengapa Ratu Syarifah diasingkan di Pulau Edam. "Jadi, ia menetap dan akhirnya meninggal di sana," cerita Abah.

Seperti halnya makam-makam tua lainnya di belahan bumi nusantara, makam Ratu Syarifah pun tak luput menjadi tempat pemujaan. Kelapa muda, telur ayam kampung, bunga tujuh rupa, kemenyan, hingga dupa dan tempat pembakarannya terlihat dijejerkan di dekat makam.

"Kita bisa lihat banyak sesajen. Mungkin untuk mendapatkan nomor buntut," kelakar Abah Alwi yang disambut tertawa para peserta.

Sejarah keberadaan bangunan-bangunan di Pulau Edam memang belum terkuak jelas. Pulau ini juga semakin sepi dan makin terkesan menyeramkan, karena tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah. Dan para peserta 'Melancong Bersama Abah Alwi' melangkah meninggalkan Pulau Edam dengan ketakjuban guna menuju pulau persinggahan berikutnya, Pulau Onrust. Bersambung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement