DPR Sebut Parlemen Eropa Berkhianat

Ahad , 23 Apr 2017, 13:32 WIB
Peta Benua Eropa
Foto: en.wikipedia.org
Peta Benua Eropa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Parlemen Eropa yang mempublikasikan Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests (RPODR) tanpa melakukan diplomasi dengan Parlemen di Indonesia dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap parlemen dan pemerintah di Indonesia.

Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo mengatakan, secara etika, jika ada pelanggaran atau sesuatu yang kurang tepat, Parlemen Eropa bisa berdiplomasi terlebih dulu dengan Parlemen di Indonesia. "Sikap Parlemen Eropa yang tidak menghormati diplomasi merupakan bentuk penghianatan dan ketidakhormatan terhadap Parlemen dan pemerintahan di Indonesia yang tidak boleh dibiarkan," kata dia, Ahad (23/4).

Ia mengharapkan, pengkhianatan Parlemen Eropa yang memojokkan industri sawit di Indonesia bisa menjadi awal kebangkitan bersama untuk menyatakan sikap dalam satu suara. Kedepannya, ia melanjutkan pemerintah dan para pemangku kepentingan harus bersikap sama. "Jangan lagi ada satu Kementerian mendukung perkembangan industri sawit, sementara yang lain menghambat. Ini yang harus kita perbaiki bersama jika ingin maju," ujar dia.

Edhy membantah pernyataan Parlemen Eropa yany menyebut inddustri sawit di Indonesia memiliki persoalan besar terkait isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM, penghilangan hak masyarakat adat dan lainnya. Menurutnya tudingan tersebut sangat tidak berdasar. Apalagi, sebagian besar korporasi sawit merupakan perusahaan publik dengan reputasi global.

"Sangat naif, jika korporasi sawit mempertaruhkan reputasi mereka hanya untuk sesuatu yang  bersifat sesaat dan berisiko tinggi, seperti yang dituduhkan parlemen Eropa," kata dia.

Oleh sebab itu, pernyataan Parlemen Eropa harus ditanggapi serius oleh pemerintah Indonesia. Indonesia sendiri telah mengikuti persyaratan. Bahkan, pada pertemuan tahunan yang menjadi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, Conference of Parties (COP) ke-21 di Paris pada 2015 dan COP ke-22 di Maroko pada 2016, Indonesia menjadi negara pertama yang meratifikasi.

Menurutnya, seluruh pemangku kepentingan di Indonesia telah menunjukkan perhatiannya terhadap perubahan iklim dunia. Laporan parlemen Eropa tersebut sangat bombastis dan semata-mata hanya berlandaskan persaingan bisnis minyak nabati dunia. "Kalau mau transparan,  yang merusak iklim adalah pembangunan di negara industri, terutama Eropa," tegas Edhy.