Ahad 01 Aug 2010 08:15 WIB

BI Kaji Peraturan Restrukturisasi Pembiayaan

Rep: Yogie Respati/ Red: Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-–Bank Indonesia (BI) sedang meninjau peraturan mengenai restrukturisasi pembiayaan perbankan syariah. Dalam rencana revisi peraturan tersebut, perbankan syariah dimungkinkan dapat melakukan restrukturisasi saat pembiayaan berada di kolektibilitas satu.

Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI, Mulya E Siregar, mengatakan dalam ketentuan yang ada saat ini perbankan syariah baru boleh melakukan restrukturisasi ketika pembiayaan masuk di kolektibilitas tiga (kurang lancar). “Sekarang sedang kami kaji untuk mengubah restrukturisasi bisa saja dilakukan saat suatu pembiayaan masih kolektibilitas satu (lancar), tapi tentu akan ada pembatasan misalnya hanya boleh satu kali. Jadi tidak bisa setiap waktu direstrukturisasi,” kata Mulya, akhir pekan lalu.

Ia mencontohkan ketika harga kelapa sawit turun, hal tersebut akan mempengaruhi industri kelapa sawit. Perbankan syariah yang membiayai industry tersebut pun dapat terkena dampak karena adanya penurunan kualitas pembiayaan. “Untuk merestrukturisasi saat ini harus menunggu di kolektibilitas tiga. Itu berarti bank syariah harus menyiapkan PPAP dan itu menjadi cost bagi bank syariah. Oleh karena itu perbankan syariah meminta bisa tidak saat di kolektibilitas satu direstrukturisasi, dan BI sekarang lagi review soal itu,” papar Mulya.

Ia menuturkan aset perbankan syariah sampai semester I 2010 telah mencapai Rp 75 triliun dengan pembiayaan Rp 58 triliun. Sampai akhir tahun, lanjutnya, BI menargetkan aset perbankan syariah sebesar Rp 97 triliun. “Year on year pertumbuhan perbankan syariah meningkat. Kami berharap bank syariah bisa tumbuh 43 persen di tahun ini, sehingga bisa mencapai aset Rp 97 triliun di akhir 2010,” tukas Mulya. Saat ini ada 10 bank umum syariah di Indonesia dan pada Agustus akan menyusul Maybank Syariah.

Direktur Utama BNI Syariah, Rizqullah, menyambut baik rencana BI tersebut karena dengan demikian bank syariah dapat melihat potensi pembiayaan yang dapat bermasalah lebih awal. “Kita jadinya bisa melihat pembiayaan bermasalah lebih awal karena kalau menunggu sampai kolektibilitas tinggi khawatir bisnis nasabah juga jadi tidak terselamatkan. Tapi aturan itu juga harus dijaga dan ada pembatasan, untuk menghindari moral hazard,” kata Rizqullah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement