Kamis 18 Sep 2014 14:00 WIB

Belajar dari Gairah Minoritas Muslim Laos

Red:

Kumandang azan terdengar dari pengeras suara milik bangunan kecil di lorong sempit Desa Namphu, Viantiane, Laos. Orang-orang yang tengah makan di resto tenda terbuka, membuka dompet dan bergegas membayar kudapannya.

Mereka lantas pulang, menghentikan sejenak aktivitas dan beristirahat di rumah. Kumandang azan begitu dihargai masyarakat Buddha yang mayoritas di Laos. Dan di saat itu pula, sekelompok warga yang berada di Namphu bergegas ke masjid, tempat lantunan azan tadi terdengar.

Itulah gambaran aktivitas rutin kehidupan masyarakat Muslim di Laos, negara yang memiliki nama lengkap Lao People's Democratic Republic. Namphu merupakan desa di Viantiane Capital, tempat penyebaran masyarakat Muslim di negeri berlambang Bulan tersebut.

Masyarakat Muslim Namphu didominasi perantau yang berasal dari keturunan India, Pakistan, dan Bangladesh. Selain rata-rata berhidung mancung, badan mereka pun relatif tinggi besar dibanding kebanyakan masyarakat lokal etnis Lao.

Muslim Laos juga disumbang dari peranakan Muslim Kamboja. Muslim Kamboja memiliki masjid sendiri yang bernama Masjid Azhar di Chantaburi, empat kilometer dari pusat Kota Viantiane.

Di Masjid Jamia Viantiane, Namphu, mereka menunaikan shalat Jumat berjamaah. Rasanya ini bukan cuma soal ritual wajib bagi masyarakat Muslim di sana. Masjid yang telah berusia setengah abad itu juga dijadikan tempat berkumpul, membahas persoalan masyarakat Muslim yang tinggal di beragam desa.

"Viantiane sebagai kota besar hanya memiliki dua masjid," kata Atase Pertahanan dari Kedutaan Besar Indonesia di Laos, Kolonel Sunoto.

Total populasi Muslim Laos, ungkap Sunoto, masih berada di angka 400 jiwa dari keseluruhan penduduk Laos yang mencapai 6,8 juta jiwa. Menurutnya, perkembangan Muslim dari penduduk lokal menunjukkan angka yang tidak menggairahkan. Begitu juga di Namphu, keturunan Pakistan dan India lah yang menjadi penyumbang terbanyak pengisi masjid yang ketika shalat Jumat digelar tak lebih dari tujuh shaf saja. "Kesadaran untuk membangun taman pendidikan Alquran masih kurang," ujarnya.

Sejarah mencatat peran Pakistan begitu besar bagi perkembangan Muslim di Laos. Kelompok masyarakat yang kerap disebut Pakhtun itu berasal dari keluarga serdadu yang dikomandoi Inggris saat terjadi Perang Dunia I. Penyumbang kedua adalah dari wilayah India selatan. Bangsa Tamil merupakan kelompok pekerja Muslim yang banyak berprofesi sebagai buruh dan pedagang di Laos.

Khutbah Jumat

Imam masjid memegang tongkat besar saat khutbah Jumat. Di sudut lainnya di dalam masjid, makanan ringan disediakan di atas sebuah tampah berisi aneka biskuit dan makanan lokal. Makanan itu disiapkan bagi jamaah seusai melaksanakan shalat Jumat.

Peci dan beberapa pakaian Muslim tampak digantung di lemari kaca. Satu pemandangan tak biasa dijumpai di Indonesia, tapi menjadi hal biasa di Laos, baju Muslim dan peci disediakan pengurus masjid. Tampaknya pengurus masjid tahu betul jika para jamaahnya tak sempat mengganti pakaian seusai berdagang di pasar.

"Kehidupan yang tenang dan bisa berdampingan," kata Nizar Rahmad, keturunan Muslim Pakistan di Laos. Nizar juga merupakan pengurus Masjid Jamia Viantiane.

Setiap selesai shalat Jumat, Nizar mengumpulkan hasil sumbangan para jamaah yang dikumpulkan petugas amal melalui dua ember kecil yang digilir di tiap-tiap shaf. Dari beberapa lembar uang pecahan itu pula, masjid ini terpelihara.

Pengembangan nilai-nilai kemusliman di Laos cenderung terjadi secara swadana dan swadaya. Nizar mengungkapkan, dari hasil amal para jemaah itu, buku bacaan ensiklopedi Islam ditambah. Jumlah pengadaan Alquran juga dimaksimalkan hingga nantinya setiap jamaah memiliki masing-masing satu Alquran. Hanya saja, kata Nizar, terjemahan Alquran masih didominasi bahasa Thailand. Namun bagi Nizar, itu bukan masalah.

Sebagian amal jariyah para jamaah juga digunakan untuk sumbangan kepada masyarakat sekitar masjid. Hasil penggalangan dana jamaah tak menjadi persoalan jika harus disalurkan kepada warga yang bukan merupakan keluarga penghuni masjid.

Jika ada salah satu keluarga di Desa Namphu yang mengalami musibah, kata Nizar, dana itu dikucurkan tanpa memandang latar belakang agama. Toleransi inilah yang membuat masyarakat Muslim dan warga mayoritas yang beragama Buddha tetap harmonis berdampingan. rep:angga indrawan ed: nur hasan murtiaji

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement