Senin 27 Apr 2020 04:59 WIB

Qadha Puasa

Hukum qadha puasa

Berpuasa: Qadha Puasa
Foto: futurity.org
Berpuasa: Qadha Puasa

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb.

Ustaz, istri saya ada utang puasa tahun lalu yang belum selesai diqadha. Pertanyaan saya, apakah utang puasa tahun lalu cukup dengan membayar fidyah saja atau masih harus mengqadha di tahun berikutnya? Mohon penjelasannya. Jazzakumullah.

Muhammad Furqon, Jakarta Pusat

Waalaikumussalam wr wb.

 

Pada edisi pertama Konsultasi Puasa pernah dibahas beberapa hal terkait qadha puasa. Menurut banyak ulama, masa melunasi (qadha) yang baik adalah sejak selesai bulan Ramadhan sampai datang Ramadhan berikutnya.

Kalau berlalu Ramadhan berikut tanpa sempat menggantinya, kewajiban tersebut tidak gugur, dan puasanya di Ramadhan berikutnya tetap sah.

Para ulama berbeda dalam menyikapi kewajiban qadha yang tertunda (melewati Ramadhan berikutnya). Kalau tertundanya pelaksanaan qadha itu atas dasar alasan syar’i,  seperti sakit sepanjang tahun atau hal-hal lain yang menyulitkannya untuk mengganti, para ulama sepakat hanya berkewajiban mengganti puasa (qadha) saja.

Namun, bila tertundanya itu tanpa alasan syar’i, menurut ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan banyak ulama lainnya, ia berkewajiban mengganti (qadha) dan membayar kaffârah (penutup dosa) akibat keterlambatan itu.

Kaffârah itu berupa fidyah (tebusan) dengan memberi makan seorang miskin. Besar fidyahnya adalah satu mud makanan pokok, sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ukuran mud. Satu mud menurut ulama mazhab Hanafi adalah dua rithl Iraqi atau sekitar 812,5 gram (2 x 406,25 gram).

Menurut mayoritas ulama (jumhur), satu mud itu sama dengan satu sepertiga rithl Iraqi atau 510 gram (1,333 x 382,5 gram).

 

Kalau penundaannya bertahun-tahun, menurut mazhab Syafi’i, fidyahnya berlipat sebanyak tahun yang tertunda.

Memang ada ulama lain dari kalangan mazhab Hanafi dan Imam al-Nakha’i mengatakan, tidak berkewajiban untuk membayar fidyah sebab tidak ada landasannya dari hadis-hadis yang sahih dari Nabi kecuali hanya pendapat atau riwayat dari para sahabat.

Meski demikian, saya menyarankan agar istri Saudara mengikuti pendapat mayoritas ulama yang menyatakan selain tetap membayar utang puasa (qadha), meski telah berlalu Ramadhan berikutnya juga membayar fidyah dengan ketetapan seperti di atas.

Karena tertundanya sampai melewati Ramadhan berikutnya, seperti pendapat ulama mazhab Syafi’i, fidyahnya menjadi dua kali lipat.

Pandangan para Sahabat Nabi yang mewajibkan fidyah patut diikuti sebagai bentuk anjuran sebab menutupi keteledoran dalam ibadah dengan bersedekah sangatlah baik.

Lagi pula, kita tidak hanya diperintahkan untuk mengikuti sunah Nabi, tetapi juga sunah para Sahabatnya. Wallahua’lam bish shawab.

M Muchlis Hanafi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement