Ketua DPR Janji Kaji RUU Media Sosial Usulan PWI

Penyalahgunaan medsos tak hanya sebatas pencurian dan penyalahgunaan data pengguna

Sabtu , 28 Apr 2018, 01:16 WIB
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo
Foto: Humas DPR
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) berjanji akan mengkaji usulan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Media Sosial menjadi usul inisiatif DPR. Pasalnya, menurut Bamsoet RUU tersebut diperlukan sebagai payung hukum untuk menghindari terjadinya tindak kejahatan dan penyalahgunaan di media sosial.

"Usulan dari PWI atas lahirnya UU Media Sosial saya kira bisa menjadi jawaban atas berbagai kegelisahan dan keprihatinan yang kini sedang kita rasakan. Segera saya akan minta Badan Keahlian Dewan untuk membuat kajian yang mendalam," ujar Bamsoet saat menerima Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di ruang kerja Pimpinan DPR RI di Jakarta, Kamis (26/4).

Bamsoet menilai penyalahgunaan media sosial tak hanya sebatas pencurian dan penyalahgunaan data pengguna saja. Tetapi, juga maraknya penyebaran ujaran kebencian serta penyebaran berita hoax di berbagai situs dan platform digital lainnya.

"Di Jerman sudah ada UU tentang Media Sosial, Enforcement on Social Networks (NetzDG) yang dibentuk pada akhir Juni 2017. Keberadaan UU tersebut salah satunya juga untuk memerangi maraknya ujaran kebencian di media sosial. Bahkan, situs dan platform yang menyajikan berita hoax bisa didenda hingga 50 juta euro. Jadi tidak hanya pengguna atau penyebar berita. Tapi media sosialnya pun seperti Twiter, Path, Instagram dan lain-lain bisa dituntut dan diseret ke meja hijau,” papar Bamsoet.

Bagi Politisi Partai Golkar ini, keberadaan UU Media Sosial di Indonesia nantinya bisa dijadikan payung hukum bagi negara dalam menarik pajak terhadap pemuatan iklan digital di berbagai website. Seringkali, iklan tersebut berasal dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri dan tak bisa dikenai pajak karena belum ada payung hukumnya.  

Tak hanya iklan, penyedia layanan digital over the top seperti Google, Youtube, Facebook, Twitter yang beroperasi di Indonesia bisa pula dijadikan sebagai wajib pajak. Setelah bertahun-tahun beroperasi di Indonesia, baru di era Presiden Jokowi pemerintah Indonesia bisa menarik pajak dari Google.

"Jenis pajak yang dibayarkan terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Jumlahnya cukup besar, mencapai Rp450 miliar. Sekarang kita sedang kejar Facebook, Twitter, dan lainnya. Namun, ini tidak mudah karena mereka masih berkelit terhadap peraturan hukum yang ada di Indonesia," terang Bamsoet.

Bamsoet menuturkan, melalui angka pajak yang dibayarkan Google, bisa diprediksi setidaknya setiap tahun Google memperoleh pendapatan mencapai Rp5 triliun, dengan keuntungan minimal Rp1,6 triliun. Tak menutup kemungkinan Facebook, Twitter maupun penyedia layanan digital lainnya juga punya pendapatan yang serupa.

"Sayang sekali jika seandainya potensi penerimaan negara melalui pajak terhadap penyedia layanan digital tak bisa kita dapatkan. Melalui UU ini, kita bisa memberikan sanksi terhadap penyedia layanan yang tak bisa melindungi data penggunanya, memproses hukum pihak yang mencuri ataupun menyalahgunakan data pengguna, serta menarik pajak terhadap berbagai penyedia layanan digital maupun pemasangan iklan," pungkas Bamsoet.