MKD Gelar Seminar Nasional Kehakiman

Acara ini digelar dalam rangka menjaga kehormatan dan martabat hakim di Indonesia.

Rabu , 21 Mar 2018, 08:00 WIB
Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad (Kiri) dan Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad (Kiri) dan Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan menggelar seminar nasional terkait kedudukan peradilan etik dalam sistem kekuasaan kehakiman. Acara ini digelar dalam rangka menjaga kehormatan dan martabat hakim di Indonesia.

Dari siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (20/3) lalu, seminar diselenggarakan pada Rabu (21/3) di Hotel Mercure Ancol, Jakarta. Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan tema tersebut dilatarbelakangi oleh adanya gugatan perdata di Pengadilan Negeri dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang pernah dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Selain itu juga pernah dilakukan oleh Anggota DPR RI yang tidak dapat menerima Putusan MKD yang bersifat final and binding.

Di Tingkat Pengadilan Negeri, gugatan terhadap suatu Putusan MKD tersebut telah diputuskan dengan Putusan Menolak gugatan yang telah memiliki kekuatan hukum bersifat tetap.

Putusan penolakan tersebut didasarkan pertimbangan hukum bahwa putusan MKD merupakan putusan perkara etik yang belum diatur dalam ranah hukum, dalam hal ini Peradilan Umum. Berdasarkan praktik tersebut, kedudukan Putusan MKD dapat diposisikan sebagai sesuatu yang dapat dipersoalkan oleh siapa pun dengan menempuh upaya hukum yang berlaku dengan mengajukan ke Peradilan Umum.

Sistem Peradilan Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009. Pasal berbunyi: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Artinya, kedudukan Putusan MKD dalam sistem Kekuasaan Kehakiman yang demikian rentan menjadi objek gugatan berdasarkan praktik tersebut. Kedudukan putusan MKD dapat diposisikan sebagai sesuatu yang dipersoalkan oleh siapa pun dengan menempuh upaya hukum yang berlaku dengan mengajukan ke Peradilan Umum.

Menurut Ahli Hukum Tata Negara dan juga Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode Tahun 2003 2008, Jimly Asshiddiqie tentang Peradilan Etik, bahwa kedudukan MKD sebagaimana juga kedudukan Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dapat diposisikan sebagai Peradilan Etik di lingkungan Lembaga masing-masing.

Dalam Surat Edaran No. 3 Tahun 2002 Tentang Penanganan Perkara yang berkaitan dengan Asas Nebis In Idem, dikenal Proses di Pengadilan yang berbeda lingkungan. Apabila kedudukan MKD dapat dipandang sebagai Peradilan Etik, maka dapat dikategorikan sebagai Pengadilan yang berbeda lingkungan sebagaimana dimaksud dalam surat edaran tersebut.

Dalam hal ini berdasarkan Asas Nebis in Idem tersebut bahwa kedudukan Putusan MKD dapat dikatakan sebagai putusan dari proses pengadilan yang berbeda lingkungan yang tidak dapat dijadikan objek gugatan untuk diputuskan lagi sebagai putusan perkara dalam Peradilan Umum.

Wakil Ketua MKD, Adies Kadir mengatakan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 119 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, MKD bertugas menegakkan Kode Etik DPR RI.

Penegakkan Kode Etik DPR RI yang dilakukan oleh MKD dengan menggunakan pendekatan sistem pencegahan dan penindakan. Sistem Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik dilakukan dengan sosialisasi, pelatihan, mengirimkan surat edaran dan memberikan rekomendasi, atau cara lain yang ditetapkan oleh MKD.

Sedangkan, Sistem Penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik, upaya penindakan dilakukan oleh MKD berdasarkan peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Beracara MKD. Proses Penindakan dilakukan atas Pelanggaran Kode Etik DPR dimulai dari proses verifikasi, penyelidikan baik sebelum sidang maupun pada saat sidang, sampai dengan penetapan putusan terhadap Anggota DPR RI yang terbukti atau tidak terbukti melanggar.

Dalam Seminar Nasional tersebut, akan hadir sebagai keynote speech Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, yang sekaligus akan membuka acara secara resmi. Selain itu juga akan dihadiri oleh Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr M.Hatta Ali, SH, MH, Ketua Komisi Yudisial, Prof Dr. Aidul Fitriciada Azhari, SH, M.Hum, Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Dr Suhadi, Ketua Kamar TUN MA, Dr Supandi, SH, MH dan Dosen Unair, Prof. Dr Basuki Rekso Wibowo, SH, MS.