Komisi VIII Sesalkan PPN 5 Persen Pemerintah Arab Saudi

Rabu , 10 Jan 2018, 11:28 WIB
Ketua Komisi VIII Ali Taher Parasong
Foto: dok. Kemenag.go.id
Ketua Komisi VIII Ali Taher Parasong

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Ali Taher Parasong, menyesalkan keputusan penetapan dan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lima persen atas jamaah haji dan umrah seluruh dunia, yang diberlakukan secara sepihak oleh Pemerintah Arab Saudi. Pihaknya pun belum menemukan rumusan untuk membatalkan kebijakan itu.

Selain itu, Ali juga menyayangkan kebijakan Pemerintah Arab Saudi itu tanpa melakukan konsultasi atau meminta pendapat terlebih dahulu kepada negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang mengirimkan jamaah haji maupun umrah setiap tahunnya.

"Karena pada satu sisi, pelaksanaan ibadah haji dan umrah itu keterkaitannya dengan ibadah, dan bukan usaha bisnis. Meskipun dalam pelaksanaannya, melibatkan proses penunjang dalam bisnis," ucap Ali Taher dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (10/1)

Selain itu Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan, dalam waktu dekat, Komisi VIII akan memutuskan agenda-agenda rapat penetapan pembentukan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), yang termasuk di dalamnya akan diagendakan mengenai masalah kenaikan PPN sebesar lima persen itu.

Memang kalau melihat dari definisinya, maka PPN itu terkait dengan persoalan jasa antara kegiatan-kegiatan ekonomi atau kegiatan antara bisnis produsen dan konsumen. "Pertanyaannya adalah apakah jemaah haji dan umrah itu dianggap sebagai jamaah atau konsumen, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai," ujarnya.

Ali menyampaikan, Komisi VIII DPR RI akan mengundang Kementerian Agama dan instansi terkait untuk membicarakan pemecahan masalah atas kenaikan PPN lima persen itu. Persoalan ibadah haji dan umrah tidak bisa diukur dengan nilai uang, tetapi kepuasan jamaahlah yang lebih penting.

Kata, Ali Taher, kalau kenaikan PPN lima persen untuk sektor yang lain masih bisa dipahami, tetapi kalau jamaah yang dikenakan PPN,maka inilah yang menjadi masalah. Kemudian timbul pertanyaan lainnya juga, yaitu mau melekatkan dianggaran yang mana, apakah masuk indirect cost (beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara/ APBN) atau masuk dalam direct cost (biaya langsung).

"Sementara masalah PPN ini adalah menyangkut beban individual," tutupnya.