DPR akan Evaluasi Pencabutan Moratorium Prodi Kedokteran

Rabu , 06 Sep 2017, 16:23 WIB
Dokter menyuntikkan vaksin campak dan rubella (measles and rubella/MR) kepada anak dengan faktor risiko kondisi ikutan pascaimunisasi di RSUD dr Iskak, Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (23/8).
Foto: Antara/Destyan Sujarwoko
Dokter menyuntikkan vaksin campak dan rubella (measles and rubella/MR) kepada anak dengan faktor risiko kondisi ikutan pascaimunisasi di RSUD dr Iskak, Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (23/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR RI Dadang Rusdiana mengatakan Komisi X mempersilahkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk mencabut moratorium prodi kedokteran. Kendati demikian, DPR bakal melakukan evaluasi atas pencabutan moratorium prodi kedokteran tersebut.

"Kami persilahkan, tapi nanti kami akan lakukan evaluasi. Komisi X nanti akan mengevaluasi apakah pencabutan moratorium itu sesuai dengan kebutuhan faktual atau tidak. Kita akan lihat jangan sampai pembukaan moratorium ini berdampak pada kualitas dokter," kata Dadang di Kompleks Parlemen Senayan, kepada Republika.co.id, Rabu (6/9).

Ia mengkhawatirkan pencabutan moratorium ini berdampak pada pembukaan prodi kedokteran dengan kualitas kontrol yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Menurut Dadang, DPR bersama Kemenristekdikti sedang melakukan kajian tentang kebutuhan dokter di tanah air. Selama ini, lanjut Dadang, kajian ini belum dilakukan secara komprehensif oleh Kemenristekdikti.

Rendahnya kualitas pendidikan dokter berdampak pada kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia kedokteran tanah air. Dadang mencontohkan, saat ini banyak masyarakat Indonesia, terutama dari golongan menengah ke atas, yang memilih berobat ke Singapura. Mereka baru merasa yakin sehat ketika berobat ke Singapura atau Cina.

"Itu artinya ada problem. Itu harus menjadi evaluasi bagi Kemenristekdikti untuk mengevaluasi fakultas-fakultas kedokteran yang sebetulnya dari sisi kualitas memang masih dipertanyakan," ujar Dadang.

Anggota Komisi X ini membeberkan, masih banyak fakultas kedokteran di Indonesia yang terakreditasi C. Padahal, standar fakultas kedokteran mestinya terakreditasi B. Menurut Dadang, akreditasi C untuk prodi kedokteran dapat dianggap tidak layak. Karena, bidang profesi kedokteran bersentuhan langsung dengan keselamatan orang banyak sehingga tidak bisa diterapkan standar rendah.

Dadang menyatakan Komisi X akan membahas masalah ini dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kemenristekdikti pekan depan. "Kita akan evaluasi. Termasuk soal berapa kebutuhan dokter di Indonesia, berapa fakultas kedokteran yang harus disiapkan dan dimana saja. Pemerataannya seperti apa," ujar Dadang.

Sejak Juni 2017, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah melakukan penghentian sementara waktu (moratorium) pengajuan pembukaan program studi pendidikan dokter dan profesi dokter. Kemenristek mengklaim selama kurun waktu itu telah melakukan pembinaan peningkatan mutu pendidikan kedokteran.

Lalu, Direktur Jenderal Kelembagaan Kemenristekdikti Patdono Suwignjo dalam surat tertanggal 7 Agustus 2017 mencabut moratorium itu. Kemenristekdikti memberi kesempatan kepada perguruan tinggi dengan akreditasi minimal B untuk mengusulkan pembukaan prodi pendidikan dokter dan profesi dokter guna pemenuhan kebutuhan dokter.