Tiga Opsi Migrasi TV Analog Jadi Digital

Rabu , 05 Apr 2017, 10:37 WIB
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas.
Foto: dpr
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi DPR RI menyiapkan tiga opsi model bisnis untuk menyelesaikan perkara migrasi layanan TV analog menjadi digital. Opsi tersut yakni melalui model single multiplexter, multiple multiplexter dan hybrid multiplexter.

 

Demikian diungkapkan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas dalam RDPU dengan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (4/4).

“Yang terpenting dalam RUU Penyiaran ini adalah sistem yang akan kita gunakan dalam pengaturan frekuensi agar memberi manfaat sebesar-besarnya dalam kemakmuran rakyat sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945,” ujar politikus dari F-Gerindra itu.

 

Ia menambahkan, dalam sistem single multiplexter,  penguasaan frekuensi diberikan kepada negara atau badan independen yang ditunjuk negara. Selanjutnya, stasiun televisi menyewa kanal dalam frekuensi tertentu. Sementara, dalam single multiplexter yang saat ini diterapkan, frekuensi dikelola perusahaan pemilik stasiun TV yang ada saat ini.

 

"Multiple multiplexter seperti yang ada sekarang, negara memberikan frekuensi kepada stasiun televisi dan hanya menerima pendapatan berupa pajak.  Jika ada TV baru,  maka akan menyewa kepada perusahaan yang sudah mendapatkan frekuensi,” kata Supratman.

 

Adapun opsi ketiga yaitu, hybrid multiplexter, artinya jika ada 6 frekuensi maka 3 frekuensi akan dikuasai oleh negara (lembaga penyiaran)  sementara 3 lainnya akan di lelang ke pihak swasta. “Menurut saya,  pilihan yang paling tepat dalam rangka pasal 33 yaitu menggunakan single multiplexter.  Namun, kalaupun tidak bisa single multiplexter,  maka yang bisa digunakan adalah hybrid multiplexter. Ini salah satu cara untuk mengurangi monopoli," ujar politikus dapil Sulteng ini.

 

Dia menuturkan dengan adanya pengaturan frekuensi, maka bukan hanya mencegah praktik monopoli, namun disisi lain diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara bukan pajak. “Kita berharap dengan sumber daya terbatas, negara bisa mendapatkan penerimaan bukan hanya sektor pajak semata,” kata dia.

 

Dalam RDPU tersebut, Ketua ATVSI Ishadi menyerahkan draf usulan yang berisi 11 saran atas isu krusial dalam RUU Penyiaran. Diantaranya, pengelolaan frekuensi, pembatasan kepemilikan media, pengaturan isi siaran dari stasiun asing, dan pengaturan siaran iklan.