Saran Fadli Zon untuk Atasi Ketimpangan Ekonomi

Selasa , 04 Apr 2017, 19:33 WIB
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon memberikan pidato di depan Sidang Umum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-136 di Dhaka, Bangladesh, Senin (3/4).
Foto: dpr
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon memberikan pidato di depan Sidang Umum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-136 di Dhaka, Bangladesh, Senin (3/4).

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon memberikan pidato di depan Sidang Umum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-136 di Dhaka, Bangladesh, Senin (3/4). Pidato yang disampaikan sebagai ketua delegasi parlemen Indonesia itu mempertajam perspektif soal agenda menghapus ketimpangan.

“Akhir Februari lalu OXFAM Indonesia dan INFID (International NGO Forum on Indonesia Development) merilis hasil penelitian bahwa Indonesia menjadi salah satu dari lima negara yang indeks ketimpangannya melonjak tajam dalam satu dekade terakhir, sesudah Malaysia, Cina, Filipina, dan Thailand. Laporan itu memperkuat laporan serupa yang telah dirilis oleh Bank Dunia pada akhir 2015," ujar dia.

Dia mengatakan kondisi ketimpangan secara global juga terus memburuk. Satu persen orang terkaya di dunia memiliki kekayaan setara dengan kekayaan 99 persen penduduk dunia. Perang, konflik, dan instabilitas yang terjadi di sejumlah kawasan ikut berkontribusi mempersulit situasi tersebut.

“Indonesia percaya, secara ekonomi masalah ketimpangan tidak bisa diatasi hanya dengan menciptakan lapangan kerja. Kita harus lebih spesifik mengupayakan tingkat upah yang layak di berbagai sektor untuk mengatasi masalah tersebut. Sesudah krisis 2008, misalnya, perekonomian memang kian didominasi oleh industri keuangan, padahal sektor yang menampung angkatan kerja terbesar adalah manufaktur dan pertanian. Kesenjangan upah antar-sektor tersebut tidak boleh dibiarkan terus menganga," kata dia.

Fadli mengatakan secara nasional, isu ketimpangan merupakan panggilan untuk membangun sistem perpajakan yang adil, terutama melalui pajak progresif yang signifikan. Dari situ, diperlukan adanya penyesuaian sistem antara hukum perbankan dengan perpajakan, untuk memperkecil ruang gerak dan munculnya para pengemplang pajak. Sebab, menurut dia, pajak merupakan instrumen penting untuk melakukan redistribusi kemakmuran.

“Ke depan, pembangunan ekonomi harus semakin inklusif, tidak boleh hanya terjebak pada indikator pertumbuhan semata. Untuk menciptakan pembangunan inklusif tersebut, persis di situ diperlukan mekanisme penyusunan kebijakan yang bersifat inklusif pula, agar kebijakan publik yang dihasilkan lebih demokratis dan inklusif," kata dia.