‎'Harus Ada Satu Pangkalan Udara Khusus Militer di Jakarta'

Selasa , 05 Apr 2016, 16:51 WIB
 Pesawat Batik Air dengan nomor registrasi PK-LBS (belakang) dipindahkan oleh petugas di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (4/4) malam.  (Republika/Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Pesawat Batik Air dengan nomor registrasi PK-LBS (belakang) dipindahkan oleh petugas di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (4/4) malam. (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemi Francis mengatakan harus ada satu pangkalan udara yang steril dan khusus untuk militer di ibu kota. Sebelumnya, hal tersebut sudah berjalan di Bandar Udara Halim Perdanakusuma.

Namun karena kapasitas bandara Soekarno-Hatta tidak mencukupi, sebagian penerbangan komersial dialihkan ke Halim. "Untuk wilayah-wilayah yang dipakai militer harusnya pakai alternatif lain," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (5/4).

Pekan depan, Komisi V akan memanggil Menteri Perhubungan Ignasius Jonan untuk membahas persoalan perhubungan Tanah Air, salah satunya tentang penerbangan di Halim.

Sepanjang ada kerja sama, peruntukan antara penerbangan komersial dan militer bisa diatur. Sejauh ini, kata Fary, perbandingan penerbangan di Halim yakni 40 persen untuk penerbangan komersial dan 60 persen untuk militer.

Fary menyebut senggolan pesawat antara Batik Air dan Trans Nusa merupakan insiden ketiga. Insiden senggolan pesawat pertama, terjadi di Makassar antara Garuda dan Lion Air pada 2012.

Kemudian insiden kedua terjadi di Bali bahkan terjadi hampir di udara pada Februari 2016. Untuk itu, Komisi V meminta Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menginvestigasi secara mendalam kasus tersebut.