Rabu 17 Oct 2018 16:52 WIB

BAP DPD: Pemerintah Perlu Selesaikan Sengketa Lahan

Banyak laporan masyarakat terkait masalah sengketa lahan dengan PT KAI.

Ketua BAP DPD Abdul Gafar Usman.
Foto: DPD
Ketua BAP DPD Abdul Gafar Usman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu tugas dan wewenang Badan Akuntabilitas Publik (BAP) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diamanahkan untuk menampung dan menindaklanjuti atas pengaduan masyarakat terkait dengan korupsi dan maladministrasi yang masalahnya berkaitan dengan kepentingan daerah.

Menindaklanjuti banyaknya laporan masyarakat terkait masalah sengketa lahan antara masyarakat dengan PT KAI, terutama terjadi di Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, maka pada Senin (15/10) lalu, BAP telah melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) bersama Pakar Hukum Agraria maupun Pakar Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik.

Ketua BAP DPD Abdul Gafar Usman mengatakan, pada zaman kolonial, Hak atas tanah bagi Pemerintah tidak sulit karena adanya domeinverklaring (Ps 1 AB/Stb. 1870 No. 118) di mana Negara (Pemerintah) berhak memiliki tanah. Negara juga mempunyai legal standing sebagai eigenar atas Hak Eigendom sehingga berhak menggunakan tanah tersebut untuk membangun, berhak menyewakan, bahkan berhak menjual tanah/komersialisasi tanah. Setelah beralih ke Pemerintahan Republik Indonesia, maka Pasal 33 (3) UUD 1945 mencabut legal standing negara sebagai pemilik tanah menggantinya dengan hak menguasai negara yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dari perspektif hukum agraria, sebagaimana disampaikan oleh Dr.Kurnia Warman, ahli hukum agraria dari Universitas Andalas, bahwa groondkart yang dibuat pada zaman Hindia Belanda tidak bisa serta-merta menjadi dasar penguasaan oleh PT KAI. Aspek kepastian dan perlindungan hukum berkenaan dengan legalitas tanah-tanah aset kereta api adalah ditentukan dengan mengikuti ketentuan pendaftaran konversi hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA dan Per-UU-an di luar UUPA terutama PP No. 8 Tahun 1953 dan Peraturan Pelaksanaannya. 

Abdul Gafar mengatakan, tujuan konversi hak adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sebagai pemegang hak atas tanah. Serta memastikan kecocokan hak-hak tersebut dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA.

Dengan konversi, menurut Abdul Gafar, penggunaan tanah menjadi tertib dan hak-hak atas tanah yang diperoleh dilindungi oleh hukum. "Dalam pelaksanaan konversi selalu diikuti oleh pendaftaran hak atas tanah," ujarnya seperti dalam siaran persnya, Rabu (17/10).

Secara empiris saat ini penguasaan tanah-tanah negara, kata Abdul Gafar, banyak menghadapi masalah termasuk dengan masyarakat yang memang sangat membutuhkan. Pemicu biasanya terjadi ketidaktaatan dalam pengelolaan tanah negara oleh penguasanya.

photo
BAP DPD.

Pendaftaran tanah merupakan salah satu upaya untuk memberikan kepastian hukum terhadap tanah negara, dan sekaligus untuk penertiban penguasaan tanah negara. Pada saat konversi dan pendaftaran tanah inilah diperlukan data yuridis (dasar hukum penguasaan) dan data fisik (gambar situasi seperti groondkaart, dan sebagainya) penguasaan tanah tersebut untuk dipindahkan ke Buku Tanah dan Sertipikat Tanah sesuai kewenangan instansi pemerintah yang bersangkutan.

Selanjutnya, perlu juga dilihat dari perubahan status badan hukum yang menyelenggarakan perkeretaapian sejak DKA hingga saat ini PT KAI (persero). Yakni Perubahan status badan hukum yang awalnya merupakan bagian dari instansi pemerintah (DKA, PNKA, PJKA) hingga semi-instansi pemerintah berupa PERUMKA dan bermetamorfosis menjadi PT KA dan PT KAI hingga saat ini.

"Perubahan status badan hukum dan implikasinya terhadap sumber daya manusia dan asetnya memiliki tata cara atau prosedur dalam ranah Perbendaharaan Negara," ujarnya.

Dari perspektif hukum anggaran negara dan keuangan publik sebagaimana dijelaskan oleh Yuli Indrawati, pakar hukum anggaran negara dan keuangan publik Universitas Indonesia, bahwa fakta hukumnya memang tidak ada PP yang menetapkan pengalihan tanah yang digunakan PJKA menjadi penambahan penyertaan modal negara kepada PERUMKA ataupun PT KAI.

Tanah yang digunakan PERUMKA atau PT KAI bersertifikat Hak Pakai atas nama Departemen Perhubungan c.q. PJKA, serta tidak pernah dibukukan sebagai aktiva tetap (modal) perusahaan Perumka atau PT KAI dalam neraca Perusahaan.

Dalam perspektif hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik, aset yang dialihkan kepada PT KAI hanya aset Perumka. Tanah yang digunakan Perumka tidak dapat dialihkan karena bukan aset Perumka melainkan Aset Negara.

Dengan demikian, Sertipikat Hak Pakai atas nama Departemen (sekarang Kementerian) Perhubungan c.q. PJKA tidak dapat dijadikan dasar bagi kepemilikan tanah oleh PT KAI karena secara hukum masih dimiliki oleh Departemen (sekarang Kementerian) Perhubungan. Sehingga PT KAI tidak berwenang melakukan tindakan hukum apapun terhadap aset yang sedang dipakainya.

Tindakan hukum atas tanah tersebut hanya dapat dilakukan (atas perintah, delegasi atau mandat) oleh Kementerian Perhubungan atau Kementerian Keuangan selaku bendaharawan umum negara yang memegang pengelolaan atas barang milik Negara; regulasi pemindahtanganan dan penghapusbukuan atas tanah tersebut tetap berada pada regulasi publik sesuai dengan asas Contrarius Actus; Ketentuan-ketentuan dalam proses pengambilalihan dan lainnya terhadap barang tidak bergerak milik negara pada PT KAI tunduk pada prinsip-prinsip perbendaharaan negara; Risiko atas tuntutan aset tersebut tidak menjadi risiko dan kerugian BUMN, melainkan menjadi risiko dan kerugian negara; dan Sengketa hukum atas tanah tersebut harus mengikuti prosedur dalam Peraturan Menteri BUMN No. 13/MBU/2014 tentang Pendayagunaan Aset Tetap BUMN.

Selain itu, Prof Dr.Arie S. Hutagalung, Guru besar Hukum Agararia Universitas Indonesia menegaskan bahwa berkenaan dengan sifat fungsi sosial sebagaimana dijelaskan di dalam Penjelasan Umum II angka (4) UUPA, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Pemakaian tanah tanpa izin yang berhak tidak diperbolehkan.

Tetapi juga tidak dibenarkan jika yang berhak itu membiarkan tanahnya dalam keadaan terlantar. Bahkan menurut Pasal-Pasal 27, 34 dan 40 UUPA, hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha dihapus jika tanahnya ditelantarkan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 51/1960, menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pula dengan hukuman pidana (Pasal 2 yo. Pasal 6 ayat (1) huruf a).

Namun demikian, dalam pada itu tidaklah selalu harus dilakukan tuntutan pidana, menurut Pasal 6 tersebut. Menteri Agraria dan Penguasa Daerah menurut Pasal 3 dan Pasal 5 dapat mengadakan penyelesaian secara lain, dengan mengingat kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan, pula dengan mengingat rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang dipakai itu.

Dalam rapat konsultasi ini, KSP merekomendasikan antara lain akan mengadakan pertemuan pada akhir November 2018 bersama Kementerian Keuangan, BUMN dan pihak pemerintah terkait untuk menindaklanjuti mekanisme verifikasi bersama, antara warga, pemerintah dan PT KAI. Selain itu, menurut Abdul Gafar, KSP juga menjadwalkan pertemuan bersama dengan penegak hukum.

Melalui kegiatan Rapat Konsultasi ini, BAP DPD RI berkepentingan mendorong dan menjembatani penyelesaian permasalahan sengketa lahan antara masyarakat dengan PT KAI agar dapat cepat diselesaikan oleh instansi-instansi terkait, karena masalah ini terjadi di berbagai wilayah baik di Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement