Selasa 25 Sep 2018 22:09 WIB

DPD RI Kritik Pelayanan BPJS Kesehatan

BPJS saat ini sifatnya adalah wajib.

Petugas memperlihatkan kartu BPJS Kesehatan elektronik identitas (e-ID) dan kartu peserta BPJS Kesehatan di kantor BPJS Medan, Sumatera Utara, Selasa (8/9).
Foto: Antara/Septianda Perdana
Petugas memperlihatkan kartu BPJS Kesehatan elektronik identitas (e-ID) dan kartu peserta BPJS Kesehatan di kantor BPJS Medan, Sumatera Utara, Selasa (8/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite III DPD RI memandang permasalah BPJS Kesehatan seakan tak ada habisnya. Sejak mulai beroperasi pada 2014 lalu, Permasalahan BPJS Kesehatan selalu berputar yaitu dari segi pelayanan rumah sakit, kepesertaan, dan biaya operasional.

“Masalah BPJS Kesehatan memang sering timbul saat kami reses dan persoalannya itu-itu saja. Artinya BPJS Kesehatan gagal untuk memberikan harapan kepada masyarakat,” ucap Anggota Komite III Mohammad Nabil saat RDP membahas Permasalahan BPJS di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (25/9).

Dia menceritakan bahwa sebelumnya ketika masih Askes, Jamkesmas, atau Jamsostek (ketenagakerjaan) masalah seperti saat ini jarang terdengar. Namun ketika dilebur menjadi BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan permasalahan tersebut terus berlarut-larut. “Memang ini ada kesalahan political will dari pemerintah. Maka harus ada kesungguhan atau keseriusan dari pemerintah apalagi BPJS saat ini sifatnya adalah wajib,” kata Anggota DPD asal Kepri ini.

BPJS Kesehatan Terus Evaluasi Peraturan Rujukan Berjenjang

Anggota DPD Provinsi Banten Ahmad Sadeli Karim menambahkan pemerintah seharusnya bisa serius menghadapi permasalahan BPJS. Sehingga masyarakat tidak merasa kecewa dengan BPJS. “Jika BPJS bisa dipercaya pemerintah harusnya bisa meng-cover semua peserta menjadi kelas satu. Untuk masyarakat yang mampu bisa kerumah sakit swasta,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany menjelaskan iuran wajib yang setara pajak penghasilan harus dikelola oleh badan publik dan transparan. “Tentunya kesadaran masyarakat mengenai pembayaran iuran merupakan kepatuhan semua pihak,” kata dia.

Selain itu, pola berfikir ‘pejabat’ juga harus diubah. Sebab, layanan kesehatan sebagai hak setiap orang dan kewajiban negara belum dipahami serta dilaksanakan secara konsisten oleh para pebajat. “Contohnya belanja kesehatan masih rendah (kurang dari 5 persen PDB). Bahkan sampai saat ini pemerintah tidak mau tambah belanja kesehatan sesuai kebutuhan,” ulas Hasbullah.

Hasbullah menyarankan untuk jangka pendek agar pemerintah menutup kekurangan dana BPJS Kesehatan sebesar Rp 20-30 triliun per tahun. Hal itu guna menyehatkan keuangan BPJS Kesehatan. “Jangan meremehkan hak rakyat. Ketimbang tambah subsidi BBM/listrik yang kurang tepat saaran, ketika harga BBM naik,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement