Rabu 25 May 2016 16:27 WIB

411 Desa di Maluku Utara Belum Teraliri Listrik

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Dwi Murdaningsih
Petugas mengecek instalasi kabel di tiang listrik milik PLN di Benhil, Jakarta, Kamis (3/3).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Petugas mengecek instalasi kabel di tiang listrik milik PLN di Benhil, Jakarta, Kamis (3/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala daerah tersebut mengeluhkan minimnya pasokan listrik di pulau-pulau terluar serta tempat-tempat terpencil. Wakil Gubernur Maluku Utara Muhammad Natsir Thaib mengatakan ada 411 desa yang belum terjangkau oleh listrik, terutama di pulau-pulau kecil yang sulit diakses di Maluku Utara.

Apalagi, mereka mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Mereka membutuhkan pendingan untuk membuat es. Di daerah perbatasan juga masih minim pasokan listrik, padahal, listrik mendorong supaya masyarakat bisa mengenam pendidikan dan mendapatkan akses informasi yang cepat.

Ia juga menyebutkan, wilayahnya punya potensi panas bumi yang cukup besar, karena ada gunung merapi serta pertemuan tiga lempeng di perairan Maluku. "Ini bisa dimanfaatkan untuk energi panas bumi. Selain itu juga ada potensi Nikel. Sakarang kita larang ekspor bahan mentah, tapi dibangun smelter tidak ada listriknya," katanya.

Wakil Gubernur Sulawesi Utara Steven Kandouw mengungkapkan, masalah yang utama listrik di wilayahnya adalah beban puncak dan daya mampu. Saat ini, Sulut surplus 36 megawatt listrik, berkat kapal pembangkit listrik dari Turki sebesar 120 MW.

"Sebelum itu mati lampu sering terjadi 24 jam, setelah di demo GM PLN, baru ada upaya mendatangkan kapal Turki 120 MW," ucapnya.

Namun, solusi itu dinilai sebagai upaya temporer. Sebab, kapal tersebut disewa dengan kontrak per lima tahun. Sehingga, ia menganggap hal tersebut belum menyelesaikan masalah secara tuntas. Menurut dia, PLN semestinya memiliki rencana cadangan untuk mengantisipasi rusaknya kapal yang disewa dengan biaya Rp 15 miliar tersebut. Permasalahan listrik adalah di kabupaten yang terdapat di perbatasan negara seperti Sangehe dan Talaut. Talaut contohnya, daya mampu dan beban puncaknya sangat jauh tertinggal.

"Bayangkan, mereka cuma 4 jam ke Filipina, dimana listrik disana sangat banyak," katanya.

Jadi, lanjut Steven, fungsi PLN ini tidak kalah penting untuk menunjukan bahwa negara hadir di masyarakat. Jangan sampai, pasokan listrik yang tidak merata bisa menyebabkan disintegrasi bangsa.

Belum lagi, banyak yang investor yang ingin membangun pembangkit listrik, tapi susah sekali menyentuh PLN. Pembahasan RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) pun, tidak pernah melibatkan Pemda setempat.

"Ini suka-suka mereka saja, mana yang lebih gampang. Kalau susah tidak dibangun. PLN terlalu sentralistik, harusnya dibagi-bagi saja per wilayah," keluhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement