Kamis 11 Feb 2016 21:48 WIB

'Perintah UU, Kejagung Lakukan Penyelidikan Pelanggaran HAM'

Ketua DPD Irman Gusman (tengah) menerima catatan pelanggaran HAM di Indonesia dari aktifis HAM Sumarsih (kiri) dan Hendardi (kanan) usai pertemuan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (11/2).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Ketua DPD Irman Gusman (tengah) menerima catatan pelanggaran HAM di Indonesia dari aktifis HAM Sumarsih (kiri) dan Hendardi (kanan) usai pertemuan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (11/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi menuturkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM telah secara jelas mengatur tentang pengadilan bagi pelanggaran HAM. Untuk itu ia berharap agar UU tersebut dapat dijalankan.

"Kita tahu bahwa dari pergantian pemerintahan dan pergantian presiden itu tidak tuntas masalah pelanggaran HAM ini. Maka ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi negara siapa pun presidennya nanti. Jadi jangan berpikir bahwa permasalahan ini hilang, dan kami menuntut agar permasalahan ini bisa diselesaikan dengan segera," katanya saat menemani Aliansi Korban Pelanggaran HAM beraudiensi dengan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, Irman Gusman, di Komplek Parlemen Senayan, Kamis (11/2). (Baca: DPD Cari Solusi Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM)

Hendardi menolak usulan Menko Polhukam Luhut B Panjaitan, Jaksa Agung HM. Prasetiyo, dan Komnas HAM, yang akan melakukan rekonsiliasi. Menurut dia, rekonsiliasi bisa dilakukan setelah negara melakukan penyelidikan. Sebab, dengan penyelidikan itu akan ditemukan kebenaran material. Jadi, tim itu menyalahi UU, karena UU memerintahkan untuk melakukan penyelidikan.

Menurut Hendardi, prinsip rekonsiliasi adalah bentuk mengatasi permasalahan pelanggaran HAM masa lalu jika kasus sulit diselesaikan setelah penyelidikan dan penyidikan. "Kalau cara kerja semacam ini tidak akan mendapatkan kebenaran materil, sulit bukti dan sulit saksi. Padahal Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan, tapi Kejaksaan Agung hanya melakukan kajian yang tidak terukur dan tidak akuntabel. Perintah UU adalah mereka melakukan penyidikan," katanya.

Pernyataan Kejagung yang mengatakan sulit menemukan bukti-bukti dan saksi-saksi mengingat kasusnya sudah lama menurut Hendardi, tidak beralasan. Karena sudah ada mekanisme hukumnya, "Kan ada UU No.26Tahun 2000 dan UU No.39 tahun 2009 tentang penyelesaian pelanggaran HAM. Jadi, Kejagung belum melakukan penyidikan, baru kajian-kajian yang tidak terukur dan tak akuntabel," katanya. (Baca: Ibu Korban HAM: Sudah 430 Kali Demo, Belum Ada Keadilan)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement