Kamis 19 Nov 2015 07:19 WIB

DPD: Indonesia Cenderung Memilih RCEP

Rep: C27/ Red: Winda Destiana Putri
Komoditas perdagangan dalam kawasan bongkar muat peti kemas.
Foto: thechinatimes.com
Komoditas perdagangan dalam kawasan bongkar muat peti kemas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Pimpinan Panitia Perancangan Undang-Undang (PPUU) DPD RI Djasamen Purba menyatakan, Indonesia belum tertarik bergabung Pakta Perdagangan Trans Pasifik, (Trans Pasific Partnership/TPP).

Indonesia justru cenderung mendekat ke Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP). Meski keduanya mengarah pada perjanjian perdagangan bebas. Tapi, RCEP memili kesepakatan yang lebih fleksibel,

"Demikian maka tingkat kedalaman perjanjian yang disepakati pada RCEP agak berbeda dengan TPP," ujar anggota DPD perwakilan Kepulauan Riau itu belum lama ini.

Sehingga komitmen RCEP dinilai lebh mudah diakses oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. RCEP mengarah pada egionalisme terbuka.

"Yakni terjadinya liberalisasi eksternal atau pengurangan hambatan pada impor dari negara-negara bukan anggota blok perdagangan," ujar Purba.

Tapi, Djasamen Purba menjelaskan, tingkat liberalisasi impor dari non anggota tidak setinggi bagi negara-negara anggota. Model regionalisme terbuka, memungkinan RCEP tidak hanya terbatas pada anggota-anggotanya, tapi juga dapat diperluaskan dengan melibatkan negara non anggota.

"Sementara dalam pembahasan non tariff RCEP hanya membahas 6 isu, sedang TPP membahas sekitar 20 isu," ungkapnya.

Meskipun komitmen dalam RCEP tampak lebih rendah dibandingkan dengan TPP, namun kedua pakta perdagangn tersebut tetap tidak menguntungkan bagi Indonesia.

Menurut perhitungan International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS) Institute Pertanian Bogor, Indonesia bakal merugi hingga 253 juta dolar AS pertahun dari perdagangan barang jika bergabung dengan RCEP maupun TPP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement