Kamis 09 Jun 2011 14:11 WIB

Menilik Lebih Dalam Soal CSR

CSR Telkom - Republika
Foto: Nonang/Replika
CSR Telkom - Republika " Bagimu Guru Kupersembahkan" bersama Ratih Sanggarwati

Seorang kawan pernah dengan bangganya mengatakan pada saya perihal aktivitas institusinya memberikan sumbangan sebagai sebuah kegiatan CSR. "Iya, kita ngasih sumbangan kemarin. Yaah, CSR lah.." katanya.

Dalam kesempatan lain, sekelompok anak-anak di sebuah sanggar komunitas marjinal dengan sumringah menerima "sumbangan CSR" berwujud snack makanan ringan yang cukup ternama saat itu. Namun, sesaat sebelum makanan tersebut dimakan, salah seorang pendamping mereka berteriak: "waaaahh..expired nya tinggal besok, ni." Itukah CSR?

Ya, belakangan ini kata-kata CSR memang cukup marak terdengar. Secara kasat mata, munculnya beragam penghargaan di bidang CSR pun tampak melambungkan ketiga huruf tersebut. Bahkan 'ketenaran' -nya melebihi makna yang terkandung dari kata-kata yang membentuknya: Corporate, Social, dan Responsibility. Kini, siapa pun, asalkan dia 'berbuat baik', seakan sah untuk menyatakan bahwa dirinya atau institusinya sedang ber-CSR. Sedemikian pentingnya istilah ini, sampai-sampai pemerintah pun secara hukum mengangkatnya ke dalam undang-undang.

Namun, apakah kita pernah menilik lebih dalam mengenai CSR itu sendiri? Sebagai contoh, apakah dapat kita katakan sebagai CSR, ketika seseorang atau sebuah perusahaan datang ke suatu daerah, memberikan sumbangan, lalu pergi dan tak pernah kembali? Apakah esensi CSR hanya untuk publisitas semata?

Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sosial agaknya menjadi permasalahan serius di dunia bisnis sejak lama. Ya, semangat untuk meraih keuntungan dengan mudahnya membuat orang lupa dengan lingkungan sekitar, sehingga menegasikan kondisi sosial di sekitarnya. Melihat hal seperti ini, merebaklah ide agar para pengusaha memperhatikan lingkungan sekitarnya. Di barat, terutama di Inggris pasca revolusi industri, mengemuka isu tentang semangat altruistik, dorongan untuk berbuat baik. Dorongan primordial pun merebak ketika Max Weber menguak fenomena Protestant Ethic (Kalvinisme), yang mendorong orang menjadi kaya sebagai bagian dari ketundukan pada agama.

Adalah Howard Bowen, yang dianggap sebagai orang yang pertama kali mencetuskan konsep "Social Responsibility", tanggung jawab sosial. Tulisan-tulisannya di era 1950 - 1955 mendobrak pemikiran umum bahwa bekerja adalah untuk meraih keuntungan semata. Dalam ide nya tersebut, secara garis besar Bowen menekankan bahwa kebijakan yang diambil oleh para eksekutif perusahaan dapat berdampak pada keberlangsungan lingkungan sekitar. Namun, ide ini tidak serta merta diamini oleh kalangan bisnis. Milton Friedman, adalah satu dari sekian banyak orang yang menyatakan kontra terhadap pemikiran ini. Ia beranggapan, apapun yang dilakukan oleh manajer ataupun eksekutif, haruslah dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Jadi, berbagi baru dapat dilakukan sepanjang terdapat perhitungan yang pasti akan imbal balik keuntungan bagi perusahaan. Meskipun demikian, konsistensi Bowen membuat dirinya ditahbiskan sebagai bapak CSR. Karena di kemudian hari, terutama di era '70 an hingga akhir 90 an, konsep Bowen ini terus berkembang. Bermacam nama pun bermunculan, diantaranya Corporate Social Performance, sebelum akhirnya 'bertahan' dengan abreviasi yang marak bermunculan sekarang ini: Corporate Social Responsibility.

Elkington, di akhir era 1990 an (terutama di sekitar tahun 1997), menambahkan konsep penting atas hasil pemikiran Bowen. Dengan konsep yang dikenal sebagai "3P", Elkington menegaskan bahwa tanggung jawab sosial haruslah secara berkelanjutan dijalankan oleh perusahaan. Terkait dengan sustainable development, Elkington meramu konsepnya dengan memasukkan tiga aspek utama dalam CSR: Profit, People, Planet (keuntungan perusahaan, manusia, dan planet - bumi). Dengan demikian, kita tidak hanya bertanggung jawab kepada manusia, tetapi juga kepada lingkungan yang kita diami.

Kini, studi maupun praktek pelaksanaan CSR semakin marak dan beragam. Di kalangan bisnis, semakin bermunculan nama perusahaan yang tampak semakin peduli untuk mengimplementasikan program CSR. Baik itu di taraf multinasional, nasional, atau bahkan lokal sekalipun.

Sementara di kalangan akademik, sebut saja nama Archie Caroll, Dirk Matten, Wayne Visser. Bahkan guru marketing seperti Philip Kotler pun tertarik untuk membahasnya. Dari beragam pandangan tersebut, tampak sebuah benang merah, yakni CSR seyogianya diambil dari profit perusahaan, dan haruslah dilaksanakan secara berkelanjutan. Ya, sustainable program menandakan komitmen kita untuk membantu sesama manusia. Hingga akhirnya orang-orang yang kita bantu tersebut mampu menolong dirinya sendiri dan orang di sekitarnya. Bukan hanya sekedar hit and run charity semata, di mana kita datang ke suatu komunitas/daerah, lalu 'berbagi', tetapi kemudian tak pernah kembali lagi.

Tapi apakah niat kita sesungguhnya dalam ber-CSR? Apakah kita telah benar-benar murni "memberi" atau justru di saat yang sama kita seolah memaksa untuk "meminta" publisitas? Ataukah justru hanya untuk memenuhi regulasi? Perlukah CSR diundangkan? Haruskah niat berbuat baik "dicambuk" terlebih dahulu dengan regulasi? Lalu bagaimana jika CSR justru diambil dari investasi bukannya keuntungan? Kemudian, dengan konsep yang serba westernized, adakah ide-ide CSR terakomodasi dalam Al-Qur'an / Hadits?

Mari kita saling memadukan pengalaman dan pengetahuan di minggu-minggu ke depan. Bukan untuk saling pongah, melainkan sebagai wahana pembelajaran kita bersama. Semoga diskusi ini semakin meluruskan niat kita dalam memberi.

Rizky Wisnoentoro

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement